Sabtu, 12 Juli 2014

Aku Pulang



-Revan-
              
Seandainya setiap pulau mempunyai jembatan yang cukup dekat untuk menghubungkan pulaumu diantaranya, saat ini aku sudah berada dibalik kemudi mobil dengan kecepatan tinggi untuk menemuimu. Tak peduli  betapa letihnya aku sekarang, agar aku bisa memelukmu seperti waktu itu sebelum jarak melempar kita sejauh ini.
               
Tapi nyatanya aku masih berada di kantor, duduk di ruang kerja sambil berandai-andai bodoh seperti yang baru saja aku lakukan. Meski jarum jam telah menunjukkan pukul 11 malam.
               
 Aku baru saja membaca PM BBM mu ketika hendak mengirimkan sebuah chat, meski ini sudah terlalu malam. Kamu menuliskan “miss you” di sana dan gelanyar hangat langsung memenuhi syaraf-syaraf nadiku. Mungkin kamu sudah terlelap di sana, melihat chatku 10 menit yang lalu belum kunjung kamu balas.

Jika sudah begini, aku hanya bisa memandangi wajahmu lewat foto-fotomu yang hampir separuhnya memenuhi galeriku, dan yang terjadi adalah, aku semakin ingin menemuimu.
               
 Eriska, sebelum denganmu, rindu tak pernah sebrengsek ini.
               
 Apa yang lebih hebat rasanya, ketika rindu hanya sebatas kata dan tak kunjung menemui titik pertemuan?
               
Hampir saja aku memencet tombol turn off laptopku sebelum satu email masuk entah dari siapa. Kamu kah itu Eriska?
               
 Sial ! Email dari si bos ! Aku hanya tersenyum kecut membacanya. Entah aku harus bahagia atau kesal dengan isi email ini. Si bos memintaku untuk menangani sebuah proyek cukup besar untuk beberapa bulan ke depan. Artinya, aku harus menunda kepulanganku ke Semarang. Ya Tuhan...

And I’ve been keeping all the letters 
that I wrote to you
Each one a line or two
I'm fine baby, how are you?
Well I would send them but I know 
that it's just not enough
My words were cold and flat
And you deserve more than that.
               
Sejenak, kotak bludru berwarna merah yang aku simpan di laci mengalihkan perhatianku. Sebuah cincin yang akan aku kenakan di jari manis Eriska setiba aku di rumahnya nanti.
Eriska, kali ini aku berjanji, aku akan membuatmu bahagia, sesuatu yang belum pernah dilakukan laki-laki itu padamu.

-Eriska-
                
 Aku menahan napas, tepat saat melihat fotomu di instagramku. Debaran yang masih sama setiap aku melihat binar matamu dan lengkung senyummu yang tak terlalu kentara itu. Suara beratmu yang selintas terngiang di lorong-lorong telingaku ketika melihat wajahmu. Atau mungkin yang lebih hebat lagi, percakapan panjang kita setiap malam, tawamu yang pecah namun berirama, atau bahkan pertengkaran kita setahun yang lalu. Semuanya melintas, melesat silih berganti secepat satuan cahaya. Dan segala kenangan lima tahun kita, masih bercokol kuat di setiap sudut syaraf-syaraf otakku.
                
Kamu, laki-laki taurus berkepala batu yang hampir mengacaukan tatanan sempurna hidup perempuan virgo sebelum dia datang di kehidupanku, menarik paksa aku dalam kegilaan duniamu, agar tetap waras. Dia bisa, dia mampu membuatku setidaknya berpaling sedikit darimu. Namun nyatanya, sebanyak apapun aku menyangkal, separuh aku masih memilih menjadi gila karenamu.
               
Jadi, sekarang aku harus apa? Aku sudah terlalu sering membohongi diriku. Seribu sumpah serapahku padamu, tak membuat rindu ini lantas berkurang. Siapa yang patut disalahkan? Cinta atau ego yang selalu ingin dimenangkan?
                
Kali ini aku mengela napas, chat bbm darinya menghempaskan aku dari kenyataan. Aku sedang diambang batas. Kegilaan dan kewarasan.
               
 “I miss you too....”
               
Aku menggigit bibir, ketika membaca pesannya dari notif handphoneku. Ia mengira, PM ku untuknya.
                
Apa yang lebih resah, ketika rindu kehilangan tuannya?
                
Katakanlah aku memang jahat, tapi jika bisa memilih. Aku akan mencintai Revan daripada kamu. Nyatanya, cinta yang kumiliki tak mengenal santun.
               
Sebenarnya, aku ingin melepasnya malam itu. Ketika ia mengabarkan kepindahannya ke Kalimantan. Alasan terbaik untuk membiarkannya pergi. Karena sebenarnya, aku hanya ingin melepas, sebelum kami saling melukai.
               
Ia tetap pada pendiriannya. Berjuang mempertahankan hubungan bodoh ini. Karena rasa yang ia miliki tak sama dengan rasa yang ku genggam. Hatiku masih merekat kuat pada sosokmu. Aku dan dia mengkhawatirkan dua hal yang berbeda. Dia dengan jarak, dan aku pada rasa.
                
Waktu 8 bulan sudah terlalu cukup lama untuk mengukir luka tak kasat mata. Aku lelah berbohong, memutuskan meruntuhkan mimpi yang ia bangun sendiri.  Hingga akhirnya, aku menangis sejadi jadinya di peluknya, mengatakan yang sebenarnya, yang sejujur jujurnya. Aku masih mencintai laki-laki yang meninggalkanku. Kamu.
                
Ia terkesiap, terdiam. Lama. Aku menunggunya bersuara.
               
“Aku akan nungguin kamu. Sampai kamu benar-benar melupakannya.”
                 
Aku yang mulai tercekat, tak mengerti. Meski lewat manik matanya, ada fakta tak terbantahkan bahwa pengakuanku menyayat hatinya.
               
 “Jangan bodoh, Revan. Itu akan semakin nyakitin hati kamu dan nggak akan berhasil.”
                
 “Aku yakin. Aku bisa membahagiakan kamu. Dan kamu akan melupakan dia.”
               
 “Aku....nggak janji.”
               
 “Tapi aku yakin. Kamu masih nerima aku kan, Eriska? Karena yang pergi akan tergantikan dengan siapa yang ada. "
               
 Dan sepertinya itu bukan kamu, Revan.               

Kenyataannya, waktu dan keberadaan Revan, belum mampu membenamkan seluruhmu pada aku. Tak satupun partikel dirimu yang terlepas hingga detik ini.
               
Seharusnya, aku tak memaksa diriku sendiri untuk menerimanya. Tentang duniamu yang begitu luas dalam aku, dan ia terlalu kecil untuk memenuhi semua itu menggantikanmu.
               
Revan, aku ingin kepulanganmu dipercepat. Aku ingin menyelesaikan semuanya yang belum terselesaikan. Sebelum semuanya rumit dan terlalu jauh. Aku pun ingin pulang. Mencari rumah yang sebenarnya. Mungkin bukan kamu atau laki-laki brengsek itu. Aku ingin kita sama-sama pulang, melalui jalan masing-masing. Memperbaiki akhir cerita agar menemukan bahagia di dalamnya.

Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML