Senin, 14 Oktober 2013

Rindu

cerita sebelumnya




Bali, 20 September 2013

Aku tersenyum puas melihat hasil bidikan kameraku. Dia terlihat cantik di sini.
“I love this picture so much. Thankyou! You’re good photographer!” Kelline tertawa girang melihat hasil fotonya di layar kamera SLR ku.
Ya,dia perempuan asal Austria. Kami sudah saling mengenal sekitar dua bulan yang lalu lewat pertukaran pelajar mahasiswa AISEC. Aku tertarik mengikuti program ini. Aku bisa menjalin banyak pertemanan dengan orang-orang mancanegara yang mempunyai berbagai macam kebudayaan yang sangat menarik untuk diketahui. Bukan hanya dia yang aku kenal, namun dari sekian banyaknya mahasiswa asing AISEC hanya dia yang lebih dekat denganku. Hasil bidikanku yang mungkin membuatnya “Jatuh cinta” denganku. Walaupun katanya, dia mempunyai pengalaman buruk di negara asalnya ketika menjadi model seorang fotografer. Dia banyak bercerita denganku, semuanya, segalanya. Sampai suatu ketika aku pernah bertanya pada dirinya,
“Why you trust me? I just stranger for you."
 “I don’t know. I feel comfortable with you. I think you good boy. Don’t you?” Katanya sambil tersenyum. Jujur, laki-laki mana yang tidak senang dikatakan seperti itu oleh seorang perempuan cantik seperti dirinya?
Dari sanalah aku mulai dekat dengannya. Ia perempuan yang baik menurutku. Aku sering mengajaknya keluar, pergi berjalan-jalan ketika tak ada acara di kampus. Hanya sekedar mengelilingi pematang sawah dengan sepeda atau sarapan dengan nasi pecel.
“It’s very spicy!!” Serunya ketika memakan sesendok pecel yang aku suapkan kepadanya. Padahal tidak ada campuran sambal sedikitpun di sana. Aku tertawa melihatnya kepedasan, wajahnya memerah dan bercucuran keringat.
 
Aku berharap bisa seperti dirinya. Bisa menjadi bagian mahasiswa AISEC yang dapat berkeliling dunia, dapat berkenalan dengan banyak orang asing. Namun kenyataan menghimpitku untuk berada di rute kemauan ayahku.
Persetan dengan semua teori-teori tentang Sistem Informasi yang seringkali membuat otakku kacau. Persetan dengan SKS yang belum aku ambil separuhnya. Persetan dengan skripsi yang harusnya aku selesaikan semester ini. Aku tak mau tahu. Itu bukan duniaku, itu bukan tujuanku.
Aku tahu, aku sudah banyak kehilangan waktu, dan kedua orangtuaku yang banyak mengahabiskan uangnya untuk biaya kuliahku. Salah siapa? Mereka terlalu memaksaku untuk kuliah di jurusan yang tidak aku inginkan.
“Awan! Take my picture in there!” Kelline menunjuk atas tebing bebatuan.
“Okay. Be carefull Kelline!” 
Dia mempercepat langkahnya mendaki anak tangga yang terbuat dari bebatuan. Aku yang memerhatikan dirinya, memastikan dirinya tidak terjatuh tersandung bebatuan.
Dia tak jauh berbeda dengan Rania. Rania yang selalu tergesa ketika ingin di foto hingga helai helai poninya menjadi berantakan. Ah, Rania lagi. Aku jadi merindukanmu. Masih terpampang jelas dalam sisa ingatanku tentang dirimu.
Kamu yang terkadang merengek manja ketika meminta sesuatu, namun bisa berubah lebih dewasa daripada aku ketika aku mempunyai permasalahan yang tak bisa aku selesaikan sendiri. Kamu yang menakutkan sesuatu hal yang sebenarnya tak perlu ditakutkan. Kamu yang terkadang berlebihan. Dan kamu yang sering mencubit gemas lenganku ketika hasil bidikanku tak sesempurna yang kamu bayangkan.
“Yah, kok di sini wajahku bulet banget sihhhh. Kamu niih bi!” 
“Loh? Kok aku yang di salahin? Kan dasarnya kamu bulet!” Aku menggembungkan pipiku, seakan-akan wajahnya sebulat gembungan pipiku.
Kamu selalu berkomentar “Bi, aku gendutan ya sekarang?” atau  “Pipiku chubby banget nih.” Atau  “Tuhkan lenganku keliatan gede di foto.”
Rania Rania, kamu selalu mengeluh seperti itu. Berapa kali aku harus bilang sama kamu, kalau kamu selalu cantik di mata aku.
Bahkan kamu pernah diet mati-matian untukku. Kamu bilang, aku selingkuh sama perempuan lain gara-gara kamu gendutan. Karena aku tak ada kabar waktu itu. Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu? Bagaimana bisa aku bersenang-senang degan perempuan yang bukan kamu? Terlalu banyak kamu di pikiranku, untuk aku gantikan.
“Heeeey! Awan!” Kelline memanggilku sambil melambai-lambaikan kedua tangannya. Aku tergegap. 
“Okay! Stay in that pose! One, two, three!”
“How?”
Aku mengacungkan jempolku, lalu berseru, “You look pretty!” Mata cokelatnya berbinar mendengar itu.
Rania, dia memang cantik. Tapi di mataku, kamu lebih cantik daripada dia. Kamu terlalu sempurna untuk dibandingkan dengan siapapun.
Rania, maafkan aku, keputusanku. Maafkan karena aku telah membuat keadaan seperti ini. Maafkan aku yang tak bisa menepati janjiku padamu. Maafkan aku yang terpaksa meninggalkanmu.
Ya, mungkin orangtuamu benar Rania, aku tak pantas untuk kamu pertahankan. Entah siapa yang sebenarnya tak pantas. Aku untuk perempuan sebaik kamu, atau kamu untuk laki-laki sebrengsek aku.
Lanjutkan hidup kamu tanpa aku. Jalani apapun yang diinginkan orangtuamu. Maafkan aku, jangan paksa aku untuk seperti kamu, menjalani apa yang tidak aku inginkan. Bukankah pada dasarnya kita tidak dapat menyenangkan semua orang? Ini caraku untuk membuat mimpiku menjadi nyata. Biarlah kata-kata orang yang mencemoohku. Pada suatu saat aku akan tersenyum atas kemenanganku. 
  
Mungkin kita memang harus berpisah. Jangan kamu sesali apa yang sudah kita rancang bersama. Mungkin kita akan dipertemukan suatu waktu nanti. Dengan mimpi yang sudah menjadi nyata digenggaman kita masing-masing untuk dipersatukan.
Jika tidak, mungkin Tuhan sudah mempersiapkan seseorang yang lebih baik untuk menyempurnakan mimpi kita. Mempersiapkan seseorang yang lebih kuat untuk menemani kita sampai ujung perjalanan. Rania, percayalah Tuhan selalu adil untuk hambanya. 




Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML