Awal Februari 2015. Waktu berlari
sedemikian cepatnya. Apa kamu merasakan hal yang sama?
Bagaimana perasaan kamu
ketika membaca ini? Pastinya kamu tak percaya jika aku adalah si pengirim
surat. Baiklah, aku yakinkan kamu bahwa aku memang perempuan yang pernah
tinggal di masa lalumu. Mungkin kita adalah hal yang terlalu lampau untuk
dikisahkan di sini lagi. Namun untuk terakhir kali, izinkan aku bercerita
mengenai hal-hal yang mungkin tidak sedikitpun kamu tahu. Semoga tak menjadi
lagi candu untukmu, karena aku pun menuliskannya tanpa rindu.
Kamu tahu? Cinta pertamaku terletak
pada sosokmu. Aku rasa pada waktu itu, cupid melesatkan anak panahnya
berkecepatan penuh tak mau tahu pada aku, si gadis yang masih berseragam
putih-biru. Entah apa yang aku pikirkan dulu, kamu adalah laki-laki yang
mempunyai lengkung senyum hampir sempurna bagiku. Dan ternyata, pada saat
bersamaan, diam-diam kamu menaruh hati padaku lewat salam yang kamu titipkan
lewat teman dekatku. Kali ini, untungnya cupid bekerja dengan cukup adil. Karena
apa yang lebih indah selain sepasang hati jatuh pada waktu yang bersamaan?
Kamu tahu? Ketika salammu sampai
kepadaku, layaknya euforia pesta tahun baru, dadaku bergemuruh riuh, ada cahaya
yang melesat-lesat, dan degupan-degupan tak terkendali yang rasanya ingin
meledak, meluap-luap. Aku seperti gadis yang terlahir paling bahagia detik itu.
Perlu ku beritahu, kamu adalah laki-laki
pertama yang berhasil melukis senyum tanpa jeda selama 24 jam penuh di bibirku.
Cinta segila itu, ya?
Sayangnya, kisah romansa pertama
kali kita tak terjadi di sebuah kafe, atau bioskop, atau tempat-tempat yang
biasanya aku baca di dalam novel. Cinta memang tak mau tahu tempat, tak ada
kafe, angkot pun jadi. Lucu ya? Sepanas dan seberdesakan itu, sempat-sempatnya
kita jatuh cinta. Seperti yang aku bilang berkali-kali Tuhan memang maha
Jenaka.
Tapi, takdir belum membawa kita
ke mana-mana saat itu. Setelah kamu menitipkan salam, kamu menghilang. Tak ada
titipan darimu, seperti nomor telepon yang bisa aku hubungi misalnya. Ah, kamu
ini bodoh atau apa, jika seperti itu, sebagai perempuan aku bisa apa selain
menunggu? Jangan kamu ulangi kepada perempuan manapun. Dasar pengecut !
Kamu membuatku menjadikan aku
perempuan yang berharap berhari-hari berikutnya, berbulan-bulan setelahnya, dan
kamu lenyap. Tanpa jejak. Begitupun akhirnya, aku membunuh perasaan itu. Hingga
saatnya tiba, hari itu datang.
Kamu juga perlu tahu, kamu
laki-laki pertama yang membuat aku nekat meletakkan harga diriku yang selama
ini melekat kuat. Aku beranikan diri, menitipkan salamku untukmu lewat temanku.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk melakukan itu. Karena, kita telah menanggalkan
seragam putih-biru dengan seragam putih abu-abu. Akhirnya, takdir mempertemukan kita setelah
tiga tahun lamanya. Dan rasa itu masih menetap sama, tak kemana-mana. Sehebat
itu kamu. Dulu.
Awalnya, ku pikir dengan
kesempatan kedua, aku dan kamu akan menjadi satu. Tapi nyatanya, untuk
mendapatkan kamu tak semudah itu. Aku tahu, kamu adalah laki-laki yang sempat
diperbincangkan banyak perempuan, dan kamu sempat beberapa kali memainkan hati
mereka. Dan tololnya, aku adalah salah satunya. Untuk kedua kalinya, kamu
menghilang tanpa pesan, tanpa kabar. Sebelum saling memiliki, kamu patahkan
hatiku berapa kali? Dasar brengsek.
Sepeninggalnya kamu, aku seperti
tersesat, tak tahu arah. Kamu ombang-ambingkan aku dilautan ragu
berminggu-minggu. Rinduku tertimbun, bertumpuk-tumpuk, berkarung-karung,
sebatang kara, tuannya hilang dimakan raksasa waktu. Apa mau kamu saat itu?
Sudahkah kamu merasa hebat ketika melakukan kepadaku sebanyak tiga kali.
Semenjak itu, di dekatmu, aku merasa tak aman, karena rentan akan kehilangan.
Untuk terakhir kalinya, kamu
datang dalam duniaku. Dan lagi, kamu tahu titik kelemahanku. Kali ini, kamu
bilang padaku, kamu mencintaiku dan bersumpah tak akan lagi meninggalkanku. Aku
senang mendengar itu. Tapi entah, rasanya tak sebahagia dulu. Ingat
diperjalanan itu? Malam itu? Setelah menonton bioskop film cinta murahan yang
membuat kita tertawa-tawa, karena kisahnya hampir sama dengan kita. Disaksikan
lampu-lampu kota, dan bisingnya jalan raya, akhirnya, kamu menyatakan sederet
kalimat yang bertahun-tahun aku tunggu.
“Kamu mau jadi pacarku?”
Kamu isi sela-sela jemariku
sepanjang perjalanan. Aku tersenyum tipis. Penantianku berbuah manis. Aku
mengangguk di belakang punggungmu. Aku memberitahumu, bahwa kamu adalah
laki-laki pertama yang mendengar kata “iya” dariku. Namun sambil mengemudi,
kamu malah tertawa tak percaya.
Tapi sayangnya, kebahagiaan kita
tak berlangsung lama, ya. Aku baru menyadari, rasa itu sebenarnya perlahan
hilang sebelum aku menerimamu. Karena sebelum kedatanganmu, saat aku tersesat, aku
bertemu laki-laki di persimpangan jalan yang merebut hatiku darimu. Jika bisa
memilih, aku lebih memilih mencintaimu daripada laki-laki yang telah berbahagia
dengan perempuannya.
Aku ingat malam itu. Ketika kamu
tak sengaja menemukan aku dalam padatnya alun-alun kota. Padahal aku sudah
mati-matian untuk menghilang dari peredaran matamu. Untuk tak membalas
pesan-pesan singkatmu selama seminggu. Takdir mempunyai cara sendiri untuk
mempertemukan juga memisahkan. Andai aku tak tahu malu, aku akan menangis di
hadapanmu detik itu. Meminta maaf kepadamu yang telah sangat mencintaiku. Namun
nyatanya, aku perempuan yang tak bisa memberikan rasa yang sama kepadamu.
Maafkan aku. Sungguh. Maafkan aku.
Tentang laki-laki itu.
Lupakanlah. Karena pada akhirnya, aku melepas kalian berdua. Kepadamu,
laki-laki pertamaku, terimakasih telah mengajariku banyak hal. Tentang
penantian, kesabaran, kedatangan, dan kepergian. Bukankah itu adalah bagian
dari kehidupan? Tidak ada yang kekal, tak ada yang benar-benar tinggal.
Terimakasih, laki-laki pertamaku. Kamu sudah sudi membaca suratku yang tak ku duga akan sepanjang ini.
Terimakasih. Sesuai janjiku, aku akan pergi lagi. Ini sudah tiga tahun lebih,
meski kita tak lagi satu kota, dan tak ada lagi kita, semoga kamu bahagia.
Dari aku,
yang pernah kamu bahagiakan