Yogyakarta, 2 Oktober
2013
Aku tak pernah menyukai ketika berada di tengah keramaian. Seperti saat ini, aku yang sedang menemani teman-temanku berjalan-jalan menuju malioboro. Siapa yang tak tahu malioboro? Pasar yang berada di alun-alun Yogyakarta yang tak pernah sepi oleh wisatawan yang ingin berbelanja oleh-oleh ataupun hanya sekedar melihat-lihat.
Kami sudah berjalan kaki cukup jauh. Hingga akhirnya, salah satu temanku memutuskan untuk naik becak sekalian berkeliling. Aku pun setuju karena kakiku sudah terasa pegal walaupun aku sudah memakai sandal jepit.
“Pak, ke
benteng vredeburg berapa?” Aku menoleh mendengar suara itu. Suara yang tak lagi
asing bagiku. Aku berharap dugaanku salah. Namun jantungku berdetak semakin
cepat. Aku tak ingin menoleh. Tapi keingintahuanku mengalahkan semuanya.
Laki-laki itu pun tak sengaja menoleh ke arahku sebelum menaiki becaknya. Pendar cahaya lampu jalanan menerangi dirinya. Mata kami saling bertumbukan. Tubuhku terpaku, lidahku kelu. Bagaimana bisa? Pikiranku kacau. Seakan-akan semua berhenti. Seakan-akan pusat rotasi bumi beralih kepada dirinya. Bibirku bergetar.
“Rania?” Akhirnya dia bersuara setelah persekian detik kami saling berpandangan.
Laki-laki itu pun tak sengaja menoleh ke arahku sebelum menaiki becaknya. Pendar cahaya lampu jalanan menerangi dirinya. Mata kami saling bertumbukan. Tubuhku terpaku, lidahku kelu. Bagaimana bisa? Pikiranku kacau. Seakan-akan semua berhenti. Seakan-akan pusat rotasi bumi beralih kepada dirinya. Bibirku bergetar.
“Rania?” Akhirnya dia bersuara setelah persekian detik kami saling berpandangan.
Aku belum
bisa berkata. Tubuhku memanas. Ada yang menyengat entah apa. Aku lumpuh. Dia
belum berubah sejak terakhir menemuiku untuk mengakhiri hubungan kami. Semuanya
masih sama, hanya saja kulitnya menggelap. Tapi tetap saja, dia masih terlihat
tampan untukku. Semuanya masih sama. Maksudku, tidak semuanya. Hatinya bukan
lagi milikku.
“Apa
kabar?” ia mengulurkan tangannya. Mungkin ia juga tak tahu apa yang harus ia
lakukan saat ini.
Aku
berusaha tenang, berusaha tersenyum. Seakan-akan tak pernah ada memori yang
tersimpan dalam pikiranku tentang dirinya.
“Ya baik,
seperti yang kamu lihat.” Aku tersenyum. Menyambut jabatan tangannya. Seketika
otakku penuh dengan teriakan-teriakan yang memintaku untuk menarik tubuhnya
kedalam pelukanku. Mendekapnya lebih lama. Sekali saja. Atau paling tidak aku
mengungkapkan segalanya yang aku rasakan semenjak kepergiannya.
Namun mataku menangkap sesuatu dipergelangan tangannya. Sesuatu yang asing bagiku. Gelang hitam berinisial “K”. K? Siapa? Cepat-cepat aku melepaskan jabatan tangannya. Namun mataku tak bisa beralih dari gelang yang sedang dipakainya kini. Sejak kapan gelang itu berada di tangannya? Setahuku, dia tak pernah memakai gelang seperti itu. Hatiku mencelos.
Namun mataku menangkap sesuatu dipergelangan tangannya. Sesuatu yang asing bagiku. Gelang hitam berinisial “K”. K? Siapa? Cepat-cepat aku melepaskan jabatan tangannya. Namun mataku tak bisa beralih dari gelang yang sedang dipakainya kini. Sejak kapan gelang itu berada di tangannya? Setahuku, dia tak pernah memakai gelang seperti itu. Hatiku mencelos.
Dia salah
tingkah, ketika tahu aku sedang memerhatikan gelang yang berada di pergelangan
tangannya. Ia tergegap, “K..kamu lagi ngapa ke sini? Mau ke mana?”
Bibirku
sudah mengatup rapat. Kali ini tak mampu berkata sepatah katapun. Atau hanya
makian yang aku keluarkan untuknya, bahkan tanganku masih mampu untuk
menamparnya beberapa kali. Tapi, siapa
aku? Aku ditampar oleh kenyataan.
“Maaf, aku duluan ya, salam buat keluarga.” Buru-buru aku masuk ke dalam becak, Sebelum semua pertahananku runtuh. Sebelum kaca-kaca bening yang masih tertampung di bola mataku belum menderas.
Aku melihatnya sekilas, lewat ekor mataku sebelum becak yang kutumpangi berjalan. Dia masih berdiri di sana, tak beranjak selangkahpun. Memerhatikan aku, dengan kamera DSLR yang menggantung di lehernya. Dan yang pasti, gelang itu masih melekat di pergelangan tangannya.
“Maaf, aku duluan ya, salam buat keluarga.” Buru-buru aku masuk ke dalam becak, Sebelum semua pertahananku runtuh. Sebelum kaca-kaca bening yang masih tertampung di bola mataku belum menderas.
Aku melihatnya sekilas, lewat ekor mataku sebelum becak yang kutumpangi berjalan. Dia masih berdiri di sana, tak beranjak selangkahpun. Memerhatikan aku, dengan kamera DSLR yang menggantung di lehernya. Dan yang pasti, gelang itu masih melekat di pergelangan tangannya.
Aku menutup
mulutku, berusaha menahan rasa kecewa teramat sangat kepada dirinya. Pertemuan
tadi, yang ku harap dapat melarutkan rindu yang sudah berkerak, malah
membunuhku dalam sekejap.
Semudah itu untuk menggantikan diriku? Apakah waktu enam tahun belum mampu membuat diriku untuk tinggal di pikiranmu? Begitu tak berartikah diriku?
Semudah itu untuk menggantikan diriku? Apakah waktu enam tahun belum mampu membuat diriku untuk tinggal di pikiranmu? Begitu tak berartikah diriku?
Aku kira,
kamu masih ingin memperjuangkan aku. Ah brengsek! Beraninya kamu, Awan! Kamu
laki-laki brengsek. Dan aku, aku perempuan tolol yang selama ini mempertahankan
laki-laki sebrengsek kamu! Selamat tinggal! Semoga Tuhan merestui aku untuk melupakanmu. Melupakan aku yang mati-matian mempertahankanmu. Semoga...