Jumat, 06 Februari 2015

Green Tea Latte

Surat ini ditujukan kepada kamu. Laki-laki yang buru-buru menutup pintu. Sengaja menghilangkan kuncinya agar tidak bisa dibuka olehmu sewaktu-waktu. Meski aku tahu kamu telah jatuh cinta denganku. Memang senekat itu kamu ternyata. Nekat dan bodoh memang tipis, ya? 
Ajari aku untuk membukanya. Jika tidak, aku akan membobolnya dengan cara paksa. Ah tidak aku hanya bercanda, aku tidak seperti itu, jika aku paksa kamu makin tak suka. Lalu bagaimana agar aku bisa?

Ini surat keduaku untukmu. Aku harap kamu tak bosan membaca dan masih mau menerimanya. Aku berjanji kali ini suratku tak akan panjang. Aku ingin bercerita sedikit saja di sini.

Kemarin, aku dengan temanku mengunjungi sebuah kedai kopi yang terkenal enak dengan latte buatannya. Ada percakapan singkat antara temanku dengan seorang barista yang sampai kini masih terngiang ditelinga. Ceritanya, temanku akan memesan sebuah minuman lalu di bawa pulang, ia menanyakan minuman apa yang didiamkan lama namun rasanya akan tetap sama. Lalu barista itu menjawab green tea latte. Detik itu, aku ingin tertawa mendengar pertanyaan temanku.

Yang didiamkan lama, namun rasanya masih tetap sama.

Harusnya jawabannya bukan green tea latte. Tapi aku. Hatiku lebih tepatnya. Kamu tahu apa persamaan green tea latte itu dengan aku?

Karena rasa itu masih ada. Masih tetep sama. Meski dengan ketidakpedulianmu terhadap apa-apa yang telah aku lakukan. Tidakkah kamu tahu bagaimana lemasnya lututku pada saat kamu menyapaku secara tiba-tiba sepaket dengan senyum lebarmu di tangga itu? Tidakkah kamu tahu bagaimana degupan-degupan dan aliran hangat menjalari pipiku ketika langkahmu semakin dekat. Tidak pernahkah kamu tahu? Jika kamu adalah prioritas pertamaku meski aku tahu tidak ada aku dalam daftar hidupmu?

Selama apa kamu akan menutup pintu itu? Sesakit apa rasanya? Selebar apa lukanya? Selekat apa kenangannya? Tak baik laki-laki sebaik kamu rela disekap oleh masa lalu. Karena aku tak mampu jika kamu menyuruhku untuk mendatangimu ke masa itu.
 Perlu kamu ketahui, jika langitmu masih abu-abu, jangan buru-buru kamu menutup pintu. Akan ku ajak kamu melihat langitku yang selalu biru. Denganku, kamu tak perlu sedikitpun ragu. Aku akan memberimu banyak hal-hal baru yang membahagiakan kamu. 



Dari aku,

Yang masih menunggu.
 







Read More




Rabu, 04 Februari 2015

Kepada yang Pernah Membahagiakan



Awal Februari 2015. Waktu berlari sedemikian cepatnya. Apa kamu merasakan hal yang sama?

Bagaimana perasaan kamu ketika membaca ini? Pastinya kamu tak percaya jika aku adalah si pengirim surat. Baiklah, aku yakinkan kamu bahwa aku memang perempuan yang pernah tinggal di masa lalumu. Mungkin kita adalah hal yang terlalu lampau untuk dikisahkan di sini lagi. Namun untuk terakhir kali, izinkan aku bercerita mengenai hal-hal yang mungkin tidak sedikitpun kamu tahu. Semoga tak menjadi lagi candu untukmu, karena aku pun menuliskannya tanpa rindu.

Kamu tahu? Cinta pertamaku terletak pada sosokmu. Aku rasa pada waktu itu, cupid melesatkan anak panahnya berkecepatan penuh tak mau tahu pada aku, si gadis yang masih berseragam putih-biru. Entah apa yang aku pikirkan dulu, kamu adalah laki-laki yang mempunyai lengkung senyum hampir sempurna bagiku. Dan ternyata, pada saat bersamaan, diam-diam kamu menaruh hati padaku lewat salam yang kamu titipkan lewat teman dekatku. Kali ini, untungnya cupid bekerja dengan cukup adil. Karena apa yang lebih indah selain sepasang hati jatuh pada waktu yang bersamaan?

Kamu tahu? Ketika salammu sampai kepadaku, layaknya euforia pesta tahun baru, dadaku bergemuruh riuh, ada cahaya yang melesat-lesat, dan degupan-degupan tak terkendali yang rasanya ingin meledak, meluap-luap. Aku seperti gadis yang terlahir paling bahagia detik itu. Perlu ku beritahu, kamu adalah  laki-laki pertama yang berhasil melukis senyum tanpa jeda selama 24 jam penuh di bibirku. Cinta segila itu, ya?

Sayangnya, kisah romansa pertama kali kita tak terjadi di sebuah kafe, atau bioskop, atau tempat-tempat yang biasanya aku baca di dalam novel. Cinta memang tak mau tahu tempat, tak ada kafe, angkot pun jadi. Lucu ya? Sepanas dan seberdesakan itu, sempat-sempatnya kita jatuh cinta. Seperti yang aku bilang berkali-kali Tuhan memang maha Jenaka.

Tapi, takdir belum membawa kita ke mana-mana saat itu. Setelah kamu menitipkan salam, kamu menghilang. Tak ada titipan darimu, seperti nomor telepon yang bisa aku hubungi misalnya. Ah, kamu ini bodoh atau apa, jika seperti itu, sebagai perempuan aku bisa apa selain menunggu? Jangan kamu ulangi kepada perempuan manapun. Dasar pengecut !

Kamu membuatku menjadikan aku perempuan yang berharap berhari-hari berikutnya, berbulan-bulan setelahnya, dan kamu lenyap. Tanpa jejak. Begitupun akhirnya, aku membunuh perasaan itu. Hingga saatnya tiba, hari itu datang.

Kamu juga perlu tahu, kamu laki-laki pertama yang membuat aku nekat meletakkan harga diriku yang selama ini melekat kuat. Aku beranikan diri, menitipkan salamku untukmu lewat temanku. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melakukan itu. Karena, kita telah menanggalkan seragam putih-biru dengan seragam putih abu-abu.  Akhirnya, takdir mempertemukan kita setelah tiga tahun lamanya. Dan rasa itu masih menetap sama, tak kemana-mana. Sehebat itu kamu. Dulu.

Awalnya, ku pikir dengan kesempatan kedua, aku dan kamu akan menjadi satu. Tapi nyatanya, untuk mendapatkan kamu tak semudah itu. Aku tahu, kamu adalah laki-laki yang sempat diperbincangkan banyak perempuan, dan kamu sempat beberapa kali memainkan hati mereka. Dan tololnya, aku adalah salah satunya. Untuk kedua kalinya, kamu menghilang tanpa pesan, tanpa kabar. Sebelum saling memiliki, kamu patahkan hatiku berapa kali? Dasar brengsek.

Sepeninggalnya kamu, aku seperti tersesat, tak tahu arah. Kamu ombang-ambingkan aku dilautan ragu berminggu-minggu. Rinduku tertimbun, bertumpuk-tumpuk, berkarung-karung, sebatang kara, tuannya hilang dimakan raksasa waktu. Apa mau kamu saat itu? Sudahkah kamu merasa hebat ketika melakukan kepadaku sebanyak tiga kali. Semenjak itu, di dekatmu, aku merasa tak aman, karena rentan akan kehilangan.

Untuk terakhir kalinya, kamu datang dalam duniaku. Dan lagi, kamu tahu titik kelemahanku. Kali ini, kamu bilang padaku, kamu mencintaiku dan bersumpah tak akan lagi meninggalkanku. Aku senang mendengar itu. Tapi entah, rasanya tak sebahagia dulu. Ingat diperjalanan itu? Malam itu? Setelah menonton bioskop film cinta murahan yang membuat kita tertawa-tawa, karena kisahnya hampir sama dengan kita. Disaksikan lampu-lampu kota, dan bisingnya jalan raya, akhirnya, kamu menyatakan sederet kalimat yang bertahun-tahun aku tunggu.

“Kamu mau jadi pacarku?”

Kamu isi sela-sela jemariku sepanjang perjalanan. Aku tersenyum tipis. Penantianku berbuah manis. Aku mengangguk di belakang punggungmu. Aku memberitahumu, bahwa kamu adalah laki-laki pertama yang mendengar kata “iya” dariku. Namun sambil mengemudi, kamu malah tertawa tak percaya.
Tapi sayangnya, kebahagiaan kita tak berlangsung lama, ya. Aku baru menyadari, rasa itu sebenarnya perlahan hilang sebelum aku menerimamu. Karena sebelum kedatanganmu, saat aku tersesat, aku bertemu laki-laki di persimpangan jalan yang merebut hatiku darimu. Jika bisa memilih, aku lebih memilih mencintaimu daripada laki-laki yang telah berbahagia dengan perempuannya.

Aku ingat malam itu. Ketika kamu tak sengaja menemukan aku dalam padatnya alun-alun kota. Padahal aku sudah mati-matian untuk menghilang dari peredaran matamu. Untuk tak membalas pesan-pesan singkatmu selama seminggu. Takdir mempunyai cara sendiri untuk mempertemukan juga memisahkan. Andai aku tak tahu malu, aku akan menangis di hadapanmu detik itu. Meminta maaf kepadamu yang telah sangat mencintaiku. Namun nyatanya, aku perempuan yang tak bisa memberikan rasa yang sama kepadamu. Maafkan aku. Sungguh. Maafkan aku.

Tentang laki-laki itu. Lupakanlah. Karena pada akhirnya, aku melepas kalian berdua. Kepadamu, laki-laki pertamaku, terimakasih telah mengajariku banyak hal. Tentang penantian, kesabaran, kedatangan, dan kepergian. Bukankah itu adalah bagian dari kehidupan? Tidak ada yang kekal, tak ada yang benar-benar tinggal.

Terimakasih, laki-laki pertamaku. Kamu sudah sudi membaca suratku yang tak ku duga akan sepanjang ini. Terimakasih. Sesuai janjiku, aku akan pergi lagi. Ini sudah tiga tahun lebih, meski kita tak lagi satu kota, dan tak ada lagi kita, semoga kamu bahagia.

Dari aku,

yang pernah kamu bahagiakan
Read More




Selasa, 03 Februari 2015

Tuan yang Membenci Hujan.

Sore ini langit tak secerah kemarin. Mendung datang lagi. Jika seperti ini, aku hanya dapat berharap gelap tak menaungi isi kepalamu. Lebih baik kamu menarik selimutmu lagi, daripada merutuki hujan tiada henti sejak awal Januari.

"Aku benci hujan." Itu katamu dua bulan yang lalu. Katamu hujan membuatmu tak bisa mendaki dan pernah membuatmu terpeleset berkali-kali. Ketika kamu bilang begitu, aku hanya bisa tertawa dalam hati. Karena bagaimana bisa aku mencintai hal-hal yang kamu benci.

Ah, memang  harusnya hujan tidak terus menerus mengguyur bumi hampir setiap hari. Kamu jadi membatalkan semua rencana-rencanamu mengelilingi semesta libur panjang ini. Rumah pun sepertinya tak menjadi nyaman untukmu karena jiwamu ingin terus lepas untuk mendaki. Jadi, di mana kamu sekarang? Masih menyekap diri dalam rumah kontrakan? Kamu tahu? Tepat di tempatku saat menulis surat ini pikiranku semakin menjadi-jadi.

Tuan pembenci hujan, tak rindukah kamu pada kampung halaman? Tanah kelahiran. Di sini apa yang kamu harapkan? Bulan ini sudah dipenuhi mantra-mantra basah hujan. Sebaiknya kamu pulang lalu mencari hangat yang melesak dalam cangkir-cangkir cengkrama mesra keluarga daripada menghitung hari menunggu matahari menjadi raja lagi bagi langit-langit para pendaki. 

Pulanglah. Ada rindu yang bertumpah ruah di dada seorang perempuan yang menanti di rumah. Carilah kehangatan, tuan. Karena sebentar lagi hari akan hujan.


Dari aku,

yang bukan siapa-siapamu.

Read More




Senin, 02 Februari 2015

Dari Gadis Seberang Pulau

Ini adalah surat balasan #30harimenulissuratcinta dua hari yang lalu. "Teruntuk Gadis di Sebrang Pulau"

***


Hai devy..

Layaknya sebuah surat, kau pasti mengharapkan sebuah balasan. Aku tak pandai merangkai kata yang indah untuk membalas suratmu yang berharga itu. Surat yang kau kirimkan melalui seorang tukang pos online. Terima kasih kuucapkan, terima kasih kau menyempatkan untuk menulis surat yang indah itu. Akupun rindu, rindu dengan semua rutinitas kita. 

Sudah hampir tiga minggu lamanya kita tidak berjumpa. Tidak bertatap muka. Rindu rasanya setiap hari menghabiskan waktu bersama. Mulai dari pagi hingga petang bahkan malam. Mulai dari candaan hingga tangisan. Mulai dari bahagia hingga keluhan. Selalu, selalu ada kau terselip diantaranya.  

Devy, aku sadar kamarku tak seluas kamar temanmu yang lain. Tapi kamarku sempat menjadi saksi bisu perjuangan kita. Perjuangan disaat kita mendapatkan sebuah pemberitahuan “si blabla menyukai foto anda”. Perjuangan disaat kita menerima chat “oke semangat ya dev/wid”. Perjuangan dimana kita mulai mengagumi mereka.

Devy, aku sadar seringkali merepotkanmu. Mengganggu waktu luangmu hanya untuk mengajakku berkeliling daerah kampus dengan harapan dapat bertemu dengannya. Menghabiskan tenagamu hanya untuk menjemputku ke kampus. Bahkan tak jarang uang tabunganmu habis hanya karena aku ajak berbelanja. 

Devy, kau tau? Aku tak pernah menyangka kita dapat bersatu. Dengan latar belakang yang berbeda. Dengan selera pakaian yang hampir tak sama. Dengan kriteria lelaki yang berbeda. Dengan kisah cinta yang nyaris sama, hingga tanggal lahir kita yang persis sama. Iya 11 September 1996. 

Devy, mungkin mereka terlahir begitu sempurna bagi kita. Sehingga nyaris tak pernah berhenti kita mengagumi mereka. Tak pernah berhenti bibir ini berdecak kagum melihat mereka. Tapi, apalah daya tangan tak sampai. 

Berjam-jam kita habiskan untuk melihat akun sosial media mereka. Berhari-hari kita bermimpi agar dapat dilirik oleh mereka. Bahkan berminggu-minggu kita habiskan untuk menunggu sebuah sapaan atau sebuah pertemuan. Tapi, nyaris tak ada satupun hasil yang terlihat. 

Kadang, seringkali kita saling menasehati satu sama lain. Menyuruh berhenti mengagumi dan berharap. Meninggalkan dan mulai membuka untuk yang lain. Tapi, itulah cinta. Logika dan amarah tak pernah mengalahkannya. 

Devy, aku tau. Tak mudah bagi kita untuk melupakan, meninggalkan, melepaskan dan membiasakan diri seperti sedia kala. Tapi, tak ada salahnya jikalau kita mencoba. Mencoba untuk pergi sejauh mungkin dari mereka. 

Dalam surat ini, aku hanya ingin mengatakan. Dev, terkadang cinta tak pernah salah namun logika lebih benar darinya meskipun pada akhirnya cinta yang menguasai semuanya.  

Terima kasih Devy, terima kasih. Maaf surat ini tak seindah suratmu. Percayalah keindahan tak selamanya dilihat dari fisiknya namun isi berhak berada dalam keindahan.



Wida.

Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML