Sabtu, 25 Januari 2014

Batas Waktu

http://weheartit.com/avicii_DJ


15 Januari 2014 : 22.22 WIB
Ini sudah tiga bulan setelah kepergianmu. Kau tahu? Aku merindukanmu. Sangat. Rumah ini begitu sepi tanpa kehadiranmu. Rumah ini terlalu luas tanpa kamu di dalamnya. Tanpa ocehanmu yang seringkali membuatku naik darah, tanpa kamu yang seringkali menonton TV hingga larut malam, tanpa kamu yang keras kepala, susah diatur, dan terkadang seenaknya sendiri. Dan kini, aku merindukan semua itu.
                
 Tak ada baju-bajumu di ranjang cucian, tak ada peralatan besi yang sering kamu taruh sembarangan, tak ada suara TV yang menyala tengah malam,  tak ada aroma obat dari kamar yang sering kamu minum, tak ada makanan yang harus aku masakkan untukmu sekarang, tak ada dengkuran yang membuatku terganggu setiap malam. Mengapa harus kehilangan untuk merindukan kamu?
               
 Air mataku sudah mengering, hampir setiap malam aku mengingat dirimu. Mataku tak pernah mau terpejam walau kantuk menyerangku. Sayang, rindu ini benar-benar mengacaukan aku. Memporak-porandakan pikiranku. Bagaimana bisa, aku tertidur tanpa kamu di sampingku? Bagaimana aku bisa tidur jika biasanya aku selalu menatap punggungmu sebelumnya?
               
 Aku tidak tahu, apakah kamu mendengarku sekarang. Aku tidak tahu, apakah kamu melihatku sekarang. Aku bermimipi, kamu memelukku erat. Tak mengatakan sepatah katapun. Dan aku membenamkan kepalaku di dadamu. Kamu tampan, sangat tampan. Seperti seorang pemuda yang membuatku jatuh cinta 40 tahun yang lalu. Lalu kamu menarik pelukanmu lalu tersenyum. Senyum yang membuat air mataku mengalir tanpa muara, kamu lenyap seketika. Dan aku tersentak, terbangun dari tidurku dan mendapati kamu tidak ada lagi di sampingku.

2 November 2013: 19.30 WIB              
Aku tak tahu aku harus berbuat apa waktu itu. Kamu mengerang kesakitan. Wajahmu pucat. Tak biasanya kamu seperti itu. Aku tahu, sudah saatnya penyakit tua itu datang. Dan kamu memperparah dengan obat-obatan yang kamu beli sendiri. Aku sudah berulang kali melarangmu, namun kamu tidak mempedulikan aku. Ginjalmu tak bisa bekerja secara normal akibat obat-obat generic yang sering kamu minum. Seandainya, kamu tidak keras kepala, mungkin aku masih memiliki waktu bersamamu lebih beberapa hari.

6 November 2013: 16.00 WIB                
Kondisimu sudah membaik setelah kamu dirawat di rumah sakit. Aku bisa bernapas lega. Kamu meminta untuk pulang, untuk rawat jalan. Meskipun dokter melarangmu karena kondisimu belum stabil. Tapi, kamu benar-benar bersikeras untuk tetap pada pendirianmu. Seandainya kamu menurut apa kata dokter, mungkin aku bisa memiliki waktu bersamamu hingga kini.

7 November 2013 : 19.00WIB              
Sampai rumah, kamu mau tidur sendirian tanpa aku. Kamu ingin aku tidak terganggu dengan batukmu yang kian parah. Walaupun aku tak mau, kamu tetap memaksaku untuk menuruti keinginanmu. Seringkali tanpa kamu ketahui, aku selalu bangun setiap malam, memastikan kamu baik-baik saja. Dan saat itu aku menyadari, kita semakin menua oleh usia. Dan entah bagaimana, aku tak ingin kehilanganmu. Sangat. Aku menyadari, kita tak lagi mempunyai banyak waktu untuk menikmati yang tersisa.

9 November 2013: 21.00  WIB            
Hari itu, kamu terbaring lemah seperti biasanya. Kakimu semakin kurus. Aku mendekatimu, menanyakan bagaimana keadaanmu. Namun kamu diam saja, lalu kamu memegang erat tanganku. Memintaku untuk menemanimu di sampingmu. Aku masih mengingatnya kini. Sangat jelas. Bahkan aroma tubuhmu, hangatnya badanmu masih melekat pekat diingatanku. Aku memelukmu dari belakang, dan kamu memegang tanganku yang melingkar di perutmu.

13 November 2013: 23.00WIB               
Beberapa hari kemudian, rasa sakit itu menyerangmu kembali. Hidungmu berdarah, kamu mengeluarkan semua isi makanan yang baru saja masuk perutmu. Kamu menggigil kedinginan. Entah apa yang mengakibatkan kamu begitu. Dan aku hanya bisa menangis ketika ambulans membawamu ke rumah sakit.

15 November 2013: 00.00 WIB               
Dan inilah yang membuatku selalu menyesal. Maafkan aku, ketika pada waktu yang tersisa tidak ada aku di samping kamu. Maafkan aku, ketika kamu tak dapat melihatku berdiri di sampingmu pada akhir pejamanmu. Maafkan aku karena tak ada erat tanganku  yang menggenggammu pada hela napas terakhirmu.  Anak-anak kita yang melarangku untuk mengunjungimu. Kata mereka, aku butuh istirahat di rumah. Ya, aku sangat lelah. Karena aku seringkali terjaga untuk menjagamu setiap malam.
               
Aku melihatmu waktu itu, kamu masih di dalam ambulans yang sama. Namun tidak ada kamu lagi di dalamnya. Aku harap, mereka keliru. Kamu belum pergi. Aku harap kamu masih melihatku seperti pertama kali kamu memasuki ambulans. Namun, aku yang keliru. Nyatanya, aku sudah kehilanganmu.
                
Hanya jasadmu yang terbaring kaku di sana, di ranjang kayu . Matamu terpejam, dan bibirmu masih melengkung sempurna. Aku berusaha tidak menangis di hadapanmu. Aku berusaha membalas senyumanmu. Namun, aku tak kuasa. Aku bersimpuh dihadapanmu. Menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa kamu pergi? Padahal beberapa hari sebelumnya kamu memintaku untuk memelukmu?
                 
Mengapa kamu yang pergi terlebih dahulu? Ingatkah janji kita dulu? Di antara remang lampu dan jeda kecupmu di puncak keningku, bahwa kamu akan merenta dan menua bersamaku. Melawan kejam dan sadisnya dunia, melawan waktu  untuk tetap menjadi sandaranku. Tapi, aku memang tak pernah mendengarmu berjanji kepadaku untuk melawan waktu menerjang detik yang berdetak untuk menghentikan takdir yang terlukis. Nyatanya, bahagiaku bukan pada umur panjangku melainkan pada umur panjang milikmu. Nyatanya, cinta hanya mengekalkan rasaku padamu, bukan ragamu padaku. Lalu? Kepada cinta aku bisa apa selain berharap kembali. Berharap  ada ruang  yang cukup luas dalam dimensi yang berbeda untuk kita, hidup selamanya di dalamnya.


Lihat aku sekarang. Setiap malam, aku duduk di kursi kayu yang kamu buat sendiri dulu. Duduk di teras rumah, memandangi langit. Menikmati angin, menikmati dingin, menghabiskan waktu dengan kenangan yang menyisa, tanpa kamu. Hanya dapat merapal doa dalam barisan sujudku setiap malam hanya untuk memeluk kamu di surga. Berusaha menghangatkanmu dalam rengkuhan doa yang menumpuk. Semoga Tuhan menyampaikan semuanya padamu. Esok, jika detikku telah habis menjejak di bumi, semoga waktu memperkenankan kita untuk bertemu. Mengulang semua yang telah terjadi dalam hukum yang tak pernah aku tahu. Keabadian.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML