pict form here |
Sheilla.
“Aku
ingin bertemu denganmu, di taman sudut kota. Pukul 5 sore.”
Aku membaca pesan singkat darinya
dengan mata yang masih sembab. Tak peduli, bagaimana kacaunya keadaanku saat
ini dengan hilangnya kabar darinya selama dua minggu. Aku ingin meminta maaf
padanya, menjelaskan semua yang sebenarnya terjadi. Dan mencari jalan keluar
bersama-sama. Memperjuangkan yang telah ada.
Ku pacu mobilku berkecepatan
penuh. Melesat, meliuk-liuk di padatnya jalanan ibu kota, sama sekali tak ku
acuhkan klakson-klakson kendaraan lain yang ditujukan padaku. Akhirnya, tak
sampai setengah jam, aku tiba di taman yang dijanjikan Reno. Ku sipitkan mataku
berusaha mencari sosoknya dan aku menemukannya. Duduk di tepian kolam taman,
menunduk sambil menggenggam ponsel.
“Ren..” Suaraku serak
memanggilnya yang tak berjarak lebih dari dua langkah di depanku.
Menyadari kehadiranku, ia
mendongak menatapku. Kemudian berdiri, tak kunjung bicara.
“Aku…minta maaf,” Suaraku semakin
parau, aku lebih mendekat ke arahnya. Namun ia mundur selangkah, menciptakan
jarak. Dalam sekejap semua menjadi senyap. Aku menggigil kedinginan oleh
sikapnya. Membeku.
Alih-alih menjawab, ia malah menyodorkan
sebuah kertas undangan berbalut pita merah. Keningku berkerut tak mengerti.
Dengan menahan sisa-sisa sesak yang bernapaskan mimpi aku berusaha membaca deretan
kata di atas sana.
“Aku harap kamu datang.”
Tanganku bergetar menerima
sepucuk undangan itu. Ada yang salah, jantungku beradu dengan argumen-argumen
resah yang mengitari syaraf-syaraf otakku. Ada yang berdebam keras tepat di
dadaku ketika mencoba mengeja dua nama yang terukir berlapis tinta emas di atas
undangan pernikahan itu.
Reno Ardhi Sadewa & Resti
Nanda Pitaloka.
Bagaimana
bisa? Tidak. Ini salah. Tidak seperti ini seharusnya. Namaku tidak ada di sana.
Setega itukah kamu?
Oksigen seakan menipis pada detik
itu. Aku tak mampu bernapas. Atau bahkan aku lupa bagaimana caranya bernapas.
Semua porak poranda. Pikiranku bak perlombaan karapan sapi. Begitu riuh dan
gaduh. Tak ada lagi senyap, bom molotof meledak. Menghancurkan apapun tanpa
ampun.
Aku melempar undangan itu tepat
di dadanya. Dan menamparnya dua kali. Tenggorokanku tercekat. Semuanya seakan
habis dirampas kecewa. Ia berusaha menenangkan aku. Tapi itu membuatku semakin
meronta.
“Brengsek ! Dasar brengsek !
Berani-beraninya kamu, Ren !” Telunjukku merutuki dirinya tanpa ampun. Persetan
dengan mata-mata ingin tahu di sekelilingku. Sungguh tak peduli. Aku
benar-benar ingin mati ditelan bumi.
Ia memilih diam, menungguku untuk
berhenti mengoloki dirinya. Aku berusaha tenang, namun luapan amarahku tak
kunjung habis.
Ia menghela napas, “Sudahlah,
takdir memang tidak membawa kita kemanapun. Mungkin memang sudah seperti ini
seharusnya, kita hanya menjadi penggalan sebuah cerita. ”
Aku hanya dapat menggigit
bibirku. Pedihnya berpuluh-puluh kali lipat. Bagaimana tidak? Aku sedang diikat
oleh paksaan mengatasnamakan kebahagiaan lalu dicambuk penghiantan.
“Begitu caramu, Ren? Selama ini
aku bukan prioritasmu?!” Nadaku meninggi, napasku masih naik turun tak karuan,
“Lima tahun, Ren ! Lima tahun aku ditipu mentah-mentah olehmu ! Sungguh sia-sia
pembelaanku padamu di depan orang tuaku!”
“Kamu tahu? Aku menunggu kabar
darimu! Aku kira kamu akan memperjuangkan kita!” Aku menepuk-nepuk dadaku
sendiri, menangis, meraung.
“Harusnya kamu tahu dari awal,
Sheil! Orang tuamu tak pernah suka padaku. Dan kamu akan menikahi laki-laki
pemilik perusahaan itu. Aku tak bisa memberi kebahagiaan lebih.”
Matanya menatapku. Aku tersayat
dengan kata-katanya, “Kalaupun kamu mau. Aku mampu. Kita bisa memilih! Kita
bisa pergi!” Aku mengusap bulir-bulir bening yang sedari tadi menderas dari
kedua mataku.
“Relakan kita, Sheil. Kita cari
kebahagiaan masing-masing.”
“Kebahagiaan? Mungkin cuma kamu
yang mendapatkannya, Ren!”
“Selamat tinggal !” Aku beranjak pergi dari
tempatku berdiri. Melangkahkan kaki lebar-lebar meninggalkan dirinya.
“Sheila !”
Teriakannya membuatku berhenti.
Meski enggan. Aku ingin berhenti, walaupun langkahku tak berjarak sejengkal
lagi dengannya. Terakhir kali, aku menoleh.
“Izinkan aku datang ke
pernikahanmu minggu depan.”
Aku memicingkan mataku ke
arahnya. Saat itu juga aku belajar, waktu dapat membolak balikan perasaan. Tadi
dihadapannya masih ada setitik cintaku padanya dan detik ini aku benar-benar
membenci dirinya. Aku sadar, ia tak pernah benar-benar mencintaiku. Dan
cintanya, tak lebih besar dari biji-biji kenari musim semi.
***
Reno
“Kebahagiaan?
Mungkin cuma kamu yang mendapatkannya, Ren!”
Semuanya masih terasa begitu
jelas dan nyata. Pertengkaran aku dan dia lima hari yang lalu. Cara perpisahan
yang benar-benar tak pernah ku bayangkan. Kualihkan dengan menyibukkan diri
mengepak barang-barang yang ada di kontrakanku ini. Namun, usahaku sia-sia. Otakku
masih bekerja keras, tak henti-hentinya meneriakiku ramai-ramai menyudutkan
keputusanku. Dan di belahan rongga dada kiriku, tak henti-hentinya berdetak
nyeri, ketika rindu memaksa melesak masuk ke dalam hingga sesak.
“Aaargh !” Ku pukul tembok hingga
dentumannya memenuhi sudut-sudut ruangan, dan aku merasakan darah segar
mengalir pada sela-sela jemariku. Nyerinya, belum dapat mengalahkan sakit
hatiku.
Semuanya, yang telah terjadi
bekelebat liar. Berulang-ulang dalam sekali kejap. Masih ada rasanya dua tamparannya di pipiku, masih kuingat
matanya yang lelah, yang sembab, yang tak henti-hentinya dihujani bulir-bulir
bening, dan masih terngiang jelas dalam lorong-lorong telingaku ketika ia
mengolokiku laki-laki brengsek. Asal kamu tahu Sheil, aku rela brengsek demi
kebahagiaan, yang semuanya adalah milikmu. Bukan aku.
Detik itu, ketika jarak sejengkal
tak lagi hangat, kamu bukan lagi perempuan yang sama di mataku. Kamu bukan
perempuan yang bisa begitu aku cintai hingga tak ingin aku lepaskan. Kamu bukan
lagi perempuan yang bisa aku rengkuh semauku, bukan lagi perempuan yang bisa ku
kecup keningnya sebelum perpisahan, dan bukan lagi perempuan yang bisa aku
dekap ketika kamu dipeluk ketakutan seperti sore terakhir lima hari yang lalu. Sungguh,
begitu tangismu pecah tepat di depan mataku, aku merasa lahir tak berguna di
bumi ini.
Lusa, hari bahagiamu. Meski
sering kau katakan padaku semuanya adalah palsu. Tapi aku tahu, palsu tak
selalu semu. Kau akan merasakan sedikit demi sedikit bahagia muncul ke
permukaan rumah tanggamu. Lima tahun yang lalu, hari ke seribu aku begitu yakin
kamu adalah perempuan dengan balutan anggun gaun putih berkebaya cokelat yang
akan mendengarkan ikrar suciku di atas kitab.
Kedua matamu adalah sesuatu yang
pertama kali aku tatap setiap pagi dan menjelang malam. Kamu adalah keyakinan
yang selalu aku semogakan namun tak kunjung diamini para malaikat.
Mungkin benar kata orang tuamu,
aku laki-laki dengan hidup pas-pasan yang tak bisa menjamin masa depanmu. Aku
tak pantas disandingkan sekasta denganmu. Aku tak bisa memberi sandang, pangan,
papan secara lebih pada anak-anak kita kelak. Aku ingin kamu bahagia seperti
seharusnya. Biarlah waktu yang akan menemukan kita pada kebahagiaan yang kekal.
Dengan jalan masing-masing. Kita buktikan, kau akan bahagia tanpa aku. Begitupun
sebaliknya. Entah kapan.
“Mungkin sedari dulu memang
jalannya seperti ini. Aku dan kamu yang terlalu memaksa. Ya, seperti ini
seharusnya.” Aku menengadah ke langit-langit kamarku. Mencari kekuatan untuk
benar-benar meninggalkan.
Semuanya telah terkemas rapi.
Hari ini, aku akan meninggalkan kota ini. Tidak ada aku lagi. Lupakan soal niat
kedatanganku ke pesta pernikahanmu dengan laki-laki kaya itu yang berhasil
menjadikan aku adalah si brengsek yang paling kau benci. Dan aku berani
bertaruh, kau tak akan pernah datang ke pesta pernikahan yang bahkan aku tak
tahu siapa mempelai wanitanya. Karena memang tidak pernah ada.