Kala itu aku menunggumu
di sini, Ponte Vecchio. Memandangi aliran tenang sungai Fiume Arno yang
membelah kota ini, juga bangunan-bangunan tua yang sebagian warnanya telah
kusam dan memudar. Namun bagaimanapun juga, aku begitu mencintai kota Florence.
Karena Tuhan telah berbaik hati menitipkan dan mendewasakan aku dan kau di sini.
Sama seperti saat ini,
musim gugur yang membuat pohon pohon maple menguning di sepanjang jalan. Lalu mengugurkan daunnya satu demi
satu dengan anggun seirama hembusan angin dingin musim gugur. Seketika itu aku
mengingat perkataanmu dulu, ketika kau mengambil dan mengamati lamat-lamat daun maple, kemudian berkata, “Keyla, kau tahu? Semua akan berubah,
bermetafosa seperti daun ini. Dulunya daun ini hijau, menguning, merah,
kecokelatan lalu gugur meninggalkan rantingnya. Manusia pun.” Dulu aku tak
pernah mengerti maksudmu, tapi saat ini, aku mengerti. Kau menunjukkannya tepat
di depan mataku.
Semuanya
akan mengalami perubahan. Tidak ada yang statis. Semuanya diciptakan untuk
dihidupkan lalu dimatikan. Semuanya yang pernah ada dan tinggal pada akhirnya
juga akan pergi. Seperti kamu.
Kamu datang dengan
napas terengah, entah aku belum sempat menanyakan padamu, mengapa kau terlihat
begitu letih dan gugup. Tatapanmu membungkam mulutku. Bagaimana tidak, mata
elangmu selalu berhasil melumpuhkan kinerja otakku. Kita sudah tidak saling
berkomunikasi sejak kejadian 3 bulan sebelumnya, ketika perempuan jalang itu
menampar pipiku tepat di depan matamu, sedangkan aku menunggu reaksimu untuk
membelaku, namun kau malah menyuruhku untuk pergi agar suasananya meredam.
Tidak selamanya aku dapat memaafkan kesalahanmu meski kau adalah sahabat
terbaikku. Maksudku, sahabat terbaikku sebelum peristiwa itu.
Aku menunggumu bersuara,
apapun aku ingin kau segera berbicara saat itu, karena sebenarnya aku
merindukan suaramu. Kau menatap aku mengerjap. Saling menganalisa, meluruhkan
segala kecamuk sebelum kata yang terucap menjadi pedang. Aku menarik napas
dalam, membangun benteng dingin secepat kilat agar kau tahu, kau melukai aku
waktu itu.
“Maaf….” Suaramu
tercekat. Aku pun. Menunggu apa yang kau katakan selanjutnya. Namun detik
berikutnya, kedua lenganmu telah memelukku, aku dapat merasakan hangat yang
menjalari seluruh tubuhku ketika mendengar detak jantungmu yang memenuhi
lorong-lorong telingaku. Pertahananku melemah dan luruh. Sometimes you worth to melting for, right? Ku beri tahu jika
sekarang kau ada di sini, sehebat itu kamu di hidupku.
Aku melepaskan pelukmu,
usahaku begitu besar waktu itu, ketika jiwaku masih ingin berada pada genggaman
erat tubuhmu, dan logikaku menolak untuk menerimanya. Aku menampar pipimu.
Hanya sekali. Meski itu belum cukup untuk menjelaskan betapa aku merasa harga
diriku di injak-injak oleh perempuan jalang milikmu itu.
“Silakan kalau mau
tampar lagi, aku pantas menerimanya, Key. Selagi aku masih berada di hadapanmu
detik ini. Jangan sampai menyesal kalau kau tak dapat menemukan aku lagi untuk
mengungkapkan segala kekecewaan dan sakitmu pada aku yang terlalu brengsek
untuk menjadi sahabatmu.”
Betapa muaknya aku pada
keadaan saat itu. Ketika batinku berlomba-lomba meneriaki riuh agar aku
memelukmu sekali lagi, dan mengatakan apapun yang selama ini tidak pernah kau
tahu. Dan logika yang tak ingin menjadi tawanan permintaan maafmu menyuruhku untuk
mengeluarkan sumpah serapah yang harus aku keluarkan saat kejadian itu. Dan
akhirnya aku memilih terdiam, meski tubuhku bergetar.
“Keyla, sungguh aku
meminta maaf. Iya, memang aku terlalu pengecut menjadi laki-laki yang harusnya
menjagamu. Berbicaralah Keyla, keluarkan apapun yang ingin kau katakan. Jangan
terdiam seperti ini.” Kau merangkum kedua pipiku dengan kesepuluh jemarimu. Jantungku
mulai tak berfungsi, kinerja otakku terhenti. Aku kalah.
Pandangan mataku mulai
memburam dan setengah detik kemudian satu per satu bulir-bulir mataku jatuh
seperti daun musim gugur kala itu. Aku memelukmu. Lebih erat dari sebelumnya.
Terbenam dalam rengkuhanmu, menangis terisak.
“Aku…rindu… kamu, Ken.”
Kalimatku terbata, entah kamu dapat mendengarnya atau tidak, kamu mengangguk di
balik punggungku.
Kali itu, kamu
melepaskan aku dalam pelukmu, lalu kau terlihat tergesa setelah menilik jam
tanganmu.
“Maaf, harusnya aku
mengatakan ini jauh sebelum ini.”
“Apa maksudmu Ken?”
“Aku harus pergi…”
“Ke…mana?” Ada rasa yang menyelinap pada dadaku saat itu. Lebih dari resah,
entah apa namanya.
“Canillo, kota kecil
barat daya Eropa. Ayah dan ibuku cerai. Dan ayahku memaksaku untuk tinggal
bersamanya di ujung benua ini. Aku harap kau….”
Aku menamparnya lagi
sebelum Ia melanjutkan kata-katanya. Baru saja ia datang dan pergi lagi? Oke,
mungkin akupun sahabat yang buruk untuknya, aku tak tahu jika kedua orang
tuanya cerai. Tapi aku belum bisa menerimanya.
“Keenan ! Aku pikir
setalah ini kau akan berbuat manis padaku setelah kajadian tiga bulan lalu, aku
pikir kau akan menuruti semua permintaanku, aku pikir kau akan menjagaku
seperti janjimu dulu, tapi apa?! Kau pergi setelah ini? Di kota yang tak pernah
sekalipun aku dengar namanya?!”
“Ini bukan kemauanku,
Keyla!”
“Apa kau akan berjanji
akan kembali ke kota ini dan menemuiku?!” Nadaku meninggi, mataku mencari
pembenaran di kedua mata elangmu, namun kau memancarkan keraguan di dalamnya.
Dan jawaban di matamu, membunuhku detik itu juga.
Ada yang mendorongku
kuat untuk meninggalkanmu, bahkan sebelum kau mengatakan selamat tinggal
padaku. Aku melangkah lebar, hampir berlari, membawa segala kecewa yang telah
kau buat. Kau berteriak, namun tak kunjung mengejarku. Aku berharap, tak ada
kita yang ditakdirkan sebagai hanya sepasang sahabat.
Keenan, ini sudah dua
puluh tahun lamanya kau tak berkunjung di kota ini. Jembatan yang kita pijak
dulu sudah terlalu tua untuk menunggu kehadiranmu di sini. Tak ada yang tahu
selain aku tentang kepindahanmu ke negeri antah berantah itu. Dan aku dulu yang
tak peduli mengenai tempat tinggalmu di sana membuatku tak dapat mengirimimu
surat. Setidaknya, aku memelukmu lebih lama waktu itu, agar aroma tubuhmu
selalu lekat dalam indra penciumanku, agar aku dapat mengingat ingat bagaimana
irama detak jantungmu, atau napasmu yang hangat melewati pipiku. Tak ada tempat
mengenang yang lebih menyakitkan seumur hidupku selain jembatan ini. Tak
selamanya jembatan mendekatkan jarak. Nyatanya jembatan ini membantu kita untuk
saling menjauh.
Keenan, harusnya aku
lebih berani mengungkapkan perasaanku padamu. Mungkin, itu dapat menahanmu untuk
berada lebih lama di sisiku. Mungkin jika aku melakukannya, bahagiaku setara
dengan bahagiaku mendapatkan surga.
Keenan, jika kehidupan
tak memberikan kita kesempatan untuk bersama. Aku berharap kematian yang
melakukannya.
***
Langit musim gugur
kelabu, daun daun maple luruh berguguran di terpa angin. Burung-burung merpati
membisu, hinggap ke sana ke mari mencari biji yang biasanya berterbaran di
antara dedaunan yang telah gugur. Jembatan tua kehilangan tuannya, sang nona
telah pergi menemui laki-laki impiannya.
Teriakan ibu-ibu
setengah baya memecahkan keheningan di
kota kecil itu. Matanya terbelalak melihat mayat perempuan di sungai Arno, “Ya Tuhan, tolong ! Ada perempuan mengapung di
sungai itu!”
Keenan,
jika kehidupan tak memberikan kita kesempatan untuk bersama. Aku berharap
kematian yang melakukannya.