Ketika semua tak akan pernah menjadi sama lagi. Jalan itu, semua persimpangan dan tempat persinggahan yang pernah saya tempati, saya akan tetap berjalan mengikuti arah panah rambu yang ada. Meski saya selalu berpikir dan berharap akan menemukan persinggahan saya yang dulu. Kamu.
Sabtu, 30 November 2013
Singgah
Ketika semua tak akan pernah menjadi sama lagi. Jalan itu, semua persimpangan dan tempat persinggahan yang pernah saya tempati, saya akan tetap berjalan mengikuti arah panah rambu yang ada. Meski saya selalu berpikir dan berharap akan menemukan persinggahan saya yang dulu. Kamu.
Lepas
Cerita sebelumnya>> Selamat Tinggal (!)
Hampir pagi. Dan aku masih terjaga di pojokkan kamar. Masih
terdiam seperti berjam-jam yang lalu. Ditemani bercangkir-cangkir kopi dan
puntung-puntung rokok yang aku geletakkan di tepi jendela kamarku. Tak peduli
sudah berapa cangkir kopi yang aku minum malam ini, dan sudah berapa batang
rokok yang aku hisap untuk menghabiskan sisa malamku, walaupun aku tak berniat
untuk membunuh waktu sendirian.
Mataku
menatap kosong layar laptop yang menyala di hadapanku sedari tadi. Sesekali
melirik ponsel yang berada di samping kakiku. Menghisap panjang batang rokokku
yang tinggal setengah lalu mengehembuskannya pelan. Tak ada satupun pesan masuk
di sana. Hanya terpampang fotoku dan Rania sebagai wallpaper handphone. Aku
merindukannya, sungguh. Bahkan kepulan-kepulan asap rokok ini menjadi aroma
parfum yang sering ia pakai di hidungku. Pengecut ! bahkan aku tidak bisa
mendefinisikan rasa yang menyeruak dan mendesak rongga dadaku. Aku ingin Rania
berada di sini. Memeluknya, menjaganya dalam dekapanku, lalu mengecupnya pelan-pelan.
Tembok pertahananku perlahan retak, runtuh. Aku tak bisa mengelak, jika aku
benar-benar mencintainya.
Aku
tersenyum kecut menatap layar ponselku. Mana mungkin Rania mau menghubungiku
hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun untukku? Mungkin ia sudah lupa,
atau bahkan ia tak pernah menganggapku lahir di dunia ini. Terlebih setelah
pertemuan tak terduga dengannya dua bulan yang lalu di Malioboro. Aku masih
mengingatnya dengan jelas. Wajah cantiknya yang terkena pendar cahaya lampu
kota. Ia tersenyum hangat menjabat tanganku walaupun terlihat sedikit canggung.
Senyum yang selalu ia tujukan padaku, dulu. Senyum yang teramat sangat aku
rindukan detik ini. Namun senyumnya lenyap dalam sekejap waktu itu, lalu ia
melepaskan jabatan tangannya. Aku dapat merasakan matanya memanas saat itu.
Matanya terpaku pada gelang bodoh yang baru aku pakai. Ah, tentang gelang itu.
Gelang pemberian Kelline sebelum ia kembali lagi ke negara asalnya sebagai
kenangan dan ucapan terimakasih untukku. Tak lebih. Entah apa yang ada di otak
Rania saat itu hingga mulutnya terkunci rapat dan berpamit meninggalkan aku.
Jam
digital di laptopku telah menunjukkan pukul 03.00 tepat. Dan aku tak mendapati
satu pesan pun di ponselku. Mau gila
rasanya jika berada di posisi seperti ini. Seakan-akan puntung-puntung rokok
itu menertawakanku. Ah, ternyata aku telah menghabiskan mereka tanpa sisa. Tak
ada cadangan sekotak rokok pun di sini. Sial !
Aku
terkejut, ketika ponselku bergetar. Aku meliriknya dengan tatapan ragu.
Berharap aku tak lagi berhalusinasi, mana bisa kandungan nikotin sekotak rokok
dapat membuatku berhalusinasi? Yang benar saja! Degup jantungku semakin cepat ketika
jariku menekan layar handphoneku untuk membuka pesan. Mungkinkah Rania?
Nomor tak dikenal? Siapa? Apakah Rania telah mengganti nomor
teleponnya? Aku membukanya dengan tergesa.
Blackberry
murah. Diskon 50% Gemini, Dakota. Dapatkan segera di toko kami. Cek website...
Sialan!! Aargh ! toko sialan !
percuma saja jantungku berdegup sangat cepat demi sms sampah seperti itu ! Aku
melemparkan handphone-ku di atas
kasur. Bisa-bisanya aku menjadi sebodoh ini.
Aku menatap layar laptopku lagi,
melihat foto profil facebook Rania yang sedang tersenyum dengan seorang
laki-laki yang merangkulnya. Aku tutup layar laptopku. Menutup semua rasa dalam
segala kenang yang tersisa. Menutup mata terhadap pintu masa lalu yang selalu
terbuka lebar untuk menyeret aku dalam pusarannya yang semu. Berusaha melepas semuanya, tanpa sisa.
Ini aku. Ini hidupku. Dan kamu dengan hidupmu.Mungkin
Tuhan tidak menciptakan kita dengan jiwa yang sama. Ini keputusan kita walau
bukan kamu yang mau. Jadi, aku mau pergi dari ruang yang selalu membuatku
terlalu hina jika lebih lama tinggal di sini. Maaf jika aku terkadang munafik dan terlalu naif. Jika Tuhan menginginkan kita lagi untuk di letakkan
di garis yang sama, semuanya akan kembali seperti semula.
Sabtu, 23 November 2013
Senja, berhentilah
Add caption |
Aku mengaggumimu dari
tempatku bernaung. Dari atas sini. Setiap hari tanpa kamu ketahui. Itupun
aku hanya bisa mengintipmu, tak ingin sang pemilik singgasana tahu atas
kelancanganku ini.
Andai
saja aku bisa mempunyai kesempatan untuk mencuri detik agar dapat bertemu denganmu
di perbatasan waktu, hanya untuk memberi sebuah sapa dan memperkenalkan diri
sebagai senja yang tak pernah kamu lihat karena kamu lebih dulu terlelap
sebelum kedatanganku.
Biru,
apakah kamu sudah menerima surat-suratku sebelumnya? Sudahkah burung parkit itu
memberikan suratku untukmu? Aku harap iya. Dan kamu bersedia membalasnya. Biru,
maukah kamu menunggu di perbatasan waktu? Sebelum matahari rebah dan hilang
bersamamu?
***
Hai senja,
Aku tak pernah terlelap sebenarnya. Karena aku selalu mengamatimu lamat-lamat di persembunyianku. Maafkan aku, jika membuatmu menunggu terlalu lama. Aku sudah membaca ribuan suratmu sebelumnya, yang selalu aku simpan rapi di tempatku. Bukannya aku tak mempunyai waktu dan terlalu sibuk di atas sini, aku hanya terlalu takut jika membalas surat-suratmu itu.
Jangankan mencuri waktu, meminta pun aku tak mau. Jangan bodoh senja. Mana mungkin kita bertemu? Kita dilukiskan dalam kanvas yang berbeda. Dan selamanya kita akan selalu seperti ini. Kita akan terus berada di tempat yang sama dan tak akan beranjak kemana-mana. Dan kita tak akan pernah bisa berdiri sejajar pada waktu yag bersamaan, bukan?
Akankah kamu ingin terus menungguku? Menunggu pemilik waktu berbaik hati meminjamkan detiknya untuk kita? Bukankah Tuhan sudah menciptakan jingga yang selalu setia mewarnai kehadiranmu?
Jadi, berhentilah lagi mengirimiku surat yang
berisi canda dan rindumu yang membuatku semakin tersiksa di sini.
Berhentilah untuk merindukanku, aku hanya ingin semuanya berjalan seperti seharusnya. Berhentilah untuk berharap sesuatu yang tak mungkin dan tak akan pernah ditakdirkan dalam kehidupan kita, senja.
Berhentilah untuk aku dalam kehidupan kamu, sebelum jingga tahu dan akan
meninggalkanmu. Senja, tidak kamu berpikir jika kamu tanpa jingga?
Sebenarnya, jika waktu dan Tuhan berkenan, aku sudah mencintaimu jauh sebelum aku menerima ribuan suratmu yang membanjiriku. Senja, jika aku diperbolehkan untuk berkata ini pada pemilik singgasana, aku akan melakukannya jauh sebelum ini, bahwa aku selalu cemburu melihatmu bersama jingga. Aku hanya berusaha tahu diri, sebagai biru yang tak pernah ditakdirkan untuk merengkuh senja. Aku hanya ingin bersuyukur dan menjalani apa yang telah diberikan pemilik takdir untukku, meski aku selalu ingin meminta lebih.
Senja, jika kamu mencintaiku,lakukanlah seperti apa yang aku lakukan. Karena, belum tentu apa yang kita inginkan akan mengubah semuanya menjadi lebih baik.
Senja, jika kamu mencintaiku,lakukanlah seperti apa yang aku lakukan. Karena, belum tentu apa yang kita inginkan akan mengubah semuanya menjadi lebih baik.
***
Selasa, 12 November 2013
Aku, kamu, dan pertemuan
Semua berawal dari sebuah taman di sebuah kota tua. Kota
yang hampir mati karena ditinggalkan oleh para penghuninya. Orang-orang menyebutnya kota lama. Ya, aku tak sengaja
melihatnya di sana. Pandanganku berhenti tepat di tempatnya berada. Ia duduk di
tengah taman dan dikelilingi oleh anak laki-laki berusia 8tahunan sambil
menguarai tawanya. Tawa mereka menyeruak seisi taman. Memberikan atmosfir yang
berbeda untukku.
Aku tak
tahu harus menyebutnya apa. Tanganku tak bisa berhenti membidik ekspresi
tawanya lewat lensa kamera SLRku. Senyumku selalu mengembang tanpa aku sadari
ketika melihat hasil bidikanku kumpulan ekspresinya di layar kameraku. Mungkin
sebagian memoriku penuh dengan wajahnya dan bocah-bocah di sekitarnya. Mereka
selalu menghiburku. Dan dirinya sukses membuat aku penasaran dan selalu ingin
menemuinya secara nyata.
Sejak
saat itu, aku rutin mengunjungi taman itu setiap hari Minggu. Hanya untuk
melihat aktivitasnya bersama anak-anak itu. Aku tak terlalu mengerti apa yang
diajarkannya. Yang paling penting saat ini adalah, aku dapat melihatnya lagi.
Melihat senyumnya lagi, dapat mendengar sayup-sayup tawa mereka dari tempatku
mengamatinya.
***
Tangannya
mengudara, lalu ia beridiri. Sesekali ia bertepuk tangan sembari tertawa
menunjukkan deretan giginya yang rapi. Dan sesekali ia membetulkan letak
kacamatanya yang turun karena banyak tertawa. Aku tersenyum, memandangi hasil
bidikanku tadi pagi yang baru saja aku pindahkan di laptop.
Aku tak
habis bosan memandangi wajahnya, menikmati senyumnya di layar laptopku.
Suaranya masih terekam jelas di gendang telingaku, dan semuanya menggelitik
aku. Ada satu foto yang menjadi favorit aku, ketika ia menampilkan ekspresi
idotnya. Menjulurkan lidahnya lalu menjulingkan matanya.
“Lucu!” Aku bergumam sendiri, sambil memandangi
fotonya yang kini menjadi walpaper laptopku. Aneh? Ya mungkin semua akan
berpikir aku adalah psikopat, mengaggumi seseorang yang baru aku lihat sehari,
karena jatuh cinta pada suara tawanya. Ah masa bodoh! Aku menyukainya.
***
Untuk
kesekian kalinya aku mengunjungi taman itu. Aku tak mendapati dirinya lagi di
sana. Ya, dua kali aku ke sana tak ada sosoknya. Aku benar-benar menyerah.
Karena aku tak pernah mendapatkan hasil perkenalan yang nyata selain
mengabadikan wajahnya di kameraku. Aku tak ingin menggenggam angin. Aku tahu,
aku sadar. Aku hanya membuang waktu ku hanya untuk mengamatinya dari jauh.
***
Aku
telah melupakannya. Hampir melupakan dirinya yang sempat aku rindukan beberapa
minggu. Aku sudah tenggelam dalam semua aktivitasku yang memakan sebagian besar
waktu luangku. Sampai pada akhirnya beberapa bulan kemudian, aku kembali
menginjakkan kaki di taman itu. Bukan untuk mengamati atau mencari dirinya. Ada
project yang harus aku kerjakan di sana.
“Maaf, ganggu
sebentar. Bisa fotoin kami di sana?”
Aku memalingkan wajahku ke arah suara di belakangku. Seorang laki-laki berkacamata full frame menunjuk kamera polaroitnya yang sedang ia genggam. Aku mengikuti arah pandangnya yang menunjuk kumpulan bocah laki-laki yang kelihatannya sedang menunggu persetujuanku.
Aku memalingkan wajahku ke arah suara di belakangku. Seorang laki-laki berkacamata full frame menunjuk kamera polaroitnya yang sedang ia genggam. Aku mengikuti arah pandangnya yang menunjuk kumpulan bocah laki-laki yang kelihatannya sedang menunggu persetujuanku.
Aku
menyipitkan mataku. Memastikan bahwa aku tak salah melihat. Astaga! dia! Dia
laki-laki yang dulu selalu aku curi ekspresi wajahnya, laki-laki yang pernah
memenuhi memori eksternalku, laki-laki yang membuatku berharap dapat
mempercepat akhir pekan setiap awal pekan di mulai. Laki-laki yang selalu aku
tunggu kehadirannya di taman ini. Laki-laki yang sempat membuatku menjadi
perempuan tolol dan dungu karena selalu mengunjungi taman ini sendirian.
“Gimana?
Bisa?” Dia tersenyum padaku. Lalu aku mengangguk.
Ada keyakinan yang selama ini aku genggam. Dan itu terjadi detik ini. Karena di dalam kehidupan, Tuhan selalu mempunyai caranya sendiri untuk mengenalkan seseorang dalam kehidupan kita tanpa kita duga.
let it go
Saya hanya ingin kembali seperti semula. Saya mulai gila, saya buta. Saya tidak bisa melihat siapapun selain kamu.
Langganan:
Postingan (Atom)