cerita sebelumnya
Bali, 20 September
2013
Aku
tersenyum puas melihat hasil bidikan kameraku. Dia terlihat cantik di sini.
“I
love this picture so much. Thankyou! You’re good photographer!” Kelline tertawa
girang melihat hasil fotonya di layar kamera SLR ku.
Ya,dia
perempuan asal Austria. Kami sudah saling mengenal sekitar dua bulan yang lalu
lewat pertukaran pelajar mahasiswa AISEC. Aku tertarik mengikuti program ini.
Aku bisa menjalin banyak pertemanan dengan orang-orang mancanegara yang
mempunyai berbagai macam kebudayaan yang sangat menarik untuk diketahui. Bukan
hanya dia yang aku kenal, namun dari sekian banyaknya mahasiswa asing AISEC
hanya dia yang lebih dekat denganku. Hasil bidikanku yang mungkin membuatnya
“Jatuh cinta” denganku. Walaupun katanya, dia mempunyai pengalaman buruk di
negara asalnya ketika menjadi model seorang fotografer. Dia banyak bercerita
denganku, semuanya, segalanya. Sampai suatu ketika aku pernah bertanya pada
dirinya,
“Why you trust me? I just stranger for you."
“I don’t know. I feel comfortable with you. I think you good boy. Don’t you?” Katanya sambil tersenyum. Jujur,
laki-laki mana yang tidak senang dikatakan seperti itu oleh seorang perempuan
cantik seperti dirinya?
Dari sanalah aku
mulai dekat dengannya. Ia perempuan yang baik menurutku. Aku sering mengajaknya
keluar, pergi berjalan-jalan ketika tak ada acara di kampus. Hanya sekedar
mengelilingi pematang sawah dengan sepeda atau sarapan dengan nasi pecel.
“It’s very spicy!!” Serunya ketika memakan
sesendok pecel yang aku suapkan kepadanya. Padahal tidak ada campuran sambal
sedikitpun di sana. Aku tertawa melihatnya kepedasan, wajahnya memerah dan
bercucuran keringat.
Aku
berharap bisa seperti dirinya. Bisa menjadi bagian mahasiswa AISEC yang dapat
berkeliling dunia, dapat berkenalan dengan banyak orang asing. Namun kenyataan
menghimpitku untuk berada di rute kemauan ayahku.
Persetan
dengan semua teori-teori tentang Sistem Informasi yang seringkali membuat
otakku kacau. Persetan dengan SKS yang belum aku ambil separuhnya. Persetan
dengan skripsi yang harusnya aku selesaikan semester ini. Aku tak mau tahu. Itu
bukan duniaku, itu bukan tujuanku.
Aku
tahu, aku sudah banyak kehilangan waktu, dan kedua orangtuaku yang banyak
mengahabiskan uangnya untuk biaya kuliahku. Salah siapa? Mereka terlalu
memaksaku untuk kuliah di jurusan yang tidak aku inginkan.
“Awan!
Take my picture in there!” Kelline menunjuk atas tebing bebatuan.
“Okay.
Be carefull Kelline!”
Dia
mempercepat langkahnya mendaki anak tangga yang terbuat dari bebatuan. Aku yang
memerhatikan dirinya, memastikan dirinya tidak terjatuh tersandung bebatuan.
Dia
tak jauh berbeda dengan Rania. Rania yang selalu tergesa ketika ingin di foto
hingga helai helai poninya menjadi berantakan. Ah, Rania lagi. Aku jadi
merindukanmu. Masih terpampang jelas dalam sisa ingatanku tentang dirimu.
Kamu
yang terkadang merengek manja ketika meminta sesuatu, namun bisa berubah lebih
dewasa daripada aku ketika aku mempunyai permasalahan yang tak bisa aku
selesaikan sendiri. Kamu yang menakutkan sesuatu hal yang sebenarnya tak perlu
ditakutkan. Kamu yang terkadang berlebihan. Dan kamu yang sering mencubit gemas
lenganku ketika hasil bidikanku tak sesempurna yang kamu bayangkan.
“Yah, kok di sini wajahku bulet banget
sihhhh. Kamu niih bi!”
“Loh? Kok aku yang di
salahin? Kan dasarnya kamu bulet!” Aku menggembungkan pipiku, seakan-akan
wajahnya sebulat gembungan pipiku.
Kamu
selalu berkomentar “Bi, aku gendutan ya
sekarang?” atau “Pipiku chubby banget nih.” Atau “Tuhkan
lenganku keliatan gede di foto.”
Rania
Rania, kamu selalu mengeluh seperti itu. Berapa kali aku harus bilang sama
kamu, kalau kamu selalu cantik di mata aku.
Bahkan
kamu pernah diet mati-matian untukku. Kamu bilang, aku selingkuh sama perempuan
lain gara-gara kamu gendutan. Karena aku tak ada kabar waktu itu. Bagaimana
bisa kamu berpikir seperti itu? Bagaimana bisa aku bersenang-senang degan
perempuan yang bukan kamu? Terlalu banyak kamu di pikiranku, untuk aku
gantikan.
“Heeeey!
Awan!” Kelline memanggilku sambil melambai-lambaikan kedua tangannya. Aku
tergegap.
“Okay!
Stay in that pose! One, two, three!”
“How?”
Aku
mengacungkan jempolku, lalu berseru, “You look pretty!” Mata cokelatnya
berbinar mendengar itu.
Rania,
dia memang cantik. Tapi di mataku, kamu lebih cantik daripada dia. Kamu terlalu
sempurna untuk dibandingkan dengan siapapun.
Rania,
maafkan aku, keputusanku. Maafkan karena aku telah membuat keadaan seperti ini.
Maafkan aku yang tak bisa menepati janjiku padamu. Maafkan aku yang terpaksa
meninggalkanmu.
Ya,
mungkin orangtuamu benar Rania, aku tak pantas untuk kamu pertahankan. Entah
siapa yang sebenarnya tak pantas. Aku untuk perempuan sebaik kamu, atau kamu
untuk laki-laki sebrengsek aku.
Lanjutkan
hidup kamu tanpa aku. Jalani apapun yang diinginkan orangtuamu. Maafkan aku,
jangan paksa aku untuk seperti kamu, menjalani apa yang tidak aku inginkan.
Bukankah pada dasarnya kita tidak dapat menyenangkan semua orang? Ini caraku
untuk membuat mimpiku menjadi nyata. Biarlah kata-kata orang yang mencemoohku.
Pada suatu saat aku akan tersenyum atas kemenanganku.
Mungkin
kita memang harus berpisah. Jangan kamu sesali apa yang sudah kita rancang
bersama. Mungkin kita akan dipertemukan suatu waktu nanti. Dengan mimpi yang
sudah menjadi nyata digenggaman kita masing-masing untuk dipersatukan.
Jika tidak, mungkin
Tuhan sudah mempersiapkan seseorang yang lebih baik untuk menyempurnakan mimpi
kita. Mempersiapkan seseorang yang lebih kuat untuk menemani kita sampai ujung
perjalanan. Rania, percayalah Tuhan selalu adil untuk hambanya.