Senin, 08 Mei 2017

Antara Agan, Kopi, dan Kamu

Sepertinya Tuhan tidak ingin hambanya ini, saya, tidak mengerjakan apa-apa. Tuhan ingin saya terus mengasah kemampuan. Dan pada akhirnya, di sini sekarang saya membagi hidup. Di sebuah kedai kopi. 


Saya ingat, pada satu hari di Bulan Februari, teman dekat saya meminta bantuan untuk membuat deskripsi menu di sebuah kafe milik temannya. Deskripsi yang ia maksud adalah deskripsi berfilosofi dan bercerita mengenai rasa makanan atau minuman di menu tersebut. Karena saya memang tidak ada pekerjaan waktu itu, dan kebetulan saya baru saja resign dari pekerjaan saya di sebuah website, jadilah saya mengiyakan permintaan tersebut tanpa meminta bayaran sepeser pun. Masa iya sih tega sama temen deket sendiri? Hahaha

Saya membuat deskripsi menu yang agak susah-susah gampang itu selama kurang lebih dua jam. Tidak ada ekspektasi apa-apa setelahnya.

"Gimana? Ada revisi?," Tanya saya pada Debora, teman saya yang meminta bantuan itu.

"Nggak ada, orangnya suka kok. Bayarannya kopi aja ya?" 

Saya senang waktu itu. Bukan, bukan karena dapet secangkir kopi cuma-cuma. Itu karena untuk pertama kalinya, 'karya' saya digunakan orang lain. 

Malam itu setelah janjian, saya dengan Debora langsung meluncur ke sebuah coffee shop yang baru saja dibuka untuk mengambil "hadiah" kopi gratis yang diberikan kepada saya. Sekalian kenalan sih sama calon empunya kafe yang bakalan buka bulan itu. 

"Obi," begitu katana ketika saya menjabat tangannya. 

Saya tidak terlalu memperhatikan Obi pertama kali. Yang saya tahu, si Obi ini lagi banyak pikiran. Laki-laki berambut gondrong, penampilan ala kadarnya, muka suntuk dan rambut kusut. Laki-laki canggung yang pertama kali mengajak saya ngobrol sebelum dekat seperti sekarang ini.

Setelah masuk ke coffee shop yang kita tuju, dan memesan satu hot matcha latte kesukaan saya, saya lebih sibuk mengobrol dengan Debora, karena Obi, sibuk berkutat dengan pekerjaannya di laptop. 

Saya pikir saat itu adalah malam perkenalan pendek saya dengan laki-laki kusut berambut gondrong, si pemilik kedai kopi. Saya pikir pertemuan itu hanyalah pertemuan singkat sebelum akhirnya dia bertanya beberapa hal dan mengajak saya gabung dengan tim pengelola kedai.

"Dev, gabung tim kreatifku yuk. Mau nggak?"

Saya menimbang, baru saja saya resign dari pekerjaan saya, masa mau kerja lagi?
Obi menyebutkan fee yang akan saya terima, dan saya sedikit kaget dengan nominalnya. Bukan, bukan karena besarnya. Tapi jumlah yang ia tawarkan persis jumlahnya seperti fee pekerjaan saya sebelumnya ketika mengelola sebuah website. Kadang, saya berpikir sampai sekarang, Tuhan ini ada-ada saja ya caranya, 

Ketika saya ingin lari, mengurung diri dalam zona nyaman, Tuhan mempersiapkan skenario sedemikian rupa untuk "melempar" saya ke zona yang mengharuskan saya ditempa. 

Dan akhirnya Debora meyakinkan saya. 

Setelah saya mengiyakan tawaran gabung ke tim kreatif Obi, yang kini beralih jadi tim manajemen, saya bertanya di mana lokasi kafe. Ya, saya waktu itu menyebut kedai kopi ini adalah kafe. Di benak saya, kafe ini kafe cantik, kafe lucu buat ngopi cantik, nyeduh ganteng,  yang instagramable banget. Karena, maklum ya, saya anak instagram garis keras. Hehe enggak deng. Tapi jujur, saya selalu tertarik ke sebuah kafe karena tempatnya. Menu, nomer dua. Karena seenak apapun menunya, saya nggak mungkin bisa sering-sering makan di kafe. Masuk akal kan? Hahaha

Ketika dia menyebutkan nama kafenya, saya mengerinyitkan dahi. 

"Kedai Agan?," Saya mengulangi nama kedai yang ia sebutkan. Serius bi? Kafe dengan nama se-gentle itu, dan kesannya cowok banget itu mau dikasih deksripsi menu saya yang romantis abis. 

"Kenapa Agan?" saya masih nggak yakin.

"Karena aku mau, mereka nganggep itu kedai mereka. Kedai milik Agan, Kedaimu. Ya semacam itulah."

Saya berpikir keras. Ini nggak cocok banget sama deskripsi menu yang saya bikin. Kenpa di-iya-in aja. Karena, waktu itu saya dimintai bantuan cuma buat deskripsi menu tanpa tahu latar belakang konsep kedai kopi.

Pada akhirnya saya bilang, "Menunya aku revisi ya, nggak cocok banget sama namanya."
Ya walaupun, tetep. Deskripsi menunya itu masih manis banget. Hahaha. Buat kedai kopi bernama kedai Agan. Agak ganti konsep dikit sih, Agan ini adalah sosok orang-orang yang kerja di kedai kopi. Jadi bukan Kedai-mu lagi. Wkwk.

Lalu beberapa hari kemudian Obi meminta saya untuk mengonsep tembok kedai, mau diisi apa, dalam waktu satu malam, karena besok paginya mau dieskusi. Edan emang. Laki-laki edan. 

Tapi saya senang sih bagian ini. Saya merasa saat itu, kedai adalah bagian dari saya. Ya, walaupun bukan milik saya. 

Kedai Agan menurut saya bukanlah sebuah tempat kerja, kedai adalah rumah kedua saya. Nggak percaya? saya pernah tidur dua kali di kedai, gara-gara nemenin benahin interior kedai, abis itu pinggang saya sakit dua minggu. Iya, saya lemah. Bagaimanapun, saya mencintai Kedai Agan dan segala isinya. Seperti melahirkan sebuah anak, saya akan memperjuangkan kedai ini untuk tetap hidup sampai buka cabang di mana mana ngalahin warung ayam geprek yang cepet banget buka cabangnya. 

Saya ingin cepat-cepat merampungkan segala konsep kedai yang masih harus ada penambahan sana-sini. Saya ingin berlari ke tujuan awal saya bergabung dengan kedai ini.

Soft selling.
Membuat webseries tentang kedai ini.

Ah, yang penting, anak kami yang baru berusia dua bulan ini jalan lancar dulu. Memang membangun usaha tidak semudah merencanakannya. 
Doakan ya, agar anak kami ini si Kedai Agan jadi gede, syukur-syukur bisa beranak pinak. 
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML