Aku rindu sapaan yang selalu terucap darinya. Sapaan hangat
yang selalu membuat bibir ku ini tersenyum. Aku merindukan semuanya. Semua yang
pernah dilakukan dia untuk aku, dulu. Entah, sejak kapan kami menjadi dua orang
asing yang tak pernah mengenal satu sama lain.
Dia sedang
duduk di sudut kelas. Meletakkan kepalanya di atas meja dan masih asik
mendengarkan lagu lewat earphone-nya. Aku hanya melihatnya sekilas dengan
mencondongkan tubuhku ke samping lalu aku kembali pada posisi ku semula.
Semuanya
tak pernah lagi sama. Walaupun dia masih berada di sekitarku. Walaupun dia
masih berbicara kepadaku, meskipun tak ada pembicaraan penting seperti dulu.
Mata hitam itu tak pernah lagi menatapku lekat.
Aku
mengembuskan napas. Aku merindukan dirinya. Bibirnya yang selalu tersenyum
untukku, matanya yang selalu menatap lekat mataku ketika kami bercerita tentang
apa saja berdua, suaranya yang selalu memenuhi lorong-lorong telingaku dengan
candanya, dengan tawanya yang tak pernah bisa berhenti dalam hitungan menit.
Tangannya yang terkadang mengacak lembut rambutku, membuat helai helai rambutku
mencuat hingga aku selalu mencubit lengannya gemas. Ah, dan lengan itu, lengan
yang pernah mendekapku spontan ketika aku merasa sedih. Lalu dalam hitungan
detik ia melepaskan dekapannya, dan menepuk-nepuk pelan pundakku, memberikan
semangat dengan cengirannya yang tak pernah ketinggalan. Sementara aku yang
selalu tergegap atas perlakuannya itu.
Mungkin dia
tak pernah tahu, aku selalu menyiapkan tempat untuknya di sini. Hatiku. Dia
yang tak pernah tahu, aku selalu memikirkannya setiap saat tak mengenal waktu.
Dia tak pernah tahu, aku sering memimpikannya. Bermimpi bahwa kami telah
terikat, bersama. Bermimpi keadaan kembali seperti dulu.
Kami
mungkin sama-sama angkuh. Sama-sama bermain dalam zona pertemanan. Dalam zona
persahabatan. Hingga semuanya menjadi retak, patah, menjauh ketika aku tak bisa
menyingkirkan egoku. Ketika kami lebih mementingkan perasaan masing-masing.
Bagaimana
bisa, aku membiarkan dia memilih perempuan itu. Sedangkan waktu luangnya, dia
bagi untukku. Bagaiamana bisa, aku membiarkan telinga ini mendengar
cerita-ceritanya tentang perempuan itu. Perempuan yang ternyata telah dekat
dengannya, jauh sebelum kami saling mengenal. Perempuan yang masih dia pertahankan
hingga saat ini, padahal dia sudah bermain dengan banyak lelaki di belakangnya.
Aku yang
terlalu bodoh, atau dia yang lihai mengelabuhiku. Hingga dia masuk dengan
mudahnya dalam kehidupanku tanpa aku beri sekat. Tanpa aku tahu kehidupannya
terlebih dahulu yang ternyata sudah terisi dengan perempuan itu.
Mana aku
tahu jika aku ternyata jatuh cinta dengan dia. Maaf, aku tak sengaja, aku tak
pernah merencanakannya ketika kami pertama kali mengenal. Mana aku tahu, jika
ternyata aku salah menilainya, hingga dia mempuanyai skor tertinggi dimataku
dari laki-laki lain. Mana aku tahu, jika dia menjalin hubungan lagi dengan
perempuan itu, padahal dia sudah mengatakan bahwa dirinya sudah memutuskan
perempuan itu. Mana aku tahu? Jika pesan singkat berisi ucapan selamat ulang
tahun dariku untukmu malam itu, membuat perempuanmu itu marah-marah kepadaku
melalui pesan singkat yang berisi ucapan selamat kepadaku, karena ternyata aku
orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Mana aku tahu?
Jika itu adalah akhir dari segala hubungan pertemanan kami.
Aku yang
menyalahkan diriku sendiri untuk semuanya yang terjadi di antara kami. Aku yang
menyalahkan diriku sendiri karena telah lancang melampaui garis batas
persahabatan kami. Aku yang selalu menyalahkan diriku sendiri. Karena aku, tak
bisa bertahan lebih lama untuknya. Aku yang sudah membangun benteng kokoh di antara
kami hingga aku kehilangan sapanya. Aku yang selalu menyalahkan diriku sendiri, karena
tak mempunyai cukup nyali berjalan ke belakang untuk memperbaiki semuanya. Ya, semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar