Jumat, 06 Desember 2013

memori

the pict form here
Di sini, terlalu banyak kisah yang terdiam di sudut ruang bernama kehidupan. Cerita yang tak pernah habis dan menua bersama waktu. Aroma kenangan yang selalu berhembus pelan di setiap hela. Memori yang tak mau berhenti berputar melawan dimensi waktu untuk tetap hidup mengacaukan aku. Memaksa aku untuk menjerat kamu untuk hidup kembali mengarungi dunia yang tak pernah nyata. Tak pernah ada. Menciptakan bahagia imajiner yang tak akan terlihat oleh mata siapapun, selain aku dan Tuhan. Bukan aku yang mau. Seandainya bisa, aku ingin meminta izin kepada pemilik waktu, aku hanya ingin melenyapkan kamu dalam aku. Menempatkan kamu dalam jeda ruang perempuanmu. Bukan jeda ruangku. Karena seharusnya, di sini bukan tempatmu lagi.
Read More




Sabtu, 30 November 2013

Singgah



Ketika semua tak akan pernah menjadi sama lagi. Jalan itu, semua persimpangan dan tempat persinggahan yang pernah saya tempati, saya akan tetap berjalan mengikuti arah panah rambu yang ada. Meski saya selalu berpikir dan berharap akan menemukan persinggahan saya yang dulu. Kamu.

Read More




Lepas

 Cerita sebelumnya>>  Selamat Tinggal (!)


Hampir pagi. Dan aku masih terjaga di pojokkan kamar. Masih terdiam seperti berjam-jam yang lalu. Ditemani bercangkir-cangkir kopi dan puntung-puntung rokok yang aku geletakkan di tepi jendela kamarku. Tak peduli sudah berapa cangkir kopi yang aku minum malam ini, dan sudah berapa batang rokok yang aku hisap untuk menghabiskan sisa malamku, walaupun aku tak berniat untuk membunuh waktu sendirian.

 Mataku menatap kosong layar laptop yang menyala di hadapanku sedari tadi. Sesekali melirik ponsel yang berada di samping kakiku. Menghisap panjang batang rokokku yang tinggal setengah lalu mengehembuskannya pelan. Tak ada satupun pesan masuk di sana. Hanya terpampang fotoku dan Rania sebagai wallpaper handphone. Aku merindukannya, sungguh. Bahkan kepulan-kepulan asap rokok ini menjadi aroma parfum yang sering ia pakai di hidungku. Pengecut ! bahkan aku tidak bisa mendefinisikan rasa yang menyeruak dan mendesak rongga dadaku. Aku ingin Rania berada di sini. Memeluknya, menjaganya dalam dekapanku, lalu mengecupnya pelan-pelan. Tembok pertahananku perlahan retak, runtuh. Aku tak bisa mengelak, jika aku benar-benar mencintainya.
                 
Aku tersenyum kecut menatap layar ponselku. Mana mungkin Rania mau menghubungiku hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun untukku? Mungkin ia sudah lupa, atau bahkan ia tak pernah menganggapku lahir di dunia ini. Terlebih setelah pertemuan tak terduga dengannya dua bulan yang lalu di Malioboro. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Wajah cantiknya yang terkena pendar cahaya lampu kota. Ia tersenyum hangat menjabat tanganku walaupun terlihat sedikit canggung. Senyum yang selalu ia tujukan padaku, dulu. Senyum yang teramat sangat aku rindukan detik ini. Namun senyumnya lenyap dalam sekejap waktu itu, lalu ia melepaskan jabatan tangannya. Aku dapat merasakan matanya memanas saat itu. Matanya terpaku pada gelang bodoh yang baru aku pakai. Ah, tentang gelang itu. Gelang pemberian Kelline sebelum ia kembali lagi ke negara asalnya sebagai kenangan dan ucapan terimakasih untukku. Tak lebih. Entah apa yang ada di otak Rania saat itu hingga mulutnya terkunci rapat dan berpamit meninggalkan aku.
                 
Jam digital di laptopku telah menunjukkan pukul 03.00 tepat. Dan aku tak mendapati satu pesan pun  di ponselku. Mau gila rasanya jika berada di posisi seperti ini. Seakan-akan puntung-puntung rokok itu menertawakanku. Ah, ternyata aku telah menghabiskan mereka tanpa sisa. Tak ada cadangan sekotak rokok pun di sini. Sial !
                
 Aku terkejut, ketika ponselku bergetar. Aku meliriknya dengan tatapan ragu. Berharap aku tak lagi berhalusinasi, mana bisa kandungan nikotin sekotak rokok dapat membuatku berhalusinasi? Yang benar saja! Degup jantungku semakin cepat ketika jariku menekan layar handphoneku untuk membuka pesan. Mungkinkah Rania?
Nomor tak dikenal? Siapa? Apakah Rania telah mengganti nomor teleponnya? Aku membukanya dengan tergesa.
            Blackberry murah. Diskon 50% Gemini, Dakota. Dapatkan segera di toko kami. Cek website...
            
 Sialan!! Aargh ! toko sialan ! percuma saja jantungku berdegup sangat cepat demi sms sampah seperti itu ! Aku melemparkan handphone-ku di atas kasur. Bisa-bisanya aku menjadi sebodoh ini.
            
 Aku menatap layar laptopku lagi, melihat foto profil facebook Rania yang sedang tersenyum dengan seorang laki-laki yang merangkulnya. Aku tutup layar laptopku. Menutup semua rasa dalam segala kenang yang tersisa. Menutup mata terhadap pintu masa lalu yang selalu terbuka lebar untuk menyeret aku dalam pusarannya yang semu. Berusaha melepas semuanya, tanpa sisa.
             
 Ini aku. Ini hidupku. Dan kamu dengan hidupmu.Mungkin Tuhan tidak menciptakan kita dengan jiwa yang sama. Ini keputusan kita walau bukan kamu yang mau. Jadi, aku mau pergi dari ruang yang selalu membuatku terlalu hina jika lebih lama tinggal di sini. Maaf jika aku terkadang  munafik dan terlalu naif.  Jika Tuhan menginginkan kita lagi untuk di letakkan di garis yang sama, semuanya akan kembali seperti semula.
Read More




Sabtu, 23 November 2013

Senja, berhentilah

  http://weheartit.com/entry/87806270/via/summerlovegirl
Add caption


Aku mengaggumimu dari  tempatku bernaung. Dari atas sini. Setiap hari tanpa kamu ketahui. Itupun aku hanya bisa mengintipmu, tak ingin sang pemilik singgasana tahu atas kelancanganku ini.

Andai saja aku bisa mempunyai kesempatan untuk mencuri detik agar dapat bertemu denganmu di perbatasan waktu, hanya untuk memberi sebuah sapa dan memperkenalkan diri sebagai senja yang tak pernah kamu lihat karena kamu lebih dulu terlelap sebelum kedatanganku.

Biru, apakah kamu sudah menerima surat-suratku sebelumnya? Sudahkah burung parkit itu memberikan suratku untukmu? Aku harap iya. Dan kamu bersedia membalasnya. Biru, maukah kamu menunggu di perbatasan waktu? Sebelum matahari rebah dan hilang bersamamu? 

***

          Hai senja, 
        
Aku tak pernah terlelap sebenarnya. Karena aku selalu mengamatimu lamat-lamat di persembunyianku. Maafkan aku, jika membuatmu menunggu terlalu lama. Aku sudah membaca ribuan suratmu sebelumnya, yang selalu aku simpan rapi di tempatku. Bukannya aku tak mempunyai waktu dan terlalu sibuk di atas sini, aku hanya terlalu takut jika membalas surat-suratmu itu.
        
Jangankan mencuri waktu, meminta pun aku tak mau. Jangan bodoh senja. Mana mungkin kita bertemu? Kita dilukiskan dalam kanvas yang berbeda. Dan selamanya kita akan selalu seperti ini. Kita akan terus berada di tempat yang sama dan tak akan beranjak kemana-mana. Dan kita tak akan pernah bisa berdiri sejajar pada waktu yag bersamaan, bukan?

Akankah kamu ingin terus menungguku? Menunggu pemilik waktu berbaik hati meminjamkan detiknya untuk kita? Bukankah Tuhan sudah menciptakan jingga yang selalu setia mewarnai kehadiranmu?
          
Jadi, berhentilah lagi mengirimiku surat yang berisi canda dan rindumu yang membuatku semakin tersiksa di sini. Berhentilah untuk merindukanku, aku hanya ingin semuanya berjalan seperti seharusnya. Berhentilah untuk berharap sesuatu yang tak mungkin dan tak akan pernah ditakdirkan dalam kehidupan kita, senja. Berhentilah untuk aku dalam kehidupan kamu, sebelum jingga tahu dan akan meninggalkanmu. Senja, tidak kamu berpikir jika kamu tanpa jingga?
            
Sebenarnya, jika waktu dan Tuhan berkenan, aku sudah mencintaimu jauh sebelum aku menerima ribuan suratmu yang membanjiriku. Senja, jika aku diperbolehkan untuk berkata ini pada pemilik singgasana, aku akan melakukannya jauh sebelum ini, bahwa aku selalu cemburu melihatmu bersama jingga. Aku hanya berusaha tahu diri, sebagai biru yang tak pernah ditakdirkan untuk merengkuh senja. Aku hanya ingin bersuyukur dan menjalani apa yang telah diberikan pemilik takdir untukku, meski aku selalu ingin meminta lebih.
Senja,  jika kamu mencintaiku,lakukanlah seperti apa yang aku lakukan. Karena, belum tentu apa yang kita inginkan akan mengubah semuanya menjadi lebih baik.
         ***



Read More




Selasa, 12 November 2013

Aku, kamu, dan pertemuan

             

          Semua berawal dari sebuah taman di sebuah kota tua. Kota yang hampir mati karena ditinggalkan oleh para penghuninya. Orang-orang menyebutnya kota lama. Ya, aku tak sengaja melihatnya di sana. Pandanganku berhenti tepat di tempatnya berada. Ia duduk di tengah taman dan dikelilingi oleh anak laki-laki berusia 8tahunan sambil menguarai tawanya. Tawa mereka menyeruak seisi taman. Memberikan atmosfir yang berbeda untukku.
            Aku tak tahu harus menyebutnya apa. Tanganku tak bisa berhenti membidik ekspresi tawanya lewat lensa kamera SLRku. Senyumku selalu mengembang tanpa aku sadari ketika melihat hasil bidikanku kumpulan ekspresinya di layar kameraku. Mungkin sebagian memoriku penuh dengan wajahnya dan bocah-bocah di sekitarnya. Mereka selalu menghiburku. Dan dirinya sukses membuat aku penasaran dan selalu ingin menemuinya secara nyata.
            Sejak saat itu, aku rutin mengunjungi taman itu setiap hari Minggu. Hanya untuk melihat aktivitasnya bersama anak-anak itu. Aku tak terlalu mengerti apa yang diajarkannya. Yang paling penting saat ini adalah, aku dapat melihatnya lagi. Melihat senyumnya lagi, dapat mendengar sayup-sayup tawa mereka dari tempatku mengamatinya.
***
        Tangannya mengudara, lalu ia beridiri. Sesekali ia bertepuk tangan sembari tertawa menunjukkan deretan giginya yang rapi. Dan sesekali ia membetulkan letak kacamatanya yang turun karena banyak tertawa. Aku tersenyum, memandangi hasil bidikanku tadi pagi yang baru saja aku pindahkan di laptop.
          Aku tak habis bosan memandangi wajahnya, menikmati senyumnya di layar laptopku. Suaranya masih terekam jelas di gendang telingaku, dan semuanya menggelitik aku. Ada satu foto yang menjadi favorit aku, ketika ia menampilkan ekspresi idotnya. Menjulurkan lidahnya lalu menjulingkan matanya.
       “Lucu!”  Aku bergumam sendiri, sambil memandangi fotonya yang kini menjadi walpaper laptopku. Aneh? Ya mungkin semua akan berpikir aku adalah psikopat, mengaggumi seseorang yang baru aku lihat sehari, karena jatuh cinta pada suara tawanya. Ah masa bodoh! Aku menyukainya.
***
         Untuk kesekian kalinya aku mengunjungi taman itu. Aku tak mendapati dirinya lagi di sana. Ya, dua kali aku ke sana tak ada sosoknya. Aku benar-benar menyerah. Karena aku tak pernah mendapatkan hasil perkenalan yang nyata selain mengabadikan wajahnya di kameraku. Aku tak ingin menggenggam angin. Aku tahu, aku sadar. Aku hanya membuang waktu ku hanya untuk mengamatinya dari jauh.
***
         Aku telah melupakannya. Hampir melupakan dirinya yang sempat aku rindukan beberapa minggu. Aku sudah tenggelam dalam semua aktivitasku yang memakan sebagian besar waktu luangku. Sampai pada akhirnya beberapa bulan kemudian, aku kembali menginjakkan kaki di taman itu. Bukan untuk mengamati atau mencari dirinya. Ada project yang harus aku kerjakan di sana.
          “Maaf, ganggu sebentar. Bisa fotoin kami di sana?”
Aku memalingkan wajahku ke arah suara di belakangku. Seorang laki-laki berkacamata full frame menunjuk kamera polaroitnya yang sedang ia genggam. Aku mengikuti arah pandangnya yang menunjuk kumpulan bocah laki-laki yang kelihatannya sedang menunggu persetujuanku.
         Aku menyipitkan mataku. Memastikan bahwa aku tak salah melihat. Astaga! dia! Dia laki-laki yang dulu selalu aku curi ekspresi wajahnya, laki-laki yang pernah memenuhi memori eksternalku, laki-laki yang membuatku berharap dapat mempercepat akhir pekan setiap awal pekan di mulai. Laki-laki yang selalu aku tunggu kehadirannya di taman ini. Laki-laki yang sempat membuatku menjadi perempuan tolol dan dungu karena selalu mengunjungi taman ini sendirian.
          “Gimana? Bisa?” Dia tersenyum padaku. Lalu aku mengangguk.
           
 Ada keyakinan yang selama ini aku genggam. Dan itu terjadi detik ini. Karena di dalam kehidupan, Tuhan selalu mempunyai caranya sendiri untuk mengenalkan seseorang dalam kehidupan kita tanpa kita duga.
Read More




let it go




Saya ingin menitipkan segala cerita kita pada waktu. Semua perbincangan kita tengah malam. Semua senandung dan nyanyian yang selalu bergema di lorong-lorong telinga saya.Tentang dia, kamu, dan semua kebodohan kita. Biar saya hanya menggenggam nama kamu di perjalanan, bukan semua cerita tentang kita, ya? Biar saya tidak terlalu lelah memikirkan kamu. Biar waktu yang menyimpannya, membawa cerita itu pergi.

Saya hanya ingin kembali seperti semula. Saya mulai gila, saya buta. Saya tidak bisa melihat siapapun selain kamu. 

Read More




Senin, 14 Oktober 2013

Selamat Tinggal (!)






Yogyakarta, 2 Oktober 2013
           
Aku tak pernah menyukai ketika berada di tengah keramaian. Seperti saat ini, aku yang sedang menemani teman-temanku berjalan-jalan menuju malioboro. Siapa yang tak tahu malioboro? Pasar yang berada di alun-alun Yogyakarta yang tak pernah sepi oleh wisatawan yang ingin berbelanja oleh-oleh ataupun hanya sekedar melihat-lihat. 
Kami sudah berjalan kaki cukup jauh. Hingga akhirnya, salah satu temanku memutuskan untuk naik becak sekalian berkeliling. Aku pun setuju karena kakiku sudah terasa pegal walaupun aku sudah memakai sandal jepit.
“Pak, ke benteng vredeburg berapa?” Aku menoleh mendengar suara itu. Suara yang tak lagi asing bagiku. Aku berharap dugaanku salah. Namun jantungku berdetak semakin cepat. Aku tak ingin menoleh. Tapi keingintahuanku mengalahkan semuanya. 
Laki-laki itu pun tak sengaja menoleh ke arahku sebelum menaiki becaknya. Pendar cahaya lampu jalanan menerangi dirinya. Mata kami saling bertumbukan. Tubuhku terpaku, lidahku kelu. Bagaimana bisa? Pikiranku kacau. Seakan-akan semua berhenti. Seakan-akan pusat rotasi bumi beralih kepada dirinya. Bibirku bergetar.
“Rania?” Akhirnya dia bersuara setelah persekian detik kami saling berpandangan.
Aku belum bisa berkata. Tubuhku memanas. Ada yang menyengat entah apa. Aku lumpuh. Dia belum berubah sejak terakhir menemuiku untuk mengakhiri hubungan kami. Semuanya masih sama, hanya saja kulitnya menggelap. Tapi tetap saja, dia masih terlihat tampan untukku. Semuanya masih sama. Maksudku, tidak semuanya. Hatinya bukan lagi milikku.
“Apa kabar?” ia mengulurkan tangannya. Mungkin ia juga tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.
Aku berusaha tenang, berusaha tersenyum. Seakan-akan tak pernah ada memori yang tersimpan dalam pikiranku tentang dirinya.
“Ya baik, seperti yang kamu lihat.” Aku tersenyum. Menyambut jabatan tangannya. Seketika otakku penuh dengan teriakan-teriakan yang memintaku untuk menarik tubuhnya kedalam pelukanku. Mendekapnya lebih lama. Sekali saja. Atau paling tidak aku mengungkapkan segalanya yang aku rasakan semenjak kepergiannya.
Namun mataku menangkap sesuatu dipergelangan tangannya. Sesuatu yang asing bagiku. Gelang hitam berinisial “K”. K? Siapa? Cepat-cepat aku melepaskan jabatan tangannya. Namun mataku tak bisa beralih dari gelang yang sedang dipakainya kini. Sejak kapan gelang itu berada di tangannya? Setahuku, dia tak pernah memakai gelang seperti itu. Hatiku mencelos.
Dia salah tingkah, ketika tahu aku sedang memerhatikan gelang yang berada di pergelangan tangannya. Ia tergegap, “K..kamu lagi ngapa ke sini? Mau ke mana?”
Bibirku sudah mengatup rapat. Kali ini tak mampu berkata sepatah katapun. Atau hanya makian yang aku keluarkan untuknya, bahkan tanganku masih mampu untuk menamparnya beberapa kali. Tapi, siapa aku? Aku ditampar oleh kenyataan.
“Maaf, aku duluan ya, salam buat keluarga.” Buru-buru aku masuk ke dalam becak, Sebelum semua pertahananku runtuh. Sebelum kaca-kaca bening yang masih tertampung di bola mataku belum menderas.
Aku melihatnya sekilas, lewat ekor mataku sebelum becak yang kutumpangi berjalan. Dia masih berdiri di sana, tak beranjak selangkahpun. Memerhatikan aku, dengan kamera DSLR yang menggantung di lehernya. Dan yang pasti, gelang itu masih melekat di pergelangan tangannya.
Aku menutup mulutku, berusaha menahan rasa kecewa teramat sangat kepada dirinya. Pertemuan tadi, yang ku harap dapat melarutkan rindu yang sudah berkerak, malah membunuhku dalam sekejap.
Semudah itu untuk menggantikan diriku? Apakah waktu enam tahun belum mampu membuat diriku untuk tinggal di pikiranmu? Begitu tak berartikah diriku?
Aku kira, kamu masih ingin memperjuangkan aku. Ah brengsek! Beraninya kamu, Awan! Kamu laki-laki brengsek. Dan aku, aku perempuan tolol yang selama ini mempertahankan laki-laki sebrengsek kamu! Selamat tinggal! Semoga Tuhan merestui aku untuk melupakanmu. Melupakan aku yang mati-matian mempertahankanmu. Semoga...
Read More




Rindu

cerita sebelumnya




Bali, 20 September 2013

Aku tersenyum puas melihat hasil bidikan kameraku. Dia terlihat cantik di sini.
“I love this picture so much. Thankyou! You’re good photographer!” Kelline tertawa girang melihat hasil fotonya di layar kamera SLR ku.
Ya,dia perempuan asal Austria. Kami sudah saling mengenal sekitar dua bulan yang lalu lewat pertukaran pelajar mahasiswa AISEC. Aku tertarik mengikuti program ini. Aku bisa menjalin banyak pertemanan dengan orang-orang mancanegara yang mempunyai berbagai macam kebudayaan yang sangat menarik untuk diketahui. Bukan hanya dia yang aku kenal, namun dari sekian banyaknya mahasiswa asing AISEC hanya dia yang lebih dekat denganku. Hasil bidikanku yang mungkin membuatnya “Jatuh cinta” denganku. Walaupun katanya, dia mempunyai pengalaman buruk di negara asalnya ketika menjadi model seorang fotografer. Dia banyak bercerita denganku, semuanya, segalanya. Sampai suatu ketika aku pernah bertanya pada dirinya,
“Why you trust me? I just stranger for you."
 “I don’t know. I feel comfortable with you. I think you good boy. Don’t you?” Katanya sambil tersenyum. Jujur, laki-laki mana yang tidak senang dikatakan seperti itu oleh seorang perempuan cantik seperti dirinya?
Dari sanalah aku mulai dekat dengannya. Ia perempuan yang baik menurutku. Aku sering mengajaknya keluar, pergi berjalan-jalan ketika tak ada acara di kampus. Hanya sekedar mengelilingi pematang sawah dengan sepeda atau sarapan dengan nasi pecel.
“It’s very spicy!!” Serunya ketika memakan sesendok pecel yang aku suapkan kepadanya. Padahal tidak ada campuran sambal sedikitpun di sana. Aku tertawa melihatnya kepedasan, wajahnya memerah dan bercucuran keringat.
 
Aku berharap bisa seperti dirinya. Bisa menjadi bagian mahasiswa AISEC yang dapat berkeliling dunia, dapat berkenalan dengan banyak orang asing. Namun kenyataan menghimpitku untuk berada di rute kemauan ayahku.
Persetan dengan semua teori-teori tentang Sistem Informasi yang seringkali membuat otakku kacau. Persetan dengan SKS yang belum aku ambil separuhnya. Persetan dengan skripsi yang harusnya aku selesaikan semester ini. Aku tak mau tahu. Itu bukan duniaku, itu bukan tujuanku.
Aku tahu, aku sudah banyak kehilangan waktu, dan kedua orangtuaku yang banyak mengahabiskan uangnya untuk biaya kuliahku. Salah siapa? Mereka terlalu memaksaku untuk kuliah di jurusan yang tidak aku inginkan.
“Awan! Take my picture in there!” Kelline menunjuk atas tebing bebatuan.
“Okay. Be carefull Kelline!” 
Dia mempercepat langkahnya mendaki anak tangga yang terbuat dari bebatuan. Aku yang memerhatikan dirinya, memastikan dirinya tidak terjatuh tersandung bebatuan.
Dia tak jauh berbeda dengan Rania. Rania yang selalu tergesa ketika ingin di foto hingga helai helai poninya menjadi berantakan. Ah, Rania lagi. Aku jadi merindukanmu. Masih terpampang jelas dalam sisa ingatanku tentang dirimu.
Kamu yang terkadang merengek manja ketika meminta sesuatu, namun bisa berubah lebih dewasa daripada aku ketika aku mempunyai permasalahan yang tak bisa aku selesaikan sendiri. Kamu yang menakutkan sesuatu hal yang sebenarnya tak perlu ditakutkan. Kamu yang terkadang berlebihan. Dan kamu yang sering mencubit gemas lenganku ketika hasil bidikanku tak sesempurna yang kamu bayangkan.
“Yah, kok di sini wajahku bulet banget sihhhh. Kamu niih bi!” 
“Loh? Kok aku yang di salahin? Kan dasarnya kamu bulet!” Aku menggembungkan pipiku, seakan-akan wajahnya sebulat gembungan pipiku.
Kamu selalu berkomentar “Bi, aku gendutan ya sekarang?” atau  “Pipiku chubby banget nih.” Atau  “Tuhkan lenganku keliatan gede di foto.”
Rania Rania, kamu selalu mengeluh seperti itu. Berapa kali aku harus bilang sama kamu, kalau kamu selalu cantik di mata aku.
Bahkan kamu pernah diet mati-matian untukku. Kamu bilang, aku selingkuh sama perempuan lain gara-gara kamu gendutan. Karena aku tak ada kabar waktu itu. Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu? Bagaimana bisa aku bersenang-senang degan perempuan yang bukan kamu? Terlalu banyak kamu di pikiranku, untuk aku gantikan.
“Heeeey! Awan!” Kelline memanggilku sambil melambai-lambaikan kedua tangannya. Aku tergegap. 
“Okay! Stay in that pose! One, two, three!”
“How?”
Aku mengacungkan jempolku, lalu berseru, “You look pretty!” Mata cokelatnya berbinar mendengar itu.
Rania, dia memang cantik. Tapi di mataku, kamu lebih cantik daripada dia. Kamu terlalu sempurna untuk dibandingkan dengan siapapun.
Rania, maafkan aku, keputusanku. Maafkan karena aku telah membuat keadaan seperti ini. Maafkan aku yang tak bisa menepati janjiku padamu. Maafkan aku yang terpaksa meninggalkanmu.
Ya, mungkin orangtuamu benar Rania, aku tak pantas untuk kamu pertahankan. Entah siapa yang sebenarnya tak pantas. Aku untuk perempuan sebaik kamu, atau kamu untuk laki-laki sebrengsek aku.
Lanjutkan hidup kamu tanpa aku. Jalani apapun yang diinginkan orangtuamu. Maafkan aku, jangan paksa aku untuk seperti kamu, menjalani apa yang tidak aku inginkan. Bukankah pada dasarnya kita tidak dapat menyenangkan semua orang? Ini caraku untuk membuat mimpiku menjadi nyata. Biarlah kata-kata orang yang mencemoohku. Pada suatu saat aku akan tersenyum atas kemenanganku. 
  
Mungkin kita memang harus berpisah. Jangan kamu sesali apa yang sudah kita rancang bersama. Mungkin kita akan dipertemukan suatu waktu nanti. Dengan mimpi yang sudah menjadi nyata digenggaman kita masing-masing untuk dipersatukan.
Jika tidak, mungkin Tuhan sudah mempersiapkan seseorang yang lebih baik untuk menyempurnakan mimpi kita. Mempersiapkan seseorang yang lebih kuat untuk menemani kita sampai ujung perjalanan. Rania, percayalah Tuhan selalu adil untuk hambanya. 

Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML