Minggu, 22 Maret 2015

Seperti Seharusnya

http://imgfave.com/view/2635596
pict form here


Sheilla.

“Aku ingin bertemu denganmu, di taman sudut kota. Pukul 5 sore.”

Aku membaca pesan singkat darinya dengan mata yang masih sembab. Tak peduli, bagaimana kacaunya keadaanku saat ini dengan hilangnya kabar darinya selama dua minggu. Aku ingin meminta maaf padanya, menjelaskan semua yang sebenarnya terjadi. Dan mencari jalan keluar bersama-sama. Memperjuangkan yang telah ada.

Ku pacu mobilku berkecepatan penuh. Melesat, meliuk-liuk di padatnya jalanan ibu kota, sama sekali tak ku acuhkan klakson-klakson kendaraan lain yang ditujukan padaku. Akhirnya, tak sampai setengah jam, aku tiba di taman yang dijanjikan Reno. Ku sipitkan mataku berusaha mencari sosoknya dan aku menemukannya. Duduk di tepian kolam taman, menunduk sambil menggenggam ponsel.

“Ren..” Suaraku serak memanggilnya yang tak berjarak lebih dari dua langkah di depanku.
Menyadari kehadiranku, ia mendongak menatapku. Kemudian berdiri, tak kunjung bicara.

“Aku…minta maaf,” Suaraku semakin parau, aku lebih mendekat ke arahnya. Namun ia mundur selangkah, menciptakan jarak. Dalam sekejap semua menjadi senyap. Aku menggigil kedinginan oleh sikapnya. Membeku.

Alih-alih menjawab, ia malah menyodorkan sebuah kertas undangan berbalut pita merah. Keningku berkerut tak mengerti. Dengan menahan sisa-sisa sesak yang bernapaskan mimpi aku berusaha membaca deretan kata di atas sana.

“Aku harap kamu datang.”

Tanganku bergetar menerima sepucuk undangan itu. Ada yang salah, jantungku beradu dengan argumen-argumen resah yang mengitari syaraf-syaraf otakku. Ada yang berdebam keras tepat di dadaku ketika mencoba mengeja dua nama yang terukir berlapis tinta emas di atas undangan pernikahan itu.

Reno Ardhi Sadewa & Resti Nanda Pitaloka.

Bagaimana bisa? Tidak. Ini salah. Tidak seperti ini seharusnya. Namaku tidak ada di sana. Setega itukah kamu?

Oksigen seakan menipis pada detik itu. Aku tak mampu bernapas. Atau bahkan aku lupa bagaimana caranya bernapas. Semua porak poranda. Pikiranku bak perlombaan karapan sapi. Begitu riuh dan gaduh. Tak ada lagi senyap, bom molotof meledak. Menghancurkan apapun tanpa ampun.

Aku melempar undangan itu tepat di dadanya. Dan menamparnya dua kali. Tenggorokanku tercekat. Semuanya seakan habis dirampas kecewa. Ia berusaha menenangkan aku. Tapi itu membuatku semakin meronta.

“Brengsek ! Dasar brengsek ! Berani-beraninya kamu, Ren !” Telunjukku merutuki dirinya tanpa ampun. Persetan dengan mata-mata ingin tahu di sekelilingku. Sungguh tak peduli. Aku benar-benar ingin mati ditelan bumi.

Ia memilih diam, menungguku untuk berhenti mengoloki dirinya. Aku berusaha tenang, namun luapan amarahku tak kunjung habis.

Ia menghela napas, “Sudahlah, takdir memang tidak membawa kita kemanapun. Mungkin memang sudah seperti ini seharusnya, kita hanya menjadi penggalan sebuah cerita. ”

Aku hanya dapat menggigit bibirku. Pedihnya berpuluh-puluh kali lipat. Bagaimana tidak? Aku sedang diikat oleh paksaan mengatasnamakan kebahagiaan lalu dicambuk penghiantan.

“Begitu caramu, Ren? Selama ini aku bukan prioritasmu?!” Nadaku meninggi, napasku masih naik turun tak karuan, “Lima tahun, Ren ! Lima tahun aku ditipu mentah-mentah olehmu ! Sungguh sia-sia pembelaanku padamu di depan orang tuaku!”

“Kamu tahu? Aku menunggu kabar darimu! Aku kira kamu akan memperjuangkan kita!” Aku menepuk-nepuk dadaku sendiri, menangis, meraung.

“Harusnya kamu tahu dari awal, Sheil! Orang tuamu tak pernah suka padaku. Dan kamu akan menikahi laki-laki pemilik perusahaan itu. Aku tak bisa memberi kebahagiaan lebih.”

Matanya menatapku. Aku tersayat dengan kata-katanya, “Kalaupun kamu mau. Aku mampu. Kita bisa memilih! Kita bisa pergi!” Aku mengusap bulir-bulir bening yang sedari tadi menderas dari kedua mataku.

“Relakan kita, Sheil. Kita cari kebahagiaan masing-masing.”

“Kebahagiaan? Mungkin cuma kamu yang mendapatkannya, Ren!”

“Selamat tinggal !” Aku beranjak pergi dari tempatku berdiri. Melangkahkan kaki lebar-lebar meninggalkan dirinya.

“Sheila !”

Teriakannya membuatku berhenti. Meski enggan. Aku ingin berhenti, walaupun langkahku tak berjarak sejengkal lagi dengannya. Terakhir kali, aku menoleh.

“Izinkan aku datang ke pernikahanmu minggu depan.”

Aku memicingkan mataku ke arahnya. Saat itu juga aku belajar, waktu dapat membolak balikan perasaan. Tadi dihadapannya masih ada setitik cintaku padanya dan detik ini aku benar-benar membenci dirinya. Aku sadar, ia tak pernah benar-benar mencintaiku. Dan cintanya, tak lebih besar dari biji-biji kenari musim semi.

***
Reno

“Kebahagiaan? Mungkin cuma kamu yang mendapatkannya, Ren!”

Semuanya masih terasa begitu jelas dan nyata. Pertengkaran aku dan dia lima hari yang lalu. Cara perpisahan yang benar-benar tak pernah ku bayangkan. Kualihkan dengan menyibukkan diri mengepak barang-barang yang ada di kontrakanku ini. Namun, usahaku sia-sia. Otakku masih bekerja keras, tak henti-hentinya meneriakiku ramai-ramai menyudutkan keputusanku. Dan di belahan rongga dada kiriku, tak henti-hentinya berdetak nyeri, ketika rindu memaksa melesak masuk ke dalam hingga sesak.

“Aaargh !” Ku pukul tembok hingga dentumannya memenuhi sudut-sudut ruangan, dan aku merasakan darah segar mengalir pada sela-sela jemariku. Nyerinya, belum dapat mengalahkan sakit hatiku.

Semuanya, yang telah terjadi bekelebat liar. Berulang-ulang dalam sekali kejap. Masih ada rasanya dua tamparannya di pipiku, masih kuingat matanya yang lelah, yang sembab, yang tak henti-hentinya dihujani bulir-bulir bening, dan masih terngiang jelas dalam lorong-lorong telingaku ketika ia mengolokiku laki-laki brengsek. Asal kamu tahu Sheil, aku rela brengsek demi kebahagiaan, yang semuanya adalah milikmu. Bukan aku.

Detik itu, ketika jarak sejengkal tak lagi hangat, kamu bukan lagi perempuan yang sama di mataku. Kamu bukan perempuan yang bisa begitu aku cintai hingga tak ingin aku lepaskan. Kamu bukan lagi perempuan yang bisa aku rengkuh semauku, bukan lagi perempuan yang bisa ku kecup keningnya sebelum perpisahan, dan bukan lagi perempuan yang bisa aku dekap ketika kamu dipeluk ketakutan seperti sore terakhir lima hari yang lalu. Sungguh, begitu tangismu pecah tepat di depan mataku, aku merasa lahir tak berguna di bumi ini.

Lusa, hari bahagiamu. Meski sering kau katakan padaku semuanya adalah palsu. Tapi aku tahu, palsu tak selalu semu. Kau akan merasakan sedikit demi sedikit bahagia muncul ke permukaan rumah tanggamu. Lima tahun yang lalu, hari ke seribu aku begitu yakin kamu adalah perempuan dengan balutan anggun gaun putih berkebaya cokelat yang akan mendengarkan ikrar suciku di atas kitab. 

Kedua matamu adalah sesuatu yang pertama kali aku tatap setiap pagi dan menjelang malam. Kamu adalah keyakinan yang selalu aku semogakan namun tak kunjung diamini para malaikat.
Mungkin benar kata orang tuamu, aku laki-laki dengan hidup pas-pasan yang tak bisa menjamin masa depanmu. Aku tak pantas disandingkan sekasta denganmu. Aku tak bisa memberi sandang, pangan, papan secara lebih pada anak-anak kita kelak. Aku ingin kamu bahagia seperti seharusnya. Biarlah waktu yang akan menemukan kita pada kebahagiaan yang kekal. Dengan jalan masing-masing. Kita buktikan, kau akan bahagia tanpa aku. Begitupun sebaliknya. Entah kapan.

“Mungkin sedari dulu memang jalannya seperti ini. Aku dan kamu yang terlalu memaksa. Ya, seperti ini seharusnya.” Aku menengadah ke langit-langit kamarku. Mencari kekuatan untuk benar-benar meninggalkan.


Semuanya telah terkemas rapi. Hari ini, aku akan meninggalkan kota ini. Tidak ada aku lagi. Lupakan soal niat kedatanganku ke pesta pernikahanmu dengan laki-laki kaya itu yang berhasil menjadikan aku adalah si brengsek yang paling kau benci. Dan aku berani bertaruh, kau tak akan pernah datang ke pesta pernikahan yang bahkan aku tak tahu siapa mempelai wanitanya. Karena memang tidak pernah ada. 
Read More




Jumat, 06 Februari 2015

Green Tea Latte

Surat ini ditujukan kepada kamu. Laki-laki yang buru-buru menutup pintu. Sengaja menghilangkan kuncinya agar tidak bisa dibuka olehmu sewaktu-waktu. Meski aku tahu kamu telah jatuh cinta denganku. Memang senekat itu kamu ternyata. Nekat dan bodoh memang tipis, ya? 
Ajari aku untuk membukanya. Jika tidak, aku akan membobolnya dengan cara paksa. Ah tidak aku hanya bercanda, aku tidak seperti itu, jika aku paksa kamu makin tak suka. Lalu bagaimana agar aku bisa?

Ini surat keduaku untukmu. Aku harap kamu tak bosan membaca dan masih mau menerimanya. Aku berjanji kali ini suratku tak akan panjang. Aku ingin bercerita sedikit saja di sini.

Kemarin, aku dengan temanku mengunjungi sebuah kedai kopi yang terkenal enak dengan latte buatannya. Ada percakapan singkat antara temanku dengan seorang barista yang sampai kini masih terngiang ditelinga. Ceritanya, temanku akan memesan sebuah minuman lalu di bawa pulang, ia menanyakan minuman apa yang didiamkan lama namun rasanya akan tetap sama. Lalu barista itu menjawab green tea latte. Detik itu, aku ingin tertawa mendengar pertanyaan temanku.

Yang didiamkan lama, namun rasanya masih tetap sama.

Harusnya jawabannya bukan green tea latte. Tapi aku. Hatiku lebih tepatnya. Kamu tahu apa persamaan green tea latte itu dengan aku?

Karena rasa itu masih ada. Masih tetep sama. Meski dengan ketidakpedulianmu terhadap apa-apa yang telah aku lakukan. Tidakkah kamu tahu bagaimana lemasnya lututku pada saat kamu menyapaku secara tiba-tiba sepaket dengan senyum lebarmu di tangga itu? Tidakkah kamu tahu bagaimana degupan-degupan dan aliran hangat menjalari pipiku ketika langkahmu semakin dekat. Tidak pernahkah kamu tahu? Jika kamu adalah prioritas pertamaku meski aku tahu tidak ada aku dalam daftar hidupmu?

Selama apa kamu akan menutup pintu itu? Sesakit apa rasanya? Selebar apa lukanya? Selekat apa kenangannya? Tak baik laki-laki sebaik kamu rela disekap oleh masa lalu. Karena aku tak mampu jika kamu menyuruhku untuk mendatangimu ke masa itu.
 Perlu kamu ketahui, jika langitmu masih abu-abu, jangan buru-buru kamu menutup pintu. Akan ku ajak kamu melihat langitku yang selalu biru. Denganku, kamu tak perlu sedikitpun ragu. Aku akan memberimu banyak hal-hal baru yang membahagiakan kamu. 



Dari aku,

Yang masih menunggu.
 







Read More




Rabu, 04 Februari 2015

Kepada yang Pernah Membahagiakan



Awal Februari 2015. Waktu berlari sedemikian cepatnya. Apa kamu merasakan hal yang sama?

Bagaimana perasaan kamu ketika membaca ini? Pastinya kamu tak percaya jika aku adalah si pengirim surat. Baiklah, aku yakinkan kamu bahwa aku memang perempuan yang pernah tinggal di masa lalumu. Mungkin kita adalah hal yang terlalu lampau untuk dikisahkan di sini lagi. Namun untuk terakhir kali, izinkan aku bercerita mengenai hal-hal yang mungkin tidak sedikitpun kamu tahu. Semoga tak menjadi lagi candu untukmu, karena aku pun menuliskannya tanpa rindu.

Kamu tahu? Cinta pertamaku terletak pada sosokmu. Aku rasa pada waktu itu, cupid melesatkan anak panahnya berkecepatan penuh tak mau tahu pada aku, si gadis yang masih berseragam putih-biru. Entah apa yang aku pikirkan dulu, kamu adalah laki-laki yang mempunyai lengkung senyum hampir sempurna bagiku. Dan ternyata, pada saat bersamaan, diam-diam kamu menaruh hati padaku lewat salam yang kamu titipkan lewat teman dekatku. Kali ini, untungnya cupid bekerja dengan cukup adil. Karena apa yang lebih indah selain sepasang hati jatuh pada waktu yang bersamaan?

Kamu tahu? Ketika salammu sampai kepadaku, layaknya euforia pesta tahun baru, dadaku bergemuruh riuh, ada cahaya yang melesat-lesat, dan degupan-degupan tak terkendali yang rasanya ingin meledak, meluap-luap. Aku seperti gadis yang terlahir paling bahagia detik itu. Perlu ku beritahu, kamu adalah  laki-laki pertama yang berhasil melukis senyum tanpa jeda selama 24 jam penuh di bibirku. Cinta segila itu, ya?

Sayangnya, kisah romansa pertama kali kita tak terjadi di sebuah kafe, atau bioskop, atau tempat-tempat yang biasanya aku baca di dalam novel. Cinta memang tak mau tahu tempat, tak ada kafe, angkot pun jadi. Lucu ya? Sepanas dan seberdesakan itu, sempat-sempatnya kita jatuh cinta. Seperti yang aku bilang berkali-kali Tuhan memang maha Jenaka.

Tapi, takdir belum membawa kita ke mana-mana saat itu. Setelah kamu menitipkan salam, kamu menghilang. Tak ada titipan darimu, seperti nomor telepon yang bisa aku hubungi misalnya. Ah, kamu ini bodoh atau apa, jika seperti itu, sebagai perempuan aku bisa apa selain menunggu? Jangan kamu ulangi kepada perempuan manapun. Dasar pengecut !

Kamu membuatku menjadikan aku perempuan yang berharap berhari-hari berikutnya, berbulan-bulan setelahnya, dan kamu lenyap. Tanpa jejak. Begitupun akhirnya, aku membunuh perasaan itu. Hingga saatnya tiba, hari itu datang.

Kamu juga perlu tahu, kamu laki-laki pertama yang membuat aku nekat meletakkan harga diriku yang selama ini melekat kuat. Aku beranikan diri, menitipkan salamku untukmu lewat temanku. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melakukan itu. Karena, kita telah menanggalkan seragam putih-biru dengan seragam putih abu-abu.  Akhirnya, takdir mempertemukan kita setelah tiga tahun lamanya. Dan rasa itu masih menetap sama, tak kemana-mana. Sehebat itu kamu. Dulu.

Awalnya, ku pikir dengan kesempatan kedua, aku dan kamu akan menjadi satu. Tapi nyatanya, untuk mendapatkan kamu tak semudah itu. Aku tahu, kamu adalah laki-laki yang sempat diperbincangkan banyak perempuan, dan kamu sempat beberapa kali memainkan hati mereka. Dan tololnya, aku adalah salah satunya. Untuk kedua kalinya, kamu menghilang tanpa pesan, tanpa kabar. Sebelum saling memiliki, kamu patahkan hatiku berapa kali? Dasar brengsek.

Sepeninggalnya kamu, aku seperti tersesat, tak tahu arah. Kamu ombang-ambingkan aku dilautan ragu berminggu-minggu. Rinduku tertimbun, bertumpuk-tumpuk, berkarung-karung, sebatang kara, tuannya hilang dimakan raksasa waktu. Apa mau kamu saat itu? Sudahkah kamu merasa hebat ketika melakukan kepadaku sebanyak tiga kali. Semenjak itu, di dekatmu, aku merasa tak aman, karena rentan akan kehilangan.

Untuk terakhir kalinya, kamu datang dalam duniaku. Dan lagi, kamu tahu titik kelemahanku. Kali ini, kamu bilang padaku, kamu mencintaiku dan bersumpah tak akan lagi meninggalkanku. Aku senang mendengar itu. Tapi entah, rasanya tak sebahagia dulu. Ingat diperjalanan itu? Malam itu? Setelah menonton bioskop film cinta murahan yang membuat kita tertawa-tawa, karena kisahnya hampir sama dengan kita. Disaksikan lampu-lampu kota, dan bisingnya jalan raya, akhirnya, kamu menyatakan sederet kalimat yang bertahun-tahun aku tunggu.

“Kamu mau jadi pacarku?”

Kamu isi sela-sela jemariku sepanjang perjalanan. Aku tersenyum tipis. Penantianku berbuah manis. Aku mengangguk di belakang punggungmu. Aku memberitahumu, bahwa kamu adalah laki-laki pertama yang mendengar kata “iya” dariku. Namun sambil mengemudi, kamu malah tertawa tak percaya.
Tapi sayangnya, kebahagiaan kita tak berlangsung lama, ya. Aku baru menyadari, rasa itu sebenarnya perlahan hilang sebelum aku menerimamu. Karena sebelum kedatanganmu, saat aku tersesat, aku bertemu laki-laki di persimpangan jalan yang merebut hatiku darimu. Jika bisa memilih, aku lebih memilih mencintaimu daripada laki-laki yang telah berbahagia dengan perempuannya.

Aku ingat malam itu. Ketika kamu tak sengaja menemukan aku dalam padatnya alun-alun kota. Padahal aku sudah mati-matian untuk menghilang dari peredaran matamu. Untuk tak membalas pesan-pesan singkatmu selama seminggu. Takdir mempunyai cara sendiri untuk mempertemukan juga memisahkan. Andai aku tak tahu malu, aku akan menangis di hadapanmu detik itu. Meminta maaf kepadamu yang telah sangat mencintaiku. Namun nyatanya, aku perempuan yang tak bisa memberikan rasa yang sama kepadamu. Maafkan aku. Sungguh. Maafkan aku.

Tentang laki-laki itu. Lupakanlah. Karena pada akhirnya, aku melepas kalian berdua. Kepadamu, laki-laki pertamaku, terimakasih telah mengajariku banyak hal. Tentang penantian, kesabaran, kedatangan, dan kepergian. Bukankah itu adalah bagian dari kehidupan? Tidak ada yang kekal, tak ada yang benar-benar tinggal.

Terimakasih, laki-laki pertamaku. Kamu sudah sudi membaca suratku yang tak ku duga akan sepanjang ini. Terimakasih. Sesuai janjiku, aku akan pergi lagi. Ini sudah tiga tahun lebih, meski kita tak lagi satu kota, dan tak ada lagi kita, semoga kamu bahagia.

Dari aku,

yang pernah kamu bahagiakan
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML