Rabu, 21 Mei 2014

B E S T I E S

Udah lama ya, saya nggak nge-post cerita. Iya, merasa bersalah dan nggak becus kalo ide ngadat begini. Tapi, ya sudahlah hari ini saya ingin menceritakan "The beloved best friend" saya. ini fotonya !


kiri-kanan : Hanny, Salma, Lina, Saya     
Oke, kita mulai dari mana? kalau dari perkenalan sepertinya sampai kami bertiga kewong a.k.a kawin terus punya anak nggak bakalan selesai. Saya cuma mau cerita, sedikit perjuangan kami untuk saling memberi kebahagiaan di hari bahagia kami (baca : ulang tahun)

Read More




Minggu, 11 Mei 2014

Di Atas Sungai Arno

http://weheartit.com/pauliinahemuli?page=2&before=114028808



Kala itu aku menunggumu di sini, Ponte Vecchio. Memandangi aliran tenang sungai Fiume Arno yang membelah kota ini, juga bangunan-bangunan tua yang sebagian warnanya telah kusam dan memudar. Namun bagaimanapun juga, aku begitu mencintai kota Florence. Karena Tuhan telah berbaik hati menitipkan dan mendewasakan aku dan kau di sini.

Sama seperti saat ini, musim gugur yang membuat pohon pohon maple menguning di sepanjang  jalan. Lalu mengugurkan daunnya satu demi satu dengan anggun seirama hembusan angin dingin musim gugur. Seketika itu aku mengingat perkataanmu dulu, ketika kau mengambil dan mengamati lamat-lamat  daun maple, kemudian berkata, “Keyla, kau tahu? Semua akan berubah, bermetafosa seperti daun ini. Dulunya daun ini hijau, menguning, merah, kecokelatan lalu gugur meninggalkan rantingnya. Manusia pun.” Dulu aku tak pernah mengerti maksudmu, tapi saat ini, aku mengerti. Kau menunjukkannya tepat di depan mataku.

Semuanya akan mengalami perubahan. Tidak ada yang statis. Semuanya diciptakan untuk dihidupkan lalu dimatikan. Semuanya yang pernah ada dan tinggal pada akhirnya juga akan pergi. Seperti kamu.

Kamu datang dengan napas terengah, entah aku belum sempat menanyakan padamu, mengapa kau terlihat begitu letih dan gugup. Tatapanmu membungkam mulutku. Bagaimana tidak, mata elangmu selalu berhasil melumpuhkan kinerja otakku. Kita sudah tidak saling berkomunikasi sejak kejadian 3 bulan sebelumnya, ketika perempuan jalang itu menampar pipiku tepat di depan matamu, sedangkan aku menunggu reaksimu untuk membelaku, namun kau malah menyuruhku untuk pergi agar suasananya meredam. Tidak selamanya aku dapat memaafkan kesalahanmu meski kau adalah sahabat terbaikku. Maksudku, sahabat terbaikku sebelum peristiwa itu.

Aku menunggumu bersuara, apapun aku ingin kau segera berbicara saat itu, karena sebenarnya aku merindukan suaramu. Kau menatap aku mengerjap. Saling menganalisa, meluruhkan segala kecamuk sebelum kata yang terucap menjadi pedang. Aku menarik napas dalam, membangun benteng dingin secepat kilat agar kau tahu, kau melukai aku waktu itu.

“Maaf….” Suaramu tercekat. Aku pun. Menunggu apa yang kau katakan selanjutnya. Namun detik berikutnya, kedua lenganmu telah memelukku, aku dapat merasakan hangat yang menjalari seluruh tubuhku ketika mendengar detak jantungmu yang memenuhi lorong-lorong telingaku. Pertahananku melemah dan luruh. Sometimes you worth to melting for, right? Ku beri tahu jika sekarang kau ada di sini, sehebat itu kamu di hidupku.

Aku melepaskan pelukmu, usahaku begitu besar waktu itu, ketika jiwaku masih ingin berada pada genggaman erat tubuhmu, dan logikaku menolak untuk menerimanya. Aku menampar pipimu. Hanya sekali. Meski itu belum cukup untuk menjelaskan betapa aku merasa harga diriku di injak-injak oleh perempuan jalang milikmu itu.

“Silakan kalau mau tampar lagi, aku pantas menerimanya, Key. Selagi aku masih berada di hadapanmu detik ini. Jangan sampai menyesal kalau kau tak dapat menemukan aku lagi untuk mengungkapkan segala kekecewaan dan sakitmu pada aku yang terlalu brengsek untuk menjadi sahabatmu.”

Betapa muaknya aku pada keadaan saat itu. Ketika batinku berlomba-lomba meneriaki riuh agar aku memelukmu sekali lagi, dan mengatakan apapun yang selama ini tidak pernah kau tahu. Dan logika yang tak ingin menjadi tawanan permintaan maafmu menyuruhku untuk mengeluarkan sumpah serapah yang harus aku keluarkan saat kejadian itu. Dan akhirnya aku memilih terdiam, meski tubuhku bergetar.

“Keyla, sungguh aku meminta maaf. Iya, memang aku terlalu pengecut menjadi laki-laki yang harusnya menjagamu. Berbicaralah Keyla, keluarkan apapun yang ingin kau katakan. Jangan terdiam seperti ini.” Kau merangkum kedua pipiku dengan kesepuluh jemarimu. Jantungku mulai tak berfungsi, kinerja otakku terhenti. Aku kalah.

Pandangan mataku mulai memburam dan setengah detik kemudian satu per satu bulir-bulir mataku jatuh seperti daun musim gugur kala itu. Aku memelukmu. Lebih erat dari sebelumnya. Terbenam dalam rengkuhanmu, menangis terisak.

“Aku…rindu… kamu, Ken.” Kalimatku terbata, entah kamu dapat mendengarnya atau tidak, kamu mengangguk di balik punggungku.
Kali itu, kamu melepaskan aku dalam pelukmu, lalu kau terlihat tergesa setelah menilik jam tanganmu.

“Maaf, harusnya aku mengatakan ini jauh sebelum ini.”

“Apa maksudmu Ken?”

“Aku harus pergi…”

“Ke…mana?” Ada rasa yang menyelinap pada dadaku saat itu. Lebih dari resah, entah apa namanya.

“Canillo, kota kecil barat daya Eropa. Ayah dan ibuku cerai. Dan ayahku memaksaku untuk tinggal bersamanya di ujung benua ini. Aku harap kau….”

Aku menamparnya lagi sebelum Ia melanjutkan kata-katanya. Baru saja ia datang dan pergi lagi? Oke, mungkin akupun sahabat yang buruk untuknya, aku tak tahu jika kedua orang tuanya cerai. Tapi aku belum bisa menerimanya.

“Keenan ! Aku pikir setalah ini kau akan berbuat manis padaku setelah kajadian tiga bulan lalu, aku pikir kau akan menuruti semua permintaanku, aku pikir kau akan menjagaku seperti janjimu dulu, tapi apa?! Kau pergi setelah ini? Di kota yang tak pernah sekalipun aku dengar namanya?!”

“Ini bukan kemauanku, Keyla!”

“Apa kau akan berjanji akan kembali ke kota ini dan menemuiku?!” Nadaku meninggi, mataku mencari pembenaran di kedua mata elangmu, namun kau memancarkan keraguan di dalamnya. Dan jawaban di matamu, membunuhku detik itu juga.

Ada yang mendorongku kuat untuk meninggalkanmu, bahkan sebelum kau mengatakan selamat tinggal padaku. Aku melangkah lebar, hampir berlari, membawa segala kecewa yang telah kau buat. Kau berteriak, namun tak kunjung mengejarku. Aku berharap, tak ada kita yang ditakdirkan sebagai hanya sepasang sahabat.

Keenan, ini sudah dua puluh tahun lamanya kau tak berkunjung di kota ini. Jembatan yang kita pijak dulu sudah terlalu tua untuk menunggu kehadiranmu di sini. Tak ada yang tahu selain aku tentang kepindahanmu ke negeri antah berantah itu. Dan aku dulu yang tak peduli mengenai tempat tinggalmu di sana membuatku tak dapat mengirimimu surat. Setidaknya, aku memelukmu lebih lama waktu itu, agar aroma tubuhmu selalu lekat dalam indra penciumanku, agar aku dapat mengingat ingat bagaimana irama detak jantungmu, atau napasmu yang hangat melewati pipiku. Tak ada tempat mengenang yang lebih menyakitkan seumur hidupku selain jembatan ini. Tak selamanya jembatan mendekatkan jarak. Nyatanya jembatan ini membantu kita untuk saling menjauh.

Keenan, harusnya aku lebih berani mengungkapkan perasaanku padamu. Mungkin, itu dapat menahanmu untuk berada lebih lama di sisiku. Mungkin jika aku melakukannya, bahagiaku setara dengan bahagiaku mendapatkan surga.
Keenan, jika kehidupan tak memberikan kita kesempatan untuk bersama. Aku berharap kematian yang melakukannya. 
***
Langit musim gugur kelabu, daun daun maple luruh berguguran di terpa angin. Burung-burung merpati membisu, hinggap ke sana ke mari mencari biji yang biasanya berterbaran di antara dedaunan yang telah gugur. Jembatan tua kehilangan tuannya, sang nona telah pergi menemui laki-laki impiannya.
Teriakan ibu-ibu setengah baya memecahkan  keheningan di kota kecil itu. Matanya terbelalak melihat mayat perempuan di sungai Arno,  “Ya Tuhan, tolong ! Ada perempuan mengapung di sungai itu!”
Keenan, jika kehidupan tak memberikan kita kesempatan untuk bersama. Aku berharap kematian yang melakukannya. 

Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML