Senin, 14 Oktober 2013

Selamat Tinggal (!)






Yogyakarta, 2 Oktober 2013
           
Aku tak pernah menyukai ketika berada di tengah keramaian. Seperti saat ini, aku yang sedang menemani teman-temanku berjalan-jalan menuju malioboro. Siapa yang tak tahu malioboro? Pasar yang berada di alun-alun Yogyakarta yang tak pernah sepi oleh wisatawan yang ingin berbelanja oleh-oleh ataupun hanya sekedar melihat-lihat. 
Kami sudah berjalan kaki cukup jauh. Hingga akhirnya, salah satu temanku memutuskan untuk naik becak sekalian berkeliling. Aku pun setuju karena kakiku sudah terasa pegal walaupun aku sudah memakai sandal jepit.
“Pak, ke benteng vredeburg berapa?” Aku menoleh mendengar suara itu. Suara yang tak lagi asing bagiku. Aku berharap dugaanku salah. Namun jantungku berdetak semakin cepat. Aku tak ingin menoleh. Tapi keingintahuanku mengalahkan semuanya. 
Laki-laki itu pun tak sengaja menoleh ke arahku sebelum menaiki becaknya. Pendar cahaya lampu jalanan menerangi dirinya. Mata kami saling bertumbukan. Tubuhku terpaku, lidahku kelu. Bagaimana bisa? Pikiranku kacau. Seakan-akan semua berhenti. Seakan-akan pusat rotasi bumi beralih kepada dirinya. Bibirku bergetar.
“Rania?” Akhirnya dia bersuara setelah persekian detik kami saling berpandangan.
Aku belum bisa berkata. Tubuhku memanas. Ada yang menyengat entah apa. Aku lumpuh. Dia belum berubah sejak terakhir menemuiku untuk mengakhiri hubungan kami. Semuanya masih sama, hanya saja kulitnya menggelap. Tapi tetap saja, dia masih terlihat tampan untukku. Semuanya masih sama. Maksudku, tidak semuanya. Hatinya bukan lagi milikku.
“Apa kabar?” ia mengulurkan tangannya. Mungkin ia juga tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.
Aku berusaha tenang, berusaha tersenyum. Seakan-akan tak pernah ada memori yang tersimpan dalam pikiranku tentang dirinya.
“Ya baik, seperti yang kamu lihat.” Aku tersenyum. Menyambut jabatan tangannya. Seketika otakku penuh dengan teriakan-teriakan yang memintaku untuk menarik tubuhnya kedalam pelukanku. Mendekapnya lebih lama. Sekali saja. Atau paling tidak aku mengungkapkan segalanya yang aku rasakan semenjak kepergiannya.
Namun mataku menangkap sesuatu dipergelangan tangannya. Sesuatu yang asing bagiku. Gelang hitam berinisial “K”. K? Siapa? Cepat-cepat aku melepaskan jabatan tangannya. Namun mataku tak bisa beralih dari gelang yang sedang dipakainya kini. Sejak kapan gelang itu berada di tangannya? Setahuku, dia tak pernah memakai gelang seperti itu. Hatiku mencelos.
Dia salah tingkah, ketika tahu aku sedang memerhatikan gelang yang berada di pergelangan tangannya. Ia tergegap, “K..kamu lagi ngapa ke sini? Mau ke mana?”
Bibirku sudah mengatup rapat. Kali ini tak mampu berkata sepatah katapun. Atau hanya makian yang aku keluarkan untuknya, bahkan tanganku masih mampu untuk menamparnya beberapa kali. Tapi, siapa aku? Aku ditampar oleh kenyataan.
“Maaf, aku duluan ya, salam buat keluarga.” Buru-buru aku masuk ke dalam becak, Sebelum semua pertahananku runtuh. Sebelum kaca-kaca bening yang masih tertampung di bola mataku belum menderas.
Aku melihatnya sekilas, lewat ekor mataku sebelum becak yang kutumpangi berjalan. Dia masih berdiri di sana, tak beranjak selangkahpun. Memerhatikan aku, dengan kamera DSLR yang menggantung di lehernya. Dan yang pasti, gelang itu masih melekat di pergelangan tangannya.
Aku menutup mulutku, berusaha menahan rasa kecewa teramat sangat kepada dirinya. Pertemuan tadi, yang ku harap dapat melarutkan rindu yang sudah berkerak, malah membunuhku dalam sekejap.
Semudah itu untuk menggantikan diriku? Apakah waktu enam tahun belum mampu membuat diriku untuk tinggal di pikiranmu? Begitu tak berartikah diriku?
Aku kira, kamu masih ingin memperjuangkan aku. Ah brengsek! Beraninya kamu, Awan! Kamu laki-laki brengsek. Dan aku, aku perempuan tolol yang selama ini mempertahankan laki-laki sebrengsek kamu! Selamat tinggal! Semoga Tuhan merestui aku untuk melupakanmu. Melupakan aku yang mati-matian mempertahankanmu. Semoga...
Read More




Rindu

cerita sebelumnya




Bali, 20 September 2013

Aku tersenyum puas melihat hasil bidikan kameraku. Dia terlihat cantik di sini.
“I love this picture so much. Thankyou! You’re good photographer!” Kelline tertawa girang melihat hasil fotonya di layar kamera SLR ku.
Ya,dia perempuan asal Austria. Kami sudah saling mengenal sekitar dua bulan yang lalu lewat pertukaran pelajar mahasiswa AISEC. Aku tertarik mengikuti program ini. Aku bisa menjalin banyak pertemanan dengan orang-orang mancanegara yang mempunyai berbagai macam kebudayaan yang sangat menarik untuk diketahui. Bukan hanya dia yang aku kenal, namun dari sekian banyaknya mahasiswa asing AISEC hanya dia yang lebih dekat denganku. Hasil bidikanku yang mungkin membuatnya “Jatuh cinta” denganku. Walaupun katanya, dia mempunyai pengalaman buruk di negara asalnya ketika menjadi model seorang fotografer. Dia banyak bercerita denganku, semuanya, segalanya. Sampai suatu ketika aku pernah bertanya pada dirinya,
“Why you trust me? I just stranger for you."
 “I don’t know. I feel comfortable with you. I think you good boy. Don’t you?” Katanya sambil tersenyum. Jujur, laki-laki mana yang tidak senang dikatakan seperti itu oleh seorang perempuan cantik seperti dirinya?
Dari sanalah aku mulai dekat dengannya. Ia perempuan yang baik menurutku. Aku sering mengajaknya keluar, pergi berjalan-jalan ketika tak ada acara di kampus. Hanya sekedar mengelilingi pematang sawah dengan sepeda atau sarapan dengan nasi pecel.
“It’s very spicy!!” Serunya ketika memakan sesendok pecel yang aku suapkan kepadanya. Padahal tidak ada campuran sambal sedikitpun di sana. Aku tertawa melihatnya kepedasan, wajahnya memerah dan bercucuran keringat.
 
Aku berharap bisa seperti dirinya. Bisa menjadi bagian mahasiswa AISEC yang dapat berkeliling dunia, dapat berkenalan dengan banyak orang asing. Namun kenyataan menghimpitku untuk berada di rute kemauan ayahku.
Persetan dengan semua teori-teori tentang Sistem Informasi yang seringkali membuat otakku kacau. Persetan dengan SKS yang belum aku ambil separuhnya. Persetan dengan skripsi yang harusnya aku selesaikan semester ini. Aku tak mau tahu. Itu bukan duniaku, itu bukan tujuanku.
Aku tahu, aku sudah banyak kehilangan waktu, dan kedua orangtuaku yang banyak mengahabiskan uangnya untuk biaya kuliahku. Salah siapa? Mereka terlalu memaksaku untuk kuliah di jurusan yang tidak aku inginkan.
“Awan! Take my picture in there!” Kelline menunjuk atas tebing bebatuan.
“Okay. Be carefull Kelline!” 
Dia mempercepat langkahnya mendaki anak tangga yang terbuat dari bebatuan. Aku yang memerhatikan dirinya, memastikan dirinya tidak terjatuh tersandung bebatuan.
Dia tak jauh berbeda dengan Rania. Rania yang selalu tergesa ketika ingin di foto hingga helai helai poninya menjadi berantakan. Ah, Rania lagi. Aku jadi merindukanmu. Masih terpampang jelas dalam sisa ingatanku tentang dirimu.
Kamu yang terkadang merengek manja ketika meminta sesuatu, namun bisa berubah lebih dewasa daripada aku ketika aku mempunyai permasalahan yang tak bisa aku selesaikan sendiri. Kamu yang menakutkan sesuatu hal yang sebenarnya tak perlu ditakutkan. Kamu yang terkadang berlebihan. Dan kamu yang sering mencubit gemas lenganku ketika hasil bidikanku tak sesempurna yang kamu bayangkan.
“Yah, kok di sini wajahku bulet banget sihhhh. Kamu niih bi!” 
“Loh? Kok aku yang di salahin? Kan dasarnya kamu bulet!” Aku menggembungkan pipiku, seakan-akan wajahnya sebulat gembungan pipiku.
Kamu selalu berkomentar “Bi, aku gendutan ya sekarang?” atau  “Pipiku chubby banget nih.” Atau  “Tuhkan lenganku keliatan gede di foto.”
Rania Rania, kamu selalu mengeluh seperti itu. Berapa kali aku harus bilang sama kamu, kalau kamu selalu cantik di mata aku.
Bahkan kamu pernah diet mati-matian untukku. Kamu bilang, aku selingkuh sama perempuan lain gara-gara kamu gendutan. Karena aku tak ada kabar waktu itu. Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu? Bagaimana bisa aku bersenang-senang degan perempuan yang bukan kamu? Terlalu banyak kamu di pikiranku, untuk aku gantikan.
“Heeeey! Awan!” Kelline memanggilku sambil melambai-lambaikan kedua tangannya. Aku tergegap. 
“Okay! Stay in that pose! One, two, three!”
“How?”
Aku mengacungkan jempolku, lalu berseru, “You look pretty!” Mata cokelatnya berbinar mendengar itu.
Rania, dia memang cantik. Tapi di mataku, kamu lebih cantik daripada dia. Kamu terlalu sempurna untuk dibandingkan dengan siapapun.
Rania, maafkan aku, keputusanku. Maafkan karena aku telah membuat keadaan seperti ini. Maafkan aku yang tak bisa menepati janjiku padamu. Maafkan aku yang terpaksa meninggalkanmu.
Ya, mungkin orangtuamu benar Rania, aku tak pantas untuk kamu pertahankan. Entah siapa yang sebenarnya tak pantas. Aku untuk perempuan sebaik kamu, atau kamu untuk laki-laki sebrengsek aku.
Lanjutkan hidup kamu tanpa aku. Jalani apapun yang diinginkan orangtuamu. Maafkan aku, jangan paksa aku untuk seperti kamu, menjalani apa yang tidak aku inginkan. Bukankah pada dasarnya kita tidak dapat menyenangkan semua orang? Ini caraku untuk membuat mimpiku menjadi nyata. Biarlah kata-kata orang yang mencemoohku. Pada suatu saat aku akan tersenyum atas kemenanganku. 
  
Mungkin kita memang harus berpisah. Jangan kamu sesali apa yang sudah kita rancang bersama. Mungkin kita akan dipertemukan suatu waktu nanti. Dengan mimpi yang sudah menjadi nyata digenggaman kita masing-masing untuk dipersatukan.
Jika tidak, mungkin Tuhan sudah mempersiapkan seseorang yang lebih baik untuk menyempurnakan mimpi kita. Mempersiapkan seseorang yang lebih kuat untuk menemani kita sampai ujung perjalanan. Rania, percayalah Tuhan selalu adil untuk hambanya. 

Read More




Hilang



Yogyakarta, 11 September 2013

Aku tidak pernah menyangka bisa secepat ini kehilangan dirinya. Mungkin takdir mempunyai ceritanya sendiri yang berbeda dengan cerita yang pernah aku rangkai manis bersama dia. Entah, ada saja yang selalu bisa membuatku merindukan dia, seperti kamera DSLR yang menggantung di leherku ini. Aku tak pernah menyangka kesenangannya, kegemarannya yang membuat kami terpisah. Menjauh dan berjarak. Ya, dia selalu seperti itu. Dia terlalu sibuk dengan dunianya, dia lupa jika dia harus menyelesaikan kewajiban kuliahnya. Aku tahu, dia mempunyai banyak impian besar yang sebenarnya dapat menghancurkan realita kehidupannya. Dia terlalu asik dengan rencana dan angan-angannya, hingga lupa menyertakan aku di dalamnya. Harusnya, sekarang ia menjadi laki-laki yang dapat menetukan kehidupan masa depannya. Denganku.

Aku selalu membanggakan dirinya, bagaimanapun pandangan orang lain terhadap dia. Dia laki-laki yang cerdas, yang supel, yang mempunyai banyak koneksi pertemanan. Dia laki-laki yang keras kepala, tak mau diatur, dia percaya pilihan dirinya adalah pilihan yang terbaik.

Aku mencintainya sungguh. Sejak aku mengenalnya di bangku SMA dulu, hingga kini. Rasa ini masih tetap sama, tak pernah mau pergi. Bagaimana bisa aku dapat melupakan kami yang selalu bersama, kami yang berkisah enam tahun lamanya.
           
 Mungkin dulu kami adalah sepasang ABG yang bodoh dan ceroboh. Bermain dalam rasa, memilih terhanyut dalam pusarannya, menolak untuk menyelamatkan diri. Aku bisa menerima dia yang terkadang posesif, dia yang aktif, dia yang selalu melanggar aturan sekolah, dia yang selalu menjadi topik hangat pembicaraan para guru. Sedangkan aku yang bertolak belakang dengan dirinya. Aku yang pemalu, aku yang penakut, aku yang rajin dan disiplin, walaupun begitu dirinya tetap saja lebih mudah menerima pelajaran daripada aku.  Namun, kami bisa berjalan beriringan, meskipun banyak yang tidak mempercayainya.
     
Aku mencintainya, terlalu mencintainya. Hingga aku suatu waktu pernah bertekad untuk melepaskannya dari kehidupanku. Aku hanya tidak ingin dia menjadi candu yang terlalu untukku. Seiring berjalannya waktu, rasa itu semakin lekat dan pekat. Mencoba untuk mengurangi takaran rasa yang aku berikan padanya, namun tak pernah bisa. Takaran itu selalu bertambah dengan sendirinya, setiap harinya. Sekuat aku mencoba, aku tak mampu.  Tak terlalu mampu. Aku menyerah kalah, terlalu banyak dia di dalam otakku.
Kini aku tak tahu lagi di mana keberadaannya. Dia mempunyai dunia yang luas untuk dia jelajahi, dan aku tak lagi mampu untuk berada di dalamnya.
    
Meskipun keputusan kami sudah bulat ada rasa yang selalu meronta, hanya sekedar ingin mendengar suaranya dari ujung telepon yang biasanya menemaniku hingga larut, atau pagi hari ketika mataku masih terpejam. Atau ingin melihat wajahnya dari dekat, memerhatikan senyumnya, dan obrolannya yang tak pernah habis. Atau mungkin merindukan rasa yang berharap ketika mendengar  suara ketukan pintu dari luar dan dirinya sudah berada di sana dengan dua buah es krim di tangannya. Atau bahkan merindukan omelan darinya ketika aku berusaha menyembunyikan sekotak rokok yang aku ambil dari ranselnya. Atau aku merindukan tangannya yang tak pernah luput merapikan helai poniku yang berantakan tertiup angin sebelum dia membidikku lewat kameranya. Entahlah, mana yang lebih aku rindukan, yang jelas aku merindukan kehadirannya. Aku terlalu banyak merindukan dirinya. Terlalu banyak berharap, bahwa waktu hanya bercanda. Bahwa waktu akan mengembalikan kami seperti semula, mengembalikan kami menjadi siswa SMA yang masih terlalu naif hanya untuk mengartikan rasa. 

Aku selalu berharap, menitip doa untukmu. Kembalilah,tata masa depanmu bersamaku. Kembalilah, yakinkan kedua orang tuaku, bahwa aku tak pernah salah pada pilihanku mempertahankanmu. Kembalilah, bicarakan lagi. Aku ingin denganmu, aku menunggumu. Perjuangkan kita yang dulu, maukah kamu?
Read More




Dreamer

tasya rire and me

Saya tersenyum membuka ponsel saya, ketika membaca pesan singkat dari teman saya. Tasya namanya. Selalu seperti itu ketika kami sedang membicarakan hal yang absurd. Kali ini kami sedang membicarakan tentang impian kami masing-masing. Tentang angan saya yang masih bisa diterima akal sehat, dan tentang angan Tasya yang tidak tahu malu. "Gue pengen bangun mall dev, namanya beauty heaven. Tunggu 10 tahun lagi, lo bakal liat ya. Itu mall yang paling komplit deh pokoknya!" Saya hanya bisa tertawa mendengar ocehannya. Namun dalam hati mengamini setiap impiannya :")

Masih terngiang-ngiang di telinga saya, obrolan beberapa bulan lalu dengan dia,
T : Gue mau kuliah di ISI (Institut Seni Indonesia) di Solo, gue udah diizinin sama orang tua gue. Di sana gue bisa ngambil peminatan perfilman, ato tenang fotografi gitu.
D : Ih asik dong lo !! Gue paling di Semarang aja, Sya. Pengen ngambil sastra bahasa Indonesia.
T : Yaudah, itu dunia lo kan. Gue tunggu novel lo !
D : Oke. Gue tunggu film lo ya!
T : Okeh. Liat aja ntar.
D : kalo novel gue best seller, elo filmin ya pokoknya!!
T : Pasti.
Kami menertawakan diri masing-masing. Namun diam-diam berjanji untuk menjadikan impian kami menjadi nyata :D

Kami mempunyai mimpi
Dan kami bertekad akan mewujudkannya di masa depan
Meleburkan mimpi kami berdua menjadi kenyataan
Meski pada akhirnya kami akan bertaruh pada jarak,
karena kami berlari berlawanan arah mata angin untuk mengejar mimpi yang berbeda
Namun, pada saatnya ada janji yang mempertemukan kami kembali di satu titik
Tempat di mana kami masih terlalu dini untuk menyusun segalanya agar menjadi sempurna
Tempat di mana kami menciptakan segudang angan-angan  sesuka kami, semau kami
Tempat di mana kami selalu merapal doa agar impian kami menjadi nyata dalam genggaman
Di sini...

Semarang, 14 Oktober 2013
Read More




Minggu, 06 Oktober 2013

Mana aku tahu?





Aku rindu sapaan yang selalu terucap darinya. Sapaan hangat yang selalu membuat bibir ku ini tersenyum. Aku merindukan semuanya. Semua yang pernah dilakukan dia untuk aku, dulu. Entah, sejak kapan kami menjadi dua orang asing yang tak pernah mengenal satu sama lain.
            Dia sedang duduk di sudut kelas. Meletakkan kepalanya di atas meja dan masih asik mendengarkan lagu lewat earphone-nya. Aku hanya melihatnya sekilas dengan mencondongkan tubuhku ke samping lalu aku kembali pada posisi ku semula.
Read More




Sabtu, 05 Oktober 2013

New blog!! again

yah sesuai judul, saya cuma mau say hello aja sama....sama pembaca. (elah kayak udah ada yang mau baca ini blog) ya cuma buat perkenalan lah istilahnya.
oke, mari kita ke belakang sebentar. Iya, ke belakang. Loh? loh? kok pada bubar? Eh kalian mau kemana?? toilet? siapa yang suruh ke belakang tadi?!! hih. Flash back maksudnyaaa. Loh kok pada melas gitu mukanya? emang kenapa kalo flash back? keinget siapaa? mantan? iya? mantan? Engga, tenang aja. Di sini engga ngomongin mantan kok. Santai...santai. Hari gini ngomongin mantan. Elaaah masih jaman? Come on!
Emang kalo boleh tau, kok kalian bisa putus kenapa sih? *disambitpembaca
Oke, fokus fokus. Tadi sampe mana? mantan? eh bukan bukan. Jangan pada ngambek gitu dong mukanya. Sampe flash back ya...
Sebenernya, saya tuh udah punya blog dari jaman kapan taun. Tapi ya gitu, nggak keurus, isinya absurd abis. Banyak aib nya. Jadi malu kaaan. hahaha. Dan, saya juga sempet buat tumblr gitu, tapi kebanyakan, tumblr sekarang cuma buat upload foto sama quote, ya jadi saya kurang bebas aja kalo mau cerita panjang-panjang. Jadi balik lagi ke blogger. #eciyebalikan #krik.
Dan judul blog ini "vanilla latte" diambil dari kopi kesukaan saya. Ya, nggak suka suka amat sih sebenernya. Saya lebih suka namanya. Gimana gitu yaaa *yagimanaasih -_- yagitudeh pokoknya *ditoyorpembaca
Sebelumnya saya bingung banget mau namain ini blog apa. Iseng, minta saran sama temen saya. Dan seperti biasa mereka tidak memberikan solusi. Ada yang saran "terombang-ambing" lah, "abstrak" lah "random" lah. sampe saking putus asanya, mereka ngasih "kopi tubruk" buat nama blog saya. Iya, temen-temen saya IQ nya di atas rata-rata. Mereka cerdas. Yagitu pemikiran orang cerdas. Gabisa di terima sama otak saya yang IQnya rendah -_______- Oiya, saking bingungnya saya sampe nyari istilah-istilah pake bahasa prancis, sama latin. Ya itu juga rekomendasinya salah satu dari mereka. Tapi teteplah ya, sekali lagi saya tegaskan, otak saya tidak bisa menerima apa yang mereka katakan *siapsiapdigaplok
Jadi, intinya, blog ini nantikan akan didominasi dengan cerita-cerita fiksi. Soalnya, banyak banget cerita fiksi yang ada di file laptop saya. Daripada numpuk banyak, nggak diapa-apain mending di publikasiin. Siapa tau ada yang tertarik, siapa tau ada yang suka, siapa tau ada yang naksir, siapa tau jodoh #salahfokus #ujung-ujungnyajodoh #keliatanjomblonya #iya #keliatan #banget.
Oke, gitudeh. Emang nggak penting sih. Tapi dunia harus tau gitu kalo saya abis buat blog yang namanya Vaniila Latte :P
Bye-bye !!!
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML