Jumat, 24 November 2017

Ambisi


"Terlalu pengen, terlalu ambisi untuk mendapatkan sesuatu membuat kita lupa, sebenarnya manusia tugasnya cuma berusaha dan bertawakal. Tapi ketika kita tidak memiliki ambisi, kita tidak akan merasa kalah dan tertinggal daripada orang lain"

Baru aja saya nonton videonya Gita Savitri tentang opininya yang berjudul cita-cita. Lalu setelah menonton itu semua, saya tersenyum. Akhirnya, ada yang menyuarakan pendapat saya. Akhirnya saya menemukan orang yang sepemikiran sama dengan saya setelah saya merasa tersisih dari pendapat pendapat yang menyudutkan jawaban saya ketika ditanyai cita-cita.

Saya, tipikal orang yang tidak tahu saya mau jadi apa, besok harus kerja di mana atau semacamnya. Serius. Saya bukan orang yang visioner, yang penuh dengan ambisi dan berbagai planning untuk mewujudkan itu. Awalnya saya khawatir melihat beberapa teman, dan orang terdekat sudah merencanakan hidupnya. Yang tau sepuluh tahun lagi akan jadi apa. Yang telah menyiapkan planning A sampai Z.

Saya salut dengan orang-orang visioner yang berani dengan segala ambisinya, yang tahu mau dibawa ke mana arah hidupnya. Dibanding saya, yang hanya menjalani apa yang ada. Ada yang bilang,

"Hidup tuh jangan  mengalir kayak air, kamu nggak punya pegangan,"

"Cuma ikan mati aja yang berenang ikut arus,"

atau yang lebih parah lagi,

"Tai dong, mengalir di air."

Emang salah ya? kalau saya menjalani hidup saya dengan seperti itu? Sejauh saya tidak melenceng dari aturan, sejauh saya berikhtiar dan berusaha sebaik mungkin hari ini. Karena yang menjadi pegangan saya sampai detik ini adalah,

"Ketika kamu melakukan yang terbaik, Tuhan akan memberikan hal yang paling baik pula,"

Ketika saya selalu berusaha, bekerja keras meskipun saya nggak tahu di ujung perjalanan saya akan menjadi apa, saya percaya, Tuhan akan mengarahkan saya ke tempat yang benar, tempat yang layak atas segala usaha saya.

Ibarat air, saya akan diberi muara yang bersih. Bukan kubangan, atau sungai kotor.

Saya berada di titik ini, menjadi mahasiswa Komunkasi Undip sejujurnya bukan keinganan saya. Bukan cita-cita saya. Entah, jika menoleh ke belakang, catatan perjalanan saya itu tanpa saya rencanakan. Saya tidak berekspektasi akan masuk SMP favorit, saya tidak berekspektasi masuk SMA RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), dan saya tidak berkespektasi akan masuk Komunikasi Undip, dapat bersaing dengan puluhan ribu orang di luar sana, dan mendapatkan dengan jalur undangan.

Meskipun saya menjalani apa yang bukan rencana dan keinginan saya, saya merasa saya selalu berada di jalan yang tepat, karena saya bisa menikmatinya. Kini, saya sangat bersyukur dan dapat menikmati status saya sebagai mahasiswa Komunikasi.

Demi Allah, saya tidak pernah merencanakan setiap pencapaian-pencapaian saya. Seperti yang Gita bilang, ketika kita tidak memiliki ekspektasi dan ambisi, kita tidak akan merasa ketinggalan dengan orang lain. Kita tidak akan membanding-bandingkan dengan pencapaian orang lain dan kecewa karena sebelumnya kita tidak berkespektasi apa-apa. Yang ada, ketika kita berada di titik itu, hati kita akan dipenuhi rasa syukur teramat sangat.

Saya tahu, orang yang memiliki ambisi itu tidak buruk. Bagus karena mereka memiliki semangat dan motivasi yang tinggi. Tapi saya tahu betul, lelahnya menjadi orang yang memiliki ambisi tinggi ketika apa yang dicapai tidak sesuai ekspektasi.

Karena saya dekat dengan orang orang tesebut.

Saya ingat, ketika jawaban saya ditertawakan oleh orang yang pernah paling dekat dengan saya, dulu. Ketika ia menyalahkan prinsip saya. Ketika ia tidak membenarkan pilihan saya menjalani hidup. Ketika baginya, hidup itu harus terencana.

Dan saya masih ingat, saya melihat dia sangat terpukul sampai harus memeluknya, melihat ia menangis di depan saya, melihat segala keputusasaan dirinya, karena hasil yang ia terima tidak sesuai ekspektasi.

Ya, jadi begitulah. Tidak apa-apa sebenarnya, jika kamu tidak tahu mau jadi apa kelak. Tapi kamu sebenarnya harus tau, kamu dilahirkan di dunia ini untuk apa.
Karena setidak tahunya saya akan jadi apa kelak, saya punya keinginan untuk berbagi ilmu dengan anak-anak yang tidak seberuntung saya. Berbagi apa-apa yang saya punya, untuk memperbaiki kehidupan ini.

Memang, kata Gita, impian seperti itu terlalu abstrak, dan nggak realistis. Tapi, jangan lupa, Tuhan  Insha Allah akan selalu memberikan jalan, seabstrak apapun keinginan dan cita-cita kita, selama itu baik.

Jangan takut miskin atau kekurangan, karena kita punya Tuhan yang menjamin hidup kita. Balik lagi, ketika kita melakukan yang terbaik, Tuhan akan memberikan hal yang paling baik.
\
Read More




Rabu, 11 Oktober 2017

Terlambat

 Ada saatnya semesta menyadarkan kita, ia adil dalam memberikan luka.


"Keyla?"

Dia menoleh sambil membenarkan barang belanjaan yang memenuhi tangannya. Kedua matanya membesar, mungkin kaget melihat laki laki di hadapannya kini. 

Aku tersenyum, meski ia terlihat canggung. 

"Gerry? Sama siapa?"

Lalu kami menyusuri jalanan malioboro yang tak pernah sepi oleh pejalan kaki. Ia lebih banyak diam, dan aku dengan ketololanku masih bingung mencari obrolan cocok untuk mencairkan suasana, meski banyak tanda tanya yang menggantung di kepala. 

"Kerja di mana sekarang Key?"

"Di agency advertising Jakarta, kamu sendiri?"

"Coba tebak?"

"Apa? Kontraktor? Juragan minyak?" 

Aku tertawa. Dia tertawa. 

"Aku jadi wartawan foto sekarang" aku menunjukkan beberapa hasil fotoku lewat kamera dslr yang sedari tadi menggantung di leherku. Ia menggangguk, dan mengamati sebentar. 

Seperti langit dan bumi. Kami jauh berbeda. Aku yang suka berpetulang, dan dia bukan orang lapangan. 

"Jadi, kamu udah keliling Indonesia dong? Secara kamu kerja di media travelling?" 

Aku tersenyum, "yaa bisa dibilang begitu, tahun lalu aku sempat ke Belanda ada tawaran kerja di sana." 

Belanda. Tempat yang ia impikan dulu. Masa yang pernah ada dan masih ku ingat hingga kini. Aku tahu, ia sangat tertarik obrolan ini. Ia melongo, takjub melihatku.

"Wow, enak banget. Aku belum kesampaian ke sana. Asyik ya jadi kamu,"

Aku terdiam. Mencari cari apa asyiknya jadi aku. Berkelana, melihat dunia, tapi setelahnya, aku tak tahu harus pulang ke mana. 

"Hmm mama kamu gimana? Baik?" tanyanya lagi.

Aku hanya bisa menghela napas, "InshaAllah baik Key, dijaga Tuhan di surga"

Langkah Keyla terhenti. Lalu menghadap aku, matanya berkaca-kaca,

"Aku minta maaf Ger, aku gatau kabar itu. Turut berduka cita ya," Ia mengelus pundakku. 

Rasanya aku ingin luluh dalam rengkuhnya detik itu juga. Ingin kembali ke lima tahun yang lalu saat peluknya masih ada untukku. 

Seandainya bisa, aku ingin memperbaiki semuanya, aku adalah laki laki pengecut yang menorehkan luka pada Keyla. Aku yang meninggalkan dia, aku yang pergi tak ingin ditemui. 
Tapi setelah aku berhasil lepas kemudian mencari, tak kutemukan perempuan yang lebih baik lagi.  

Dan malam ini, sepertinya semesta sedang kompak berkolaborasi dengan hati. Setelah puluhan tempat aku singgahi, tapi di sini, aku menemukan dia lagi, di kota aku dan Keyla pertama kali dipertemukan. Tapi apakah semuanya bisa aku perbaiki?

"Hotel kamu masih jauh? Mau naik becak aja?" 

"Enggak usah, aku lebih suka jalan kaki," sahut Keyla di sampingku. 

Tubuhnya yang mungil, matanya yang besar, senyumnya yang lebar, ini adalah perempuan yang pernah mencintaiku begitu sabar dengan segala kekurangan yang aku miliki. Tapi, pantaskah aku meminta kembali? 

"Key?"

"Ya?" Ia mendongak melihatku

"Maafin aku yang dulu ya," suaraku lirih

"Udah, lupain aja, bukannya semuanya nggak bisa dipaksa?"

Aku tersenyum. 

"Aku jahat banget sama kamu dulu."

"Emang," dia tertawa

Aku semakin mati kutu. Ingin menampar diriku sendiri berkali kali detik ini.

"Key?"

Sebelum menjawab handphone Keyla bergetar, ia mengambil dua langkah di depanku, lalu bercakap terburu dengan orang diseberang telepon. Lalu Keyla menghampiriku setelah menyelesaikan obrolannya. 

"Yuk, hotelku di gang ini. Kamu mau ke mana?"

"Nganterin kamu dulu aja"

Aku lihat pipinya bersemu merah. Wajahnya yang salah tingkah selalu bisa ku tebak karena sedari dulu tak pernah berubah. 

"Key?"

"Ya?"

"Maafin aku ya?"

"Iya Ger, gimana sama perempuan itu dulu? Yang pernah menggantikan aku?" 

Aku terdiam. Menggeleng. Dasar laki laki brengsek. Dan sejujurnya, aku tidak pernah mencintai perempuan lain sebaik aku mencintai Keyla meski aku pernah mendua. 

Key, tidak ada yang pernah menggantikan kamu. Tidak ada yang pernah mencintaiku sebesar dan sesabar kamu.Tidak ada aku lagi yang mencintai perempuan lain, sebanyak aku mencintaimu, dulu. 

Aku larut dalam pikiranku sendiri, semuanya berkecamuk jadi satu. 

"Sampai Ger. Makasih ya udah mau nganterin." 

Ah cepat sekali, aku ingin jalanan malioboro lebih panjang 10 kali lipat daripada ini. Aku mengangguk. 

Kami sama sama canggung lagi dengan perpisahan kali ini. Terlalu banyak yang ingin ku katakan. 
Aku ingin kembali menebus kesalahanku. Aku ingin mengatakan aku menyayanginya.

"Hai" 

Aku tersentak. Tiba tiba ada laki laki datang menghampiri kami lalu merangkul Keyla. 

"Kenalin, ini temen aku, Gerry"
Aku menyambut uluran tangannya. Aku terkesiap.
"Ger, ini tunanganku."

Sekejap kebisingan malioboro hening seketika. Semuanya beku, aku mematung. Napasku seperti terhenti.

"Seminggu lagi kami menikah, kalau kamu bersedia, undangannya aku kirim ke rumah kamu," Keyla tersenyum. Senyumnya tak lagj manis.

Aku menelan ludah. Ku anggukan kepalaku dengan susah payah. Otakku seperti tak ingin bekerja. Semua berceceran karena baru saja meledak.

"Yaudah. Makasih Ger.aku ditunggu keluargaku di kamar."

Tunangannya tersenyum ke arahku.
Mereka berbalik badan masuk ke hotel tempat mereka menginap.
Dan kakiku
Terpaku.
Dunia menertawakanku.

Read More




Senin, 09 Oktober 2017

Selamat, tampan

Beraninya kamu,

Merindukan aku

Tapi

Bibirmu masih mengecup keningnya

Sepasang lenganmu

masih memeluknya

Beraninya kamu,

diam-diam memperhatikanku

di saat dia sedang gelisah menunggu kabarmu

Selamat tampan,

Kau sedang mencetak rekor terburukmu
Read More




Jumat, 22 September 2017

Sederhana?

"Nduk, jadilah pribadi yang sederhana,"

Mama selalu bilang seperti itu ketika saya terkadang menginginkan banyak hal yang harus dibeli. Apalagi jika saya mengenakan cat kuku, mama selalu berucap,

"Nduk, kamu nggak usah pake kayak gitu udah cantik."

"Tapi ma aku tuh lagi pengen aja..."

"Cowok nggak mau kalau kamu terlalu berlebihan."

Emang pake cat kuku berlebihan ya? Ah, saya sudah pernah menuruti kata mama waktu itu. Mungkin menantu idaman mama adalah seperti dia yang belum bisa saya taklukan hatinya, kesahajaannya, kesederhanannya yang bisa membuat semua perempuan kehilangan napas dalam satu kali tatap. Tapi dia di mana ya sekarang? Mungkin sudah ada perempuan yang kedewasaannya dan ketaatannya pada agama yang sudah dia mantapkan untuk dinikahi. Hahaha.

Saya pernah pada suatu ketika semester satu. Ketika masih gencar-gencarnya mau ngegebet senior, ketika ke kampus sering pakai kemeja dan naudzubillah rapi banget sebelum semester tua cuma pake sweater abu-abu yang udah belel.

Guys, saya ke kampus waktu itu selalu pakai maskara, dan eyeliner jadi cat eye dikit gitu kan. Pakai hand bag sebelum pake tas ransel kayak sekarang karena harus bawa laptop ke mana-mana.

Udah deh, waktu itu saya menjelma menjadi maba yang masih semangat-semangatnya kalau soal penampilan.

Dan jeng-jeng tiba tiba muncullah wejengan mama soal perempuan sederhana.
Ehem, waktu itu saya lagi naksir seseorang juga.
Mulailah saya ini mengubah penampilan.

Nggak pake maskara, nggak pake eyeliner, pake lipstik tipis banget.

Waktu masuk kelas, seorang temen saya yang kampret nyeletuk,

"Dev, belom mandi ya?"

Panik dong.
"Emang keliatan belum mandi ya?"

Ya begitulah, jadi diri sendiri aja. Sederhana atau nggaknya biar orang lain menentukan. Karena setiap orang punya standar masing-masing.
Saya cuma nggak mau aja dapet orang yang kalo saya pergi ngafe which is itu sebulan cuma sekali atau dua kali ngecap saya boros dan hedon.
Nggak mau dapet celetukan kalo cuma jalan jalan di mall nyari diskon dan mau beli barang yang dibutuhin dibilang boros.
Sana ke hutan aja deh dikit dikit dibilang hedon dibilang boros.
Hei dude, harus gimana sih biar dicap sederhana. Jadi saya begini aja, tergantung mereka.

Read More




Kamis, 21 September 2017

Berputar


http://weheartit.com

Adit

Gue nggak tahu kenapa semesta lagi berbaik hati banget sama gue hari ini, setelah gue merasa menjadi orang paling sial karena nguber-nguber dosen pembimbing skripsi gue nggak ketemu, tapi sekalinya ketemu malah banyak banget yang direvisi bahkan kalau bisa judulnya diganti. Setres nggak lo kalo jadi gue?
Tapi hari ini, detik ini, kayak anak kecil ketiban sekarung permen dan dikasih satu truk gulali, gue seneng banget, man! Di belakang gue sekarang ini, ada perempuan yang cantik banget kayak bidadari  mau bonceng vespa butut gue ini. Saat saat kayak gini nih udah gue nanti sejak dua tahun yang lalu. Mana bisa gue boncengin dia malem-malem begini dulu, soalnya dia udah punya anjing (re : pacar). Dan kali ini dia baru aja putus sama pacarnya. Tiba-tiba ngontak gue karena mobilnya mogok setelah dia pulang magang. 

Gue nggak bisa ngalihin pandangan ke spion. Sesekali mencuri pandang, melirik dia, berharap bidadari gue ini baik-baik aja diboncengin vespa tua gue ini. 

"Ra, lo nggak apa-apa?"

Sedari tadi dia diem mulu, berasa ngebonceng patung. 

Dia nggak menjawab. Pandangan matanya kosong, dan gue nggak tahu harus gimana selain nyetirin dia. Eh, tapi ini gue harus ke mana? Gue asal tancap gas aja waktu dia telfon gue satu jam yang lalu.

"Ra, ini kita mau ke mana?" 

Gue bisa liat dia kaget setelah gue pegang tangannya.

"Makan dulu aja kaliya gue laper, Dit."

"Mau makan apa? sate padang?" 

"Boleh," 

Man, gue tahu banget makanan kesukaannya, buku favorit, film action yang bikin dia jadi freak, sampai lagu-lagu yang sering banget dia nyanyiin. Ehem, gini-gini gue penyanyi favoritnya dia kalau suruh ngover lagu yang dia request

Gue udah cinta banget sama ini bidadari sejak dulu kami satu kelas waktu SMP. Gila nggak lo, menganggumi orang bertahun-tahun dan menahan-nahan nggak menyatakan cinta karena terlalu pengecut. Karena, apalah gue dibanding Aura yang terkenal seantero sekolah dulu dan gue yakin dia masih jadi bidadari idaman di kampusnya dia. 

Dan lo semua harus tahu, yang bikin gue jatuh cinta sama ini cewek adalah dia tuh nggak bitchy sok manja sama cowok-cowok lain walaupun banyak tuh lusinan cowok yang mau sama dia. Dia itu pemilih banget. Lo tau? cewek yang punya mata cokelat dan bibir tipis ini cuma punya dua mantan, jadi tiga sama yang baru dia bangga-banggain ke gue dua tahun belakangan. 

"Dit, gue nggak laper. Kita ke tempat nongkrong biasa aja ya di atas," pintanya sambil megang pundak gue. 

"Hah? Serius lo Ra? ini udah hampir jam 10 malem," 

Ini Aura kenapa sih tiba-tiba jadi aneh begini. Masa gara-gara naik vespa gue bisa jadi kenyang.
Pada akhirnya gue puter balik. Untung bidadari gue yang minta, kalau orang lain udah gue turunin paksa di tengah jalan. Dipikir nggak jauh apa puter balik dari ujung kota ke ujung kota. 

Tempat yang dimaskud adalah tempat wajib nongkrong kami dulu kalau gue atau dia lagi penat. Di situ tuh cuma ada warung kecil semacam angkringan dan beberapa meja kursi, tapi man, pemandangannya bagus banget. Sejauh mata lo memandang, cuma lampu-lampu kota yang sekejap bisa menghipnotis lo untuk nggak mikirin hidup yang emang makin ke sini jadi makin susah. 

"Sampai, tuan puteri," 

Dia tersenyum kecil, lalu turun dari boncengan vespa gue. Tapi dia nggak melepas helm. Dia cuma berdiri mematung ngeliat lampu-lampu kota. Ini bidadari kesayangan gue kesambet apa ya?

"Ra, dicopot dulu ya helmnya," gue membantu dia melepas helmnya. Dengan jarak sedekat ini, gue bisa menelusuri mata cokelatnya yang teduh, kedua alisnya yang panjang natural nggak perlu dikasih pensil alis, hidungnya yang mancung kayak prosotan di Mcd, dan bibir tipisnya yang merah muda tanpa perlu polesan lipstik. Ra, sekusut ini aja, lo tetep masih sempurna buat gue. 

Dia cuma menurut dan bilang, "Makasih ya, Dit" sambil menatap gue. 
Jantung gue kayak mau loncat ditatap sedeket itu sama Aura. Gila, bahaya banget nih kalo nggak gue kontrol. 

Gue cuma mengikuti dia yang ambil duduk di bagian paling depan, paling deket liat pemandangan dan paling deket juga sama jurang. Gue nggak tahu, tumben sepi. Cuma ada sepasang kekasih, dan dua cowok yang lagi gitaran nggak jelas. 

"Lo kenapa sih Ra? Lo marah sama gue yang jemput lo pake vespa? Maaf ya, mobil gue dipake sepupu,"

"Gapapa, Dit. Gue juga kangen kok diboncengin vespa butut lo, jadi inget waktu SMP dulu. Lagian kenapa sih nggak dijual aja?"

"Udah terlanjur sayang Ra. Kalau udah sayang banget, mau jelek kayak apapun, lo bakal nggak bisa lepas,"

Tiba-tiba senyum bidadari gue itu hilang. Aura cuma diem di samping gue. Kepalanya tertunduk.
What happen here?

"Ra? Kenapa?" gue mendekat mengamatinya, dan gue melihat pipinya basah.

Shit. Lo kenapa Ra, apa yang salah di sini?

"Cerita Ra, lo kenapa?" gue mengulang pertanyaan gue. Sebagai laki-laki gue sebenernya nggak bisa diem gini aja, gue mau banget meluk bidadari gue satu ini. Tapi, ya kali gue peluk.

Dan entah ini hari keberuntungan atau apa, baru kali ini gue sedeket ini sama dia, dia tiba-tiba membenamkan kepalanya di dada gue. Gue ulang ya, di dada gue. Nggak sia-sia gue ngegym tiap hari kalau dada gue ini dipake bidadari. Man, ini kalo dia bisa denger suara jantung gue yang lagi deg-deg an nggak karuan dia ketawa nggak ya. 

Gue bisa mencium bau parfum vanilanya dengan jarak sedeket ini. Terima kasih Tuhan, sekarang gue punya alasan buat membelai rambut perempuan yang bikin gue jatuh cinta bertahun-tahun ini. Tapi siapa yang berani menyakiti Aura sampai bidadari gue ini nangis malem-malem begini?


***

 Aura

Because every single people has one person in mind. 

Sudah sebulan aku dan dia mengakhiri hubungan yang telah mati-matian aku pertahankan. Sudah ku terima dia apa adanya dengan seluruh hati. Tapi, aku masih bukan menjadi hal terpenting di dalam hidupnya. 

Di kepala ini masih kamu satu-satunya yang menjadi penghuni tetap meski sudah ku usir berkali-kali dengan kesibukan kantor, tapi kamu tetap menjelma menjadi kenangan super lekat yang tak bisa ku musnahkan. Aku relakan kamu pergi, aku relakan kamu membenahi hidupmu yang berantakan dengan kedua tanganmu sendiri. Aku pikir kamu akan membangun masa depan denganku, tapi nyatanya aku seperti debu-debu di ruang kamar yang ingin cepat-cepat kau singkirkan. 

Kini ku jelajahi duniamu dengan sosial media, lalu ku temukan kamu mengenggam tangan lain di sebuah foto instagram yang baru kamu unggah setengah jam yang lalu.

Mataku memanas. Tanganku bergetar masih memegang handpohoneku. Kamu menggenggam tangan lain dan berani-beraninya kamu masih melekatkan jam tangan pemberianku waktu ulang tahunmu terakhir yang tidak sempat kita rayakan karena kita sedang bertengkar hebat waktu itu.

Kamu tidak pernah bertanya kenapa aku beri kamu jam tangan, bukan sepatu seperti yang kau butuhkan. Jam tangan yang melekat di pergelangan tanganmu, yang kini kau gunakan untuk menggandeng perempuan lain adalah sebagai pengingat, Wir. Bahwa pernah ada kita dalam setiap putaran detik, pernah ada kita yang pernah mengacaukan detak, pernah ada kita yang berani berharap bahwa waktu tidak cukup mampu mengubah kita. 

Brengsek. Siapa dia,Wir?

Berani beraninya kamu Wira Herawan.  Entah berapa kebohongan yang kamu ciptakan sebelum kamu  melepaskan aku. Aku seperti onggokan sampah di sudut kota. Sebodoh itu aku, mau dipermainkan laki-laki yang dua tahun sudah aku bangga-banggakan di hadapan siapapun?

Dan aku kini lebih bodoh, menangis malam-malam di pelukan Adit, sahabat sejak SMP ku dulu.

"Maaf, Dit," Ku angkat kepalaku, dan ku lihat kaos polo putihnya basah.

Dia menatapku nanar, 

"Dit, kenapa gue nggak berharga di mata orang yang gue cintai sepenuh hati?"


***
Adit 

Ini seperti kisah tanpa ujung yang jelas, siapa mencintai siapa, dan siapa berharap kepada siapa. Sampai kapan kayak gini?  Berputar di situ-situ aja, dan kampretnya lagi bertahun-tahun.

Gue selalu dibutuhkan ketika bidadari cantik gue ini patah hati. Selalu ada mata gue yang menatap dia lekat saat menangis, selalu ada dua telinga gue yang denger cerita sedihnya dia, selalu ada waktu gue yang gue sempet-sempetin sesibuk apapun gue. Seperti sekarang, gue membatalkan acara penting ketemu sama temen gue buat ngebahas bisnis. Dan selalu ada mulut gue yang bilang di akhir pertemuan, 

"Tenang Ra, semua bakal baik-baik aja. Kalau ada apa-apa langsung hubungin gue aja. Gue kan sahabat elo,"

Monyet nggak? Gue cuma bisa sanggup bilang bahwa gue ini sahabatnya dia ketimbang sebagai laki-laki yang akan mencintai dia sampai kapan pun.

Gue nggak bisa ngejawab pertanyaan terakhir yang keluar dari bibir Aura setelah dia melepaskan pelukannya. Karena gue juga nggak bisa tahu kenapa lo, nggak bisa ngeliat gue sebagai laki-laki yang selalu ada karena mencintai elo. 
***




Read More




Senin, 11 September 2017

Selamat Tambah Tua !

Duh...mulai darimana ya. Jadi grogi, takut dibilang sok romantis.
Oke.

Ini tulisan kedua yang aku tujukan ke kamu setelah sekian lama karena dunia aku yang makin sibuk, isinya udah nggak kamu melulu kayak dulu.
Rasanya, udah lama ya kita nggak cerita-cerita. Sejak kamu ada motor, kamu udah nggak pernah minta boncengin aku lagi. Sejak kita punya pacar, makin deh ada jarak. Kamu sama pacar kamu dulu dan aku sama pacar aku yang dulu. 

Terus...

Kamu putus, tapi udah nemu yang baru
Aku putus juga, tapi masih sendiri. HAHAHA 

Aku udah nggak sesering dulu main ke kosan kamu sampe tidur berdua di kasur yang sering bunyi "kretek-kretek" kalo kita gerak dikit aja. Aku udah nggak sesering dulu, tiba-tiba nyampe di depan pintu kosan kamu terus kadang nggak ngetok pintu, ngagetin kamu.

Aku nggak sesering dulu, boker di kosan kamu sampe kamu kadang ngomel-ngomel sama aku. 
Aku nggak sesering dulu ngeluh-ngeluh cerita ini-itu sama kamu.

Kita nggak sesering dulu pergi bareng, ngayal bareng, saling nasehatin, tapi ya aslinya sama-sama rapuh.

Sekarang, bahkan aku lupa kita terakhir ketemu kapan.

Kadang aku tuh kangen wid. Kangen kadang kamu nelfon curhat sambil nangis-nangis tapi bikin aku ngakak. 

Tapi ya makin dewasa aku ngerti, kita punya prioritas sendiri.
Aku inget kamu pernah ngomong 

"Dev gapapa dev ini kita naik motor, naik beat, besok kita udah bisa naik mobil. Fighting!"
Aku ketawa-ketawa aja wid di belakang kamu, kamu masih ngoceh sambil nyetir. Inget?

Terakhir kali aku ke kosanmu, kapan ya?
Pokoknya, aku udah liat sederet whist list kamu.
Gila ya, kamu makin dewasa aja. 

Aku udah nggak pernah liat kamu ngeluh masalah hidup.

Kamu udah nggak pernah insecure bilang "Dev, aku cantik nggak?"

Aku udah nggak pernah liat childishnya kamu di depan si abang. 

Entah kamu udah dewasa, atau kamu nyembunyiin semuanya, berusaha tegar.

Tapi inget Wid,
Aku tuh walaupun jarang ngehubungin kamu, aku selalu siap buat kamu ajak cerita.

Nggak apa-apa kalau kamu lebih nyaman sendiri, daripada aku malem-malem masih nongkrong di kedai sampe larut.

Wid, ini kenapa panjang banget ya.

Masih banyak yang mau aku tulis.

Kayak kenangan kita waktu maba. Entah kenapa masih melekaaat banget. Apalagi kalau dengerin lagu RAN - Dekat di Hati

Dan waktu kamu nangis di depan dosen dan anak kelas, gara gara TA in aku. Sumpah waktu itu you are my hero gila!
Kamu bilang kamu nggak di suruh. Kurang baik apa sih Wid kamu sama aku. 

Wid, aku baru sadar. Dan aku baru bersyukur sekarang
Kita selalu satu project bareng kalo tugas kuliah. Walaupun aku sering ngeluh-ngeluh kalo kamu malesnya minta ampun. Nggak deng, tapi kamu gercep.
Kalo nggak se-project, mungkin kita nggak punya waktu lagi Wid buat bareng.

Udah ya Wid,
Ini aku nulis waktu lagi magang di kantor
Selamat ulang tahun. Selamat tambah dewasa, kita. 
Read More




Rabu, 30 Agustus 2017

Berhenti

Kau tahu Anya dan Ale dalam novel Critical Eleven yang telah difilmkan? Mereka mengibaratkan hubungan mereka adalah sebuah jembatan yang dibakar. Tak ada pilihan untuk kembali, mereka harus berlari ke depan. Bersama. Tapi sebaliknya, aku dan kamu, membakar kita. Tak menyisakan apa-apa selain debu kenangan yang kadang mampir disela ingatan.

Ku ingat suaramu diujung telepon,

"Sekarang aku lebih sayang sama diri aku sendiri, lebih cinta sama dunia aku sendiri, daripada kamu."

Duniaku berhenti berputar detik itu. Napasku berhenti sejenak, mencerna kata-kata yang baru ku dengar dari seberang. Perlu kamu tahu, kamu telah membakar aku hidup hidup waktu itu.

Ku relakan semuanya, ku ampuni dengan segala pemakluman keadaan. Ku bangkitkan diriku kembali sendiri.
Aku ingin meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa kau begitu hanya sementara.

Pura-pura ku minta satu kotak martabak untuk mencairkan suasana. Ingat? Pikirku,aku akan punya setidaknya satu malam panjang bersamamu sebelum kita tak punya waktu lagi.

Kau datang begitu terlambat. Ku luangkan waktuku dengan segala kesibukan yang menyekapku waktu itu, tapi kau, waktu, dan satu kotak martabakmu tidak hadir di waktu yang tepat.

Aku bisa apa.

Tidak, aku tidak menuntutmu apa-apa.
Aku tidak menyalahkanmu.
Aku telah berdamai pada masa itu.
Aku mengenangmu dengan damai,
tak menyelipkan apa-apa
karena semua sudah berhenti.


Read More




Kamis, 03 Agustus 2017

Dua hati yang patah

Kita adalah dua hati yang patah lalu dipertemukan

yang disetiap perbincangan menyisipkan tanya

“Gimana jodoh?”

Sama sama menerka, lalu mengabaikan jawaban

Menit berikutnya aku mendengarmu memetik gitar

Bersenandung lagu lagu melankolis kesukaanmu

Lalu hening

Aku tertawa

Menertawakan kita

Yang pernah patah lalu berusaha menghilang dengan mencari kesibukan

kita yang pernah memperjuangkan

tapi sama sama disingkirkan

Aku, kamu, mereka tidak pernah tahu

Tentang takdir

Tapi setidaknya aku bisa belajar dari kamu

Tentang segala keluasan isi kepalamu

Juga belajar mengenai kelapangan dadamu

baik baik di sana

baik-baik untuk kita.
Read More




Jumat, 30 Juni 2017

Jahat



Berganti tahun. Perasaan ini masih tetap seperti dua tahun yang lalu.

Ndra, kamu jahat.

Kamu hilang tanpa kabar. Tanpa kepastian.

Aku lelah menerka maksut kedatanganmu Desember lalu.

Enyah saja, kamu membuat harapan ini seperti api disiram bensin.

Begitu besar.

Dan menghabisi aku.

Melalap aku hidup-hidup.

Aku tahu di seberang sana banyak yang kamu pikirkan tentang kita.

Lalu kenapa kita tidak bertemu saja?


Kenapa semuanya kamu buat semakin rumit, Ndra?

Kau tak pernah menjanjikan pulang

Tapi sapamu bulan lalu begitu melekat di ruang ingatan

Mengapa kau tak membuat ini semua menjadi sederhana?

Indra, aku rindu.



Aku,

Perempuan yang pernah kau sebut rumah




Read More




Bukan Curhat

Liburan panjang, membawa saya menulusuri folder-folder di laptop saya. Foto-foto hingga tulisan-tulisan saya. Saya temukan cerita-cerita fiksi yang masih separuh. Mungkin jika tokoh-tokoh ciptaan saya bisa bersuara, mereka akan memaki  habis-habisan karena menggantungkan cerita mereka.

Lalu sajak-sajak sedih.
Doa.
Harapan.
Semuanya ada di dalam tulisan saya.

Lalu mulai sekarang,
saya akan memindahkan tulisan-tulisan itu di sini.
Agar bisa kalian baca.
Pastinya dengan segala perubahan.

Tapi,
percayalah
bahwa tulisan-tulisan saya setelah ini bukan curhat
Sungguh.

Selamat menikmati.
Read More




Rabu, 28 Juni 2017

Pertanyakan Kembali




Pertanyakan lagi kepada dirimu sendiri, dia hadir dan kau pilih untuk apa jika lebih banyak melahirkan luka?


Aku melihat Bima sedari tadi mondar-mandir sambil menggenggam ponselnya. Raut wajahnya begitu kesal sekaligus cemas, ia tak mendapatkan kabar satupun dari kekasihnya.

“Ck, tenang aja sih Bim, Nova nggak akan kenapa-kenapa kok.”, Lontarku kesal melihatnya yang selalu mengkhawatirkan sahabatku satu itu.

“Masalahnya ini hujan deras Je. Dan dia lagi sakit.”

“Nova udah gede, semuanya bakal baik-baik aja. Dia bisa jaga diri daripada aku. Percaya deh, dia ini mungkin lagi kejebak hujan di kantor.”

“Tapi…”

“Apa?" 

“Seenggaknya dia ngehubungin aku.”

Aku terdiam, lalu memilih larut dalam pekerjaanku di layar laptop, membiarkan Bima ditelan kekhawatirannya yang terlalu berlebihan. Aku bisa menjawab pertanyaannya seandainya aku tega. Aku bisa saja menasehatinya sampai mulutku berbusa, tapi kalau orang sedang jatuh cinta, orang-orang sekitarnya bisa apa?

Aku tahu, bagaimana perjuangan Bima mendapatkan sahabatku satu itu. Bagaimana ia memperlakukan Nova seperti tuan puteri yang selalu diantar jemput pulang pergi, bagaimana ia mengistimewakan perempuan satu itu, bagaimana ia selalu mengalah untuk mendapati lengkung lebar dibibir Nova.

Budak cinta.

Bima begitu mencintai Nova, dan Nova yang mencintai Bima apa adanya, tanpa perlu usaha apa-apa. Bagaimana bisa?

Jawabannya satu.

Nova tidak begitu menginginkan Bima sebenarnya. Ia menerima cinta Bima karena ingin menghargai seluruh usaha laki-laki berambut gondrong itu. Meskipun, aku tak setuju keputusannya, karena sejak keputusannya, sahabatku itu malah melahirkan banyak luka, meski kadang mereka terlihat seperti pasangan yang paling bahagia.

Mungkin aku cemburu pada Nova yang bisa mendapatkan Bima. Aku selalu memberitahunya, betapa diberkatinya ia oleh Tuhan dihadirkan laki-laki sebaik Bima. Sedangkan aku?

Aku yang tak pernah mencicipi perlakuan istimewa dari kekasihku dulu. Ia tak menghubungiku ketika aku tak menghubunginya terlebih dahulu, ia tak menawarkan menemaniku ke manapun, padahal aku tak suka kemana-mana sendirian. Apa-apa yang aku inginkan, aku selalu memohon terlebih dahulu. Sedangkan aku,

Aku rela basah oleh hujan hanya untuk mengantarkannya makanan tanpa ia bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak, aku rela menghabiskan hampir seluruh tabunganku untuk memberi kejutan ulang tahun namun aku  tak mendapati binar bahagia dalam matanya, aku yang rela pulang larut malam menemaninya ketika bersedih tanpa ia mengkhawatirkan keadaanku bagaimana. Aku yang harus mengerti dia sedang kecewa atau marah, sedangkan ia tak mau tahu, betapa kecewanya aku. 

Aku yang meleburkan duniaku untuknya, dan dia tetap memiliki dunianya beserta seluruh egonya. 

Dan kini tak lagi. 

Ketika orang yang kau sayangi tak bisa memperlakukan dan menghargaimu dengan benar, bagaimana kelak ia menjadi pasanganmu yang bisa menjaga dan menyayangimu dengan sabar?

“Bim…” Aku memanggil Bima dengan lirih. Sementara ia sedang memejamkan matanya, sambil menyandarkan tubuhnya di atas sofa.

“Cinta banget sama sahabatku satu itu?”

“Bangetlah. Kamu tau sendiri aku gimana kan sama Nova.”

“Terus, Nova sendiri gimana?” Aku balik bertanya.

Bima terdiam. Aku mengemasi barangku sambil menunggu jawabannya.

“Dia…" Jawabannya terhenti. Mungkin sedang mengingat-ingat.

"Dia sayang kok sama aku,” Jawabnya lirih. Lebih tepatnya ia sedang meyakinkan dirinya sendiri.

“Semoga seperti itu.” Aku hanya tersenyum lalu bersiap pergi dari kafe yang sudah kami singgahi sejak  tiga jam yang lalu sambil menunggu hujan reda.

Aku ingin memberinya waktu untuk berpikir. Karena kadang, orang jatuh cinta mengutamakan apa yang ia rasa dibanding logika. Ia tak peka oleh kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan pasangannya, percaya dan mengatasnamakan apa yang dilakukan itu adalah cinta, padahal itu tipuan belaka. Lalu, lahirlah para manusia-manusia yang diperbudak oleh cinta.

Kaum-kaum yang terpenjara, memandang sempit perasaan bahagia, berpatokan pada satu orang yang diyakini ia adalah cinta padahal sebenarnya ia hanya mirip dengan cinta padahal bukan. 

Dan aku, belajar, kita boleh berkorban, tapi kita tak perlu sampai jungkir balik memutar isi kepala hingga mengabaikan hati sendiri yang berkali-kali luka dan kecewa untuk mempertahankan seseorang yang menjanjikan bahagia. Cinta yang benar, tahu bagaimana cara mengitari kita dengan bahagia tanpa perlu memohon. Ia akan memberi tanpa kita minta berkali-kali.

Sebelum aku menghilang dari balik pintu, aku berpesan pada Bima,

"Bim, makasih ya udah ada yang jagain Nova sebaik kamu. Tapi, jangan sampai, apa yang kamu miliki, malah menyakiti dirimu sendiri."

"Je, aku bakal buat dia sayang sama aku sama seperti aku sayang sama dia."

"Oke, tapi kamu tau konsekuensi kamu apa. Jangan ngeluh ya."

Bima terdiam lagi.

Sementara aku  langsung meninggalkan Bima sendiri.
Melihat Bima seperti melihat diriku sendiri satu tahun yang lalu. Antara ingin pergi, atau percaya akan ada keajaiban mengubah kekasih yang aku banggakan menjadi manusia yang bisa mencintaiku dengan baik.

Tapi, pertanyaan yang selalu menghujani kepala adalah satu pertanyaan yang sama,

Sampai kapan begini dan rela dijatuhkan berkali-kali?



Read More




Kamis, 22 Juni 2017

Pecinta Kafe

Tiba-tiba saya tergelitik untuk menuliskan ini entah kenapa. Baru saja, saya melihat feed instagram saya yang sudah tidak teratur lagi. Foto-foto yang terpampang lebih banyak pantai, kafe, dan kopi. Sepertinya hidup saya dalam lingkaran itu-itu saja. Dan saya tersadar, kecintaan saya pada kafe ataupun kedai kopi sempat membawa saya ke kehidupan mereka. 

Mereka yang sibuk dibalik bar meracik kopi, para waiters yang ramah, ataupun sang pemilik yang berupaya menjadikan kafenya senyaman mungkin untuk pengunjung. Sebelum saya berkutat pada ranah ini, saya ingin mundur pada tiga tahun ke belakang.

Saya adalah manusia yang terobsesi pada kafe. Dulu sempat, saya membuat daftar, kafe mana yang harus saya singgahi di kota ini dengan teman-teman saya. Kafe baru mana yang harus dicoba, dan bahkan ketika ke luar kota pun, saya tidak absen untuk mengunjungi kafe paling di kenal di kota itu hanya untuk menikmati suasananya, mengabadikan momen, dan mencari ruang untuk mengobrol dengan orang-orang yang saya sayang. 

Oh, satu lagi. Kebanyakan cerita fiksi yang saya buat pun tak jauh juga dari yang namanya kafe. Seringkali saya juga curi-curi pandang ke arah barista di balik bar yang dengan tekun menyeduh kopi orderan saya. Hehehe.

Sebegitunya saya dengan kafe. Kadang, bila ada kafe yang bangunannya terbuat dari kaca-kaca besar, yang membuat saya bisa melihat aktivitas mereka dari luar, saya senang mengamati mereka meski hanya sebentar. Ini kebiasaan apa ya namanya? Entah, ada suatu kekaguman yang saya lekatkan pada kafe dan segala isinya.

Lalu Tuhan sangat berbaik hati memberi kesempatan untuk mengenalkan saya ke dalam kehidupan mereka. Saya dekat, saya hidup di dalamnya. Dengan segala kekaguman dan kenyamanan kafe yang kita singgahi, ternyata saya baru tahu ada kerumitan dan perjuangan orang-orang di balik layar untuk mempertahankan kafenya. 

Bagi saya kafe adalah tempat setiap manusia membagi cerita. Coba tebak, ada berapa cerita di setiap kepala-kepala yang sedang duduk di sofa kafe? Terkadang, saya senang mengamati ekspresi mereka yang betah berlama-lama di sebuah kafe. Entah hanya diam memandangi laptop dengan satu cangkir kopi, atau berisik mengobrol seru dengan teman-temannya.

Saya adalah manusia yang senang singgah di kafe, oh satu lagi, musiknya. Kafe nyaman, musik syahdu, latte art yang cantik, dan barista tampan, akan selalu saya gantungkan di ingatan saya. 



Read More




Jumat, 16 Juni 2017

Karena dia istimewa

Di sebelahku Niko sibuk menekan nekan tombol tape radio meski matanya tetap fokus pada jalanan lengang sore ini. Sedangkan aku, semenjak duduk di mobil memilih diam, menahan kantuk karena sudah tidak tidur hampir dua hari karena dikejar deadline dari client. Kalau aku tega dengan laki-laki satu ini yang sedang berusaha menculik aku ke Jogja, aku akan memejamkan mataku sekarang juga.

Ia tahu, aku sedikit sebal karena dipaksa ikut ditengah kesibukanku yang luar biasa kurang ajar.Tapi ia selalu tahu, bagaimana menyenangkan sahabatnya satu ini.

"Tidur aja kalo ngantuk, kalo nggak gini, kita nggak punya waktu libur Ta," Niko melirikku, aku tahu senekat apapun dia sekarang, dia juga merasa bersalah. Membawa perempuan kabur ke Jogja, dari padat dan sibuknya Jakarta.

Terakhir kali kami berlibur adalah liburan dua tahun yang lalu. Setelah kelulusan, kami merayakannya dengan long trip Bali-Lombok selama dua minggu. Liburan paling menyenangkan selama aku hidup 25 tahun sebelum tersekap dalam rumitnya menjadi orang dewasa yang diburu waktu, dituntut ini-itu.

"Gue nggak tega kali ninggal lo tidur,"

"Yaudah, cerita-cerita aja, gosipin apa gitu kek. Temen kuliah kita dulu, atau bos lo, atau client lo yang menyebalkan, atau apa ajalah nerocos aja pokoknya lo, gue dengerin,"

Aku nyengir melihat kelakuan Niko yang super pengertian ini. Empat tahun berteman membuat kami saling tahu seluk beluk hidup, dan kesukaan masing-masing.

"Hahaha apaan sih lo, gosip banget,"

"Ooh...atau..."

"Atau apa?"

"Ben. Mantan lo. Lo nggak pernah cerita apa-apa ke gue. Tiba-tiba putus. Padahal gue inget banget lo mau nikah sama dia."

Ah, dia lagi. Aku hanya tertawa hambar menanggapi pertanyaan Niko. Lalu memandangi jalanan Jakarta dan kendaraan lalu lalang di depanku.

"Kenapa sih? Cerita dong. Udah lama kan? Jadi nggak apa-apa dong lo cerita sama sahabat lo ini?"

Aku hanya mengedikkan bahuku. Aku sudah enggan bercerita mengenai laki-laki yang sempat aku bangga-banggakan di depan siapapun. Cerita lama yang sudah terlalu entah dan berusaha tak ku pedulikan lagi. Meski sejujurnya, cerita tentang aku dan Ben masih banyak menggantung di ingatan memori.

"Karena...karena dia terlalu istimewa buat gue."

Niko mengerinyitkan dahi sambil membenarkan letak kacamatanya, lalu mengamatiku sebentar.

"Maksudnya, Ta? istimewa gimana? terlalu ganteng gitu? terlalu pintar dan berprestasi? Terlalu multitalenta?"

Aku hanya tertawa lagi. Berharap aku tak perlu menceritakan detil pertengkaran aku dan Ben yang sudah terlalu lampau. Aku ingin berdamai dengan masa itu.

"Nita Larasati tolong jawab pertanyaan gue, jangan ketawa mulu lo kayak orang gila," Niko mulai sebal.

"Karena, dia itu terlalu istimewa Nik, dan gue, nggak bisa memahami keistimewaannya dia."

Aku tidak pernah siap untuk menceritakan yang sebenarnya kepada siapa saja. Dengan orang tuaku sekalipun. Biar aku saja yang tahu tentang keistimewaan Ben. Cukup aku yang tahu dengan ketidakmengertianku tentang segala ketakutan, kecemasan, dan segala keresahan Ben. Cukup aku yang tidak mengerti, pada perkara-perkara kecil yang selalu berputar di otak Ben hingga menimbulkan amarah tak terduga ditengah-tengah kami yang sedang asyik bercengkrama.
Keistimewaan Ben, yang seringkali membuatnya menjadi dua manusia berbeda dalam sekejap mata.
Aku dulu sering memeluknya, ketika ia sedih di pojok kamar memeluk kedua lututnya.
Sering menenangkan dia, ditengah kepanikannya mengenai apa saja yang...ah entahlah, aku bilang aku tidak mengerti.

"Tapi lo baik-baik aja kan sekarang?" Niko memastikan pertanyaannya tadi tidak membuat sahabat kesayangannya ini sedih.

"Tenang aja Nik, gue jauh lebih baik sekarang."

Kalau teman-temanku bertanya, kenapa aku bisa mencintai Ben dulu, dengan segala kebencian yang tersisa kini, aku juga tidak mengerti. Entah, sepertinya aku harus menanyakan kembali pada diriku sendiri, aku mencintai sisi diri Ben yang mana. 

Biar semua kepala dipenuhi tanda tanya tentang hubungan aku dan Ben yang hampir berujung pada pernikahan ini. Toh aku tidak bisa mencintai Ben sepenuhnya, mencintai dua manusia yang berbeda. Mungkin, Ben adalah pembelajaran hidup yang paling berharga yang aku punya. Bahwa, kita tak perlu berharap apa-apa pada manusia yang banyak menciptakan wacana ditengah Tuhan yang sudah menyiapkan rencana. Kita adalah manusia-manusia keras kepala, yang kadang kalau urusan cinta, membuat kita lupa padahal Tuhan sudah mengirimkan banyak tanda.

"Jadi lo sama Dira gimana Nik?" aku balik bertanya tentang hubungan Niko dengan kekasihnya.

"Kandas Ta."

"Hah? demi apa lo? Serius?"

"Kenapa?"

"Karena dia terlalu istimewa buat gue. Hahahaha"

"Ah sialan lo! Yang bener Nik?" Aku memukul lengan Niko. Kali ini benar-benar sebal.

"Iya Nita. Gue lagi patah hati. Makanya gue pengen lari ke Jogja!"

"Jadi ceritanya ada dua orang patah hati di satu mobil nih? Yang satu udah sadar yang satu baru lari dari kenyataan," aku terbahak.

Ya, namanya juga hidup. Yang kita genggam sekarang, belum tentu jadi jodoh kita di masa depan. Mobil kami melesat cepat, sementara aku membiarkan Niko menyanyikan lagu All  I want milik Kodaline meski suaranya cempreng.


But if you loved me
Why'd you leave me?
Take my body
Take my body



Read More




Senin, 08 Mei 2017

Antara Agan, Kopi, dan Kamu

Sepertinya Tuhan tidak ingin hambanya ini, saya, tidak mengerjakan apa-apa. Tuhan ingin saya terus mengasah kemampuan. Dan pada akhirnya, di sini sekarang saya membagi hidup. Di sebuah kedai kopi. 


Saya ingat, pada satu hari di Bulan Februari, teman dekat saya meminta bantuan untuk membuat deskripsi menu di sebuah kafe milik temannya. Deskripsi yang ia maksud adalah deskripsi berfilosofi dan bercerita mengenai rasa makanan atau minuman di menu tersebut. Karena saya memang tidak ada pekerjaan waktu itu, dan kebetulan saya baru saja resign dari pekerjaan saya di sebuah website, jadilah saya mengiyakan permintaan tersebut tanpa meminta bayaran sepeser pun. Masa iya sih tega sama temen deket sendiri? Hahaha

Saya membuat deskripsi menu yang agak susah-susah gampang itu selama kurang lebih dua jam. Tidak ada ekspektasi apa-apa setelahnya.

"Gimana? Ada revisi?," Tanya saya pada Debora, teman saya yang meminta bantuan itu.

"Nggak ada, orangnya suka kok. Bayarannya kopi aja ya?" 

Saya senang waktu itu. Bukan, bukan karena dapet secangkir kopi cuma-cuma. Itu karena untuk pertama kalinya, 'karya' saya digunakan orang lain. 

Malam itu setelah janjian, saya dengan Debora langsung meluncur ke sebuah coffee shop yang baru saja dibuka untuk mengambil "hadiah" kopi gratis yang diberikan kepada saya. Sekalian kenalan sih sama calon empunya kafe yang bakalan buka bulan itu. 

"Obi," begitu katana ketika saya menjabat tangannya. 

Saya tidak terlalu memperhatikan Obi pertama kali. Yang saya tahu, si Obi ini lagi banyak pikiran. Laki-laki berambut gondrong, penampilan ala kadarnya, muka suntuk dan rambut kusut. Laki-laki canggung yang pertama kali mengajak saya ngobrol sebelum dekat seperti sekarang ini.

Setelah masuk ke coffee shop yang kita tuju, dan memesan satu hot matcha latte kesukaan saya, saya lebih sibuk mengobrol dengan Debora, karena Obi, sibuk berkutat dengan pekerjaannya di laptop. 

Saya pikir saat itu adalah malam perkenalan pendek saya dengan laki-laki kusut berambut gondrong, si pemilik kedai kopi. Saya pikir pertemuan itu hanyalah pertemuan singkat sebelum akhirnya dia bertanya beberapa hal dan mengajak saya gabung dengan tim pengelola kedai.

"Dev, gabung tim kreatifku yuk. Mau nggak?"

Saya menimbang, baru saja saya resign dari pekerjaan saya, masa mau kerja lagi?
Obi menyebutkan fee yang akan saya terima, dan saya sedikit kaget dengan nominalnya. Bukan, bukan karena besarnya. Tapi jumlah yang ia tawarkan persis jumlahnya seperti fee pekerjaan saya sebelumnya ketika mengelola sebuah website. Kadang, saya berpikir sampai sekarang, Tuhan ini ada-ada saja ya caranya, 

Ketika saya ingin lari, mengurung diri dalam zona nyaman, Tuhan mempersiapkan skenario sedemikian rupa untuk "melempar" saya ke zona yang mengharuskan saya ditempa. 

Dan akhirnya Debora meyakinkan saya. 

Setelah saya mengiyakan tawaran gabung ke tim kreatif Obi, yang kini beralih jadi tim manajemen, saya bertanya di mana lokasi kafe. Ya, saya waktu itu menyebut kedai kopi ini adalah kafe. Di benak saya, kafe ini kafe cantik, kafe lucu buat ngopi cantik, nyeduh ganteng,  yang instagramable banget. Karena, maklum ya, saya anak instagram garis keras. Hehe enggak deng. Tapi jujur, saya selalu tertarik ke sebuah kafe karena tempatnya. Menu, nomer dua. Karena seenak apapun menunya, saya nggak mungkin bisa sering-sering makan di kafe. Masuk akal kan? Hahaha

Ketika dia menyebutkan nama kafenya, saya mengerinyitkan dahi. 

"Kedai Agan?," Saya mengulangi nama kedai yang ia sebutkan. Serius bi? Kafe dengan nama se-gentle itu, dan kesannya cowok banget itu mau dikasih deksripsi menu saya yang romantis abis. 

"Kenapa Agan?" saya masih nggak yakin.

"Karena aku mau, mereka nganggep itu kedai mereka. Kedai milik Agan, Kedaimu. Ya semacam itulah."

Saya berpikir keras. Ini nggak cocok banget sama deskripsi menu yang saya bikin. Kenpa di-iya-in aja. Karena, waktu itu saya dimintai bantuan cuma buat deskripsi menu tanpa tahu latar belakang konsep kedai kopi.

Pada akhirnya saya bilang, "Menunya aku revisi ya, nggak cocok banget sama namanya."
Ya walaupun, tetep. Deskripsi menunya itu masih manis banget. Hahaha. Buat kedai kopi bernama kedai Agan. Agak ganti konsep dikit sih, Agan ini adalah sosok orang-orang yang kerja di kedai kopi. Jadi bukan Kedai-mu lagi. Wkwk.

Lalu beberapa hari kemudian Obi meminta saya untuk mengonsep tembok kedai, mau diisi apa, dalam waktu satu malam, karena besok paginya mau dieskusi. Edan emang. Laki-laki edan. 

Tapi saya senang sih bagian ini. Saya merasa saat itu, kedai adalah bagian dari saya. Ya, walaupun bukan milik saya. 

Kedai Agan menurut saya bukanlah sebuah tempat kerja, kedai adalah rumah kedua saya. Nggak percaya? saya pernah tidur dua kali di kedai, gara-gara nemenin benahin interior kedai, abis itu pinggang saya sakit dua minggu. Iya, saya lemah. Bagaimanapun, saya mencintai Kedai Agan dan segala isinya. Seperti melahirkan sebuah anak, saya akan memperjuangkan kedai ini untuk tetap hidup sampai buka cabang di mana mana ngalahin warung ayam geprek yang cepet banget buka cabangnya. 

Saya ingin cepat-cepat merampungkan segala konsep kedai yang masih harus ada penambahan sana-sini. Saya ingin berlari ke tujuan awal saya bergabung dengan kedai ini.

Soft selling.
Membuat webseries tentang kedai ini.

Ah, yang penting, anak kami yang baru berusia dua bulan ini jalan lancar dulu. Memang membangun usaha tidak semudah merencanakannya. 
Doakan ya, agar anak kami ini si Kedai Agan jadi gede, syukur-syukur bisa beranak pinak. 
Read More




Jumat, 24 Maret 2017

Titik (Jeda yang Berakhir)

Kau tiupkan pengharapan
Lalu sedetik kemudian,
aku,
serupa lilin-lilin yang menyala
Kau biarkan aku leleh 
oleh pengharapan yang menghabisiku perlahan



Saat itu, aku menangis tepat di dadamu. Menenggelamkan segala resah di rengkuhmu. Kau tahu, pipiku basah waktu itu. Entah, rasanya aku benar-benar akan kehilangan kamu. Menatapmu, membuat aku tenggelam, di samudera tanpa dasar.
Lalu aku sempat berkata, "Kamu nggak akan ninggalin aku kan?"
Aku tahu, aku tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang sebenar-benarnya pada saat itu. Aku tahu, ada yang tak ingin kau katakan pada waktu itu.
Jarak ternyata mampu menjadikan kamu sebagai manusia yang jauh berbeda. Kau meminta aku kembali lagi, tapi nyatanya, kembali dengan sembunyi sembunyi adalah jalan yang kau pilih, dan menjadikan aku terasing dalam duniamu. Aku tahu, aku bukan satu-satunya.

Kini pelukmu bukan milikku lagi. Lenganmu milik orang lain yang sudah lama memperjuangkanmu. Entah kau mencintainya dengan cara yang sama atau tidak. Entah mencintainya dengan cara yang lebih baik atau tidak. Aku tak peduli.

Lalu kini, aku berterimakasih kepada Tuhan yang mematahkan satu keburukan dalam hidup, namun dalam jemariNya, Ia menumbuhkan seribu kebaikan yang mengitariku.

Mengenal kamu, membuat aku sadar, aku salah menempatkan prioritas, aku tambah bersyukur, kehilangan kamu tak lantas membuat bahagiaku berkurang. Bahagiaku masih lengkap, dan hidupku tetap baik-baik saja dengan orang-orang yang tepat.

Kamu pernah menjadi tolak ukurku, tapi kini tidak dengan segala keburukanmu. Aku pandai menganalisa, aku tahu nantinya kalian akan bermuara ke mana.

Semesta akan bekerja dengan caranya sendiri. Aku tahu, kau butuh bahagia, bahkan tak apa jika bahagiamu itu bisa membuat orang lain luka. Sudah berapa kali perempuan-perempuan yang kau buat kecewa, tampan?

Aku pernah mencintaimu dengan cukup baik, dan menyayangimu teramat sangat. Tapi kau tidak menghargaiku dengan cukup baik, jadi, aku sadar, akan ada saatnya tiba, semesta memberiku seseorang yang tahu bagaimana mencintaiku dengan baik.

Aku mengingatkanmu pada satu pepatah.

Hubungan yang diawali dengan keburukan akan berakhir dengan cara yang tak jauh berbeda.

Terimakasih sudah singgah meskipun tak sungguh.
Read More




Rabu, 11 Januari 2017

Saatnya Berlabuh




Kau tak pernah bisa memaksa seseorang untuk berhenti membencimu, sebaik apapun sikapmu. Ia akan tetap benci. Begitupula dengan yang namanya cinta. Kau tak bisa memaksa seseorang untuk berhenti mencintaimu, semenyebalkan apapun sikapmu, ia akan tetap cinta.'

Selamat ulang tahun, Ren. 

Reno mengerutkan dahi ketika membaca surat di atas box ukuran 30x20 cm di depan pintu rumahnya. Seketika sekelebat bayangan mendarat dipikirannya, menebak-nebak siapa yang mengirim hadiah misterius tepat di hari ulang tahunnya yang ke 24 tahun. 

Sambil membuka bungkusan itu, ia berharap bahwa bukan perempuan itu lagi. Tangannya mendadak dingin, jantungnya berdebar. 

Ada satu buah buku berwarna putih, seperti novel tipis yang kurang lebih tak sampai 100 halaman. Satunya lagi adalah lukisan wajahnya di sebuah lingkaran kayu yang cukup tebal, dan sebuah sweater berwarna abu-abu. 

Ia tak menemukan tanda-tanda sang pengirim. Lalu dengan hati-hati ia ambil sebuah novel yang sangat asing baginya. Cover halaman novel putih, dengan tulisan hitam minimalis berjudul 'Sebuah Perjalanan

Di awal halaman tertera tulisan, 

'Teruntuk, Reno Herangga Putra'

Jantungnya seperti berhenti, ia menahan napas ketika membaca halaman berikutnya

Terimakasih telah menyempatkan waktu untuk membaca paragraf ini.  Aku berharap kamu berkenan untuk membaca paragraf berikutnya, hingga ke lembar selanjutnya sampai ke halaman terakhir. Aku tak tahu, kamu menyukainya atau tidak.

Tapi sungguh, ketika buku ini sampai di tanganmu, aku tak meminta apa-apa. Aku tak berusaha merebut duniamu kembali, aku tak berusaha mencari perhatianmu lagi. Buku ini aku tulis atas kecintaanku pada menulis. Dan aku merasa hidup ketika menuliskan sesuatu yang aku sukai, meski kadang melukai.
Kamu pernah dengar sederet kalimat ini?

‘ketika kau dicintai oleh seorang penulis, kau akan abadi di setiap paragraf tulisannya.”

Aku ingin mengabadikan kamu di sini, karena waktu akan berhenti, dan memori akan tergerus hari. Sebelum semuanya terjadi, izinkan aku melukiskan semua cerita yang sempat kita lalui. Mungkin, bila aku tak lagi bisa kau temukan, buku ini bisa menjadi bukti bahwa ada seseorang yang begitu mencintai, tapi tidak tahu bagaimana harus mempertahankan.
Kamu tidak perlu mengucapkan terimakasih, atau bertanya-tanya atas apa yang telah aku lakukan. Kita tak lagi bersapa, tapi lewat buku ini aku ingin bersuara.

Aku tak perlu tahu atas perasaanmu kepadaku, karena persoalan aku masih mencintaimu adalah urusanku. Masalah kamu mencintaiku atau tidak, aku tidak terlalu lagi peduli. Hal terpenting adalah mengetahui kamu bahagia dan tetap baik-baik saja.

Maaf jika ada kisah yang terlewat, hanya sepenggal, atau terlupakan. Harusnya kertas-kertas yang pernah memenuhi dinding kamarku tak ku berikan padamu, yang entah mungkin sekarang tersingkirkan atau sudah tak ada lagi karena kamu buang. Tak apa, apa yang kamu lakukan adalah wajar.

Mungkin aku yang sedang tak wajar.
Di akhir paragraf ini, aku berharap aku akan menertawakan ketololanku saat ini ketika telah bersama pasanganku kelak. Lebih baik seperti itu, daripada kita menangisi kebodohan kita di masa depan atas keputusan yang kini kita jalani.

Ini bukan mengulang masa lalu,
Aku hanya ingin kamu abadi
Di sini,
Selamat membaca,
Dari aku,
Perempuanmu (dulu)

Reno terpaku. Perempuan yang mati-matian ingin ia lupakan kembali lagi. Jika boleh jujur, dirinya masih menyayangi Diva. Hampir dua tahun lebih ia tak pernah menghubunginya, semua kontak, media sosial sudah tertutup untuk Diva, dan semua usahanya sia-sia.

Beberapa halaman telah Reno baca, dan kini ia duduk terdiam. Pikirannya berkecamuk, antara seperti menemukan sesuatu yang hilang, dan terjerat dengan ketiadaan. Dadanya sesak. Lalu ia memberanikan diri untuk menghubungi Diva kembali. Sudah saatnya ia memerdekakan rindu yang ia penjarakan selama ini. Untuk apa lama-lama bersembunyi? Padahal ia tahu, Diva adalah sebenar-benarnya tempat dia berpulang.
*** 
Handphone Diva bergetar di atas meja kerjanya. Satu panggilan masuk. Dadanya berdebar ketika mengeja nama yang tertera di layar ponselnya. Satu senyum lebar terlukis di bibirnya. Mungkin, sudah saatnya mereka berdua bersuara,
"Halo..."
***
In the fact I'm never worry to let you go, because I know that I will always have you back.

Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML