Jumat, 19 September 2014

-



Kamu tak perlu repot-repot berdandan rapi,
menyemprotkan parfum banyak-banyak, atau memotong cepak rambut keritingmu
Dengan sweater abu-abumu, dan jeans belelmu itu, sudah kau buat aku jatuh sejatuh jatuhnya.
Asalkan, kau pasang lengkung senyum yang kekal pada bibir tipismu.
Bersamaku, kau tak perlu berhenti merokok
Sulutlah batang-batang nikotin itu semamumu, sesukamu.
Satu hari nanti, aku adalah satu-satunya hal yang paling membuatmu candu.
 

Read More




Sabtu, 12 Juli 2014

Aku Pulang



-Revan-
              
Seandainya setiap pulau mempunyai jembatan yang cukup dekat untuk menghubungkan pulaumu diantaranya, saat ini aku sudah berada dibalik kemudi mobil dengan kecepatan tinggi untuk menemuimu. Tak peduli  betapa letihnya aku sekarang, agar aku bisa memelukmu seperti waktu itu sebelum jarak melempar kita sejauh ini.
               
Tapi nyatanya aku masih berada di kantor, duduk di ruang kerja sambil berandai-andai bodoh seperti yang baru saja aku lakukan. Meski jarum jam telah menunjukkan pukul 11 malam.
               
 Aku baru saja membaca PM BBM mu ketika hendak mengirimkan sebuah chat, meski ini sudah terlalu malam. Kamu menuliskan “miss you” di sana dan gelanyar hangat langsung memenuhi syaraf-syaraf nadiku. Mungkin kamu sudah terlelap di sana, melihat chatku 10 menit yang lalu belum kunjung kamu balas.

Jika sudah begini, aku hanya bisa memandangi wajahmu lewat foto-fotomu yang hampir separuhnya memenuhi galeriku, dan yang terjadi adalah, aku semakin ingin menemuimu.
               
 Eriska, sebelum denganmu, rindu tak pernah sebrengsek ini.
               
 Apa yang lebih hebat rasanya, ketika rindu hanya sebatas kata dan tak kunjung menemui titik pertemuan?
               
Hampir saja aku memencet tombol turn off laptopku sebelum satu email masuk entah dari siapa. Kamu kah itu Eriska?
               
 Sial ! Email dari si bos ! Aku hanya tersenyum kecut membacanya. Entah aku harus bahagia atau kesal dengan isi email ini. Si bos memintaku untuk menangani sebuah proyek cukup besar untuk beberapa bulan ke depan. Artinya, aku harus menunda kepulanganku ke Semarang. Ya Tuhan...

And I’ve been keeping all the letters 
that I wrote to you
Each one a line or two
I'm fine baby, how are you?
Well I would send them but I know 
that it's just not enough
My words were cold and flat
And you deserve more than that.
               
Sejenak, kotak bludru berwarna merah yang aku simpan di laci mengalihkan perhatianku. Sebuah cincin yang akan aku kenakan di jari manis Eriska setiba aku di rumahnya nanti.
Eriska, kali ini aku berjanji, aku akan membuatmu bahagia, sesuatu yang belum pernah dilakukan laki-laki itu padamu.

-Eriska-
                
 Aku menahan napas, tepat saat melihat fotomu di instagramku. Debaran yang masih sama setiap aku melihat binar matamu dan lengkung senyummu yang tak terlalu kentara itu. Suara beratmu yang selintas terngiang di lorong-lorong telingaku ketika melihat wajahmu. Atau mungkin yang lebih hebat lagi, percakapan panjang kita setiap malam, tawamu yang pecah namun berirama, atau bahkan pertengkaran kita setahun yang lalu. Semuanya melintas, melesat silih berganti secepat satuan cahaya. Dan segala kenangan lima tahun kita, masih bercokol kuat di setiap sudut syaraf-syaraf otakku.
                
Kamu, laki-laki taurus berkepala batu yang hampir mengacaukan tatanan sempurna hidup perempuan virgo sebelum dia datang di kehidupanku, menarik paksa aku dalam kegilaan duniamu, agar tetap waras. Dia bisa, dia mampu membuatku setidaknya berpaling sedikit darimu. Namun nyatanya, sebanyak apapun aku menyangkal, separuh aku masih memilih menjadi gila karenamu.
               
Jadi, sekarang aku harus apa? Aku sudah terlalu sering membohongi diriku. Seribu sumpah serapahku padamu, tak membuat rindu ini lantas berkurang. Siapa yang patut disalahkan? Cinta atau ego yang selalu ingin dimenangkan?
                
Kali ini aku mengela napas, chat bbm darinya menghempaskan aku dari kenyataan. Aku sedang diambang batas. Kegilaan dan kewarasan.
               
 “I miss you too....”
               
Aku menggigit bibir, ketika membaca pesannya dari notif handphoneku. Ia mengira, PM ku untuknya.
                
Apa yang lebih resah, ketika rindu kehilangan tuannya?
                
Katakanlah aku memang jahat, tapi jika bisa memilih. Aku akan mencintai Revan daripada kamu. Nyatanya, cinta yang kumiliki tak mengenal santun.
               
Sebenarnya, aku ingin melepasnya malam itu. Ketika ia mengabarkan kepindahannya ke Kalimantan. Alasan terbaik untuk membiarkannya pergi. Karena sebenarnya, aku hanya ingin melepas, sebelum kami saling melukai.
               
Ia tetap pada pendiriannya. Berjuang mempertahankan hubungan bodoh ini. Karena rasa yang ia miliki tak sama dengan rasa yang ku genggam. Hatiku masih merekat kuat pada sosokmu. Aku dan dia mengkhawatirkan dua hal yang berbeda. Dia dengan jarak, dan aku pada rasa.
                
Waktu 8 bulan sudah terlalu cukup lama untuk mengukir luka tak kasat mata. Aku lelah berbohong, memutuskan meruntuhkan mimpi yang ia bangun sendiri.  Hingga akhirnya, aku menangis sejadi jadinya di peluknya, mengatakan yang sebenarnya, yang sejujur jujurnya. Aku masih mencintai laki-laki yang meninggalkanku. Kamu.
                
Ia terkesiap, terdiam. Lama. Aku menunggunya bersuara.
               
“Aku akan nungguin kamu. Sampai kamu benar-benar melupakannya.”
                 
Aku yang mulai tercekat, tak mengerti. Meski lewat manik matanya, ada fakta tak terbantahkan bahwa pengakuanku menyayat hatinya.
               
 “Jangan bodoh, Revan. Itu akan semakin nyakitin hati kamu dan nggak akan berhasil.”
                
 “Aku yakin. Aku bisa membahagiakan kamu. Dan kamu akan melupakan dia.”
               
 “Aku....nggak janji.”
               
 “Tapi aku yakin. Kamu masih nerima aku kan, Eriska? Karena yang pergi akan tergantikan dengan siapa yang ada. "
               
 Dan sepertinya itu bukan kamu, Revan.               

Kenyataannya, waktu dan keberadaan Revan, belum mampu membenamkan seluruhmu pada aku. Tak satupun partikel dirimu yang terlepas hingga detik ini.
               
Seharusnya, aku tak memaksa diriku sendiri untuk menerimanya. Tentang duniamu yang begitu luas dalam aku, dan ia terlalu kecil untuk memenuhi semua itu menggantikanmu.
               
Revan, aku ingin kepulanganmu dipercepat. Aku ingin menyelesaikan semuanya yang belum terselesaikan. Sebelum semuanya rumit dan terlalu jauh. Aku pun ingin pulang. Mencari rumah yang sebenarnya. Mungkin bukan kamu atau laki-laki brengsek itu. Aku ingin kita sama-sama pulang, melalui jalan masing-masing. Memperbaiki akhir cerita agar menemukan bahagia di dalamnya.

Read More




Rabu, 21 Mei 2014

B E S T I E S

Udah lama ya, saya nggak nge-post cerita. Iya, merasa bersalah dan nggak becus kalo ide ngadat begini. Tapi, ya sudahlah hari ini saya ingin menceritakan "The beloved best friend" saya. ini fotonya !


kiri-kanan : Hanny, Salma, Lina, Saya     
Oke, kita mulai dari mana? kalau dari perkenalan sepertinya sampai kami bertiga kewong a.k.a kawin terus punya anak nggak bakalan selesai. Saya cuma mau cerita, sedikit perjuangan kami untuk saling memberi kebahagiaan di hari bahagia kami (baca : ulang tahun)

Read More




Minggu, 11 Mei 2014

Di Atas Sungai Arno

http://weheartit.com/pauliinahemuli?page=2&before=114028808



Kala itu aku menunggumu di sini, Ponte Vecchio. Memandangi aliran tenang sungai Fiume Arno yang membelah kota ini, juga bangunan-bangunan tua yang sebagian warnanya telah kusam dan memudar. Namun bagaimanapun juga, aku begitu mencintai kota Florence. Karena Tuhan telah berbaik hati menitipkan dan mendewasakan aku dan kau di sini.

Sama seperti saat ini, musim gugur yang membuat pohon pohon maple menguning di sepanjang  jalan. Lalu mengugurkan daunnya satu demi satu dengan anggun seirama hembusan angin dingin musim gugur. Seketika itu aku mengingat perkataanmu dulu, ketika kau mengambil dan mengamati lamat-lamat  daun maple, kemudian berkata, “Keyla, kau tahu? Semua akan berubah, bermetafosa seperti daun ini. Dulunya daun ini hijau, menguning, merah, kecokelatan lalu gugur meninggalkan rantingnya. Manusia pun.” Dulu aku tak pernah mengerti maksudmu, tapi saat ini, aku mengerti. Kau menunjukkannya tepat di depan mataku.

Semuanya akan mengalami perubahan. Tidak ada yang statis. Semuanya diciptakan untuk dihidupkan lalu dimatikan. Semuanya yang pernah ada dan tinggal pada akhirnya juga akan pergi. Seperti kamu.

Kamu datang dengan napas terengah, entah aku belum sempat menanyakan padamu, mengapa kau terlihat begitu letih dan gugup. Tatapanmu membungkam mulutku. Bagaimana tidak, mata elangmu selalu berhasil melumpuhkan kinerja otakku. Kita sudah tidak saling berkomunikasi sejak kejadian 3 bulan sebelumnya, ketika perempuan jalang itu menampar pipiku tepat di depan matamu, sedangkan aku menunggu reaksimu untuk membelaku, namun kau malah menyuruhku untuk pergi agar suasananya meredam. Tidak selamanya aku dapat memaafkan kesalahanmu meski kau adalah sahabat terbaikku. Maksudku, sahabat terbaikku sebelum peristiwa itu.

Aku menunggumu bersuara, apapun aku ingin kau segera berbicara saat itu, karena sebenarnya aku merindukan suaramu. Kau menatap aku mengerjap. Saling menganalisa, meluruhkan segala kecamuk sebelum kata yang terucap menjadi pedang. Aku menarik napas dalam, membangun benteng dingin secepat kilat agar kau tahu, kau melukai aku waktu itu.

“Maaf….” Suaramu tercekat. Aku pun. Menunggu apa yang kau katakan selanjutnya. Namun detik berikutnya, kedua lenganmu telah memelukku, aku dapat merasakan hangat yang menjalari seluruh tubuhku ketika mendengar detak jantungmu yang memenuhi lorong-lorong telingaku. Pertahananku melemah dan luruh. Sometimes you worth to melting for, right? Ku beri tahu jika sekarang kau ada di sini, sehebat itu kamu di hidupku.

Aku melepaskan pelukmu, usahaku begitu besar waktu itu, ketika jiwaku masih ingin berada pada genggaman erat tubuhmu, dan logikaku menolak untuk menerimanya. Aku menampar pipimu. Hanya sekali. Meski itu belum cukup untuk menjelaskan betapa aku merasa harga diriku di injak-injak oleh perempuan jalang milikmu itu.

“Silakan kalau mau tampar lagi, aku pantas menerimanya, Key. Selagi aku masih berada di hadapanmu detik ini. Jangan sampai menyesal kalau kau tak dapat menemukan aku lagi untuk mengungkapkan segala kekecewaan dan sakitmu pada aku yang terlalu brengsek untuk menjadi sahabatmu.”

Betapa muaknya aku pada keadaan saat itu. Ketika batinku berlomba-lomba meneriaki riuh agar aku memelukmu sekali lagi, dan mengatakan apapun yang selama ini tidak pernah kau tahu. Dan logika yang tak ingin menjadi tawanan permintaan maafmu menyuruhku untuk mengeluarkan sumpah serapah yang harus aku keluarkan saat kejadian itu. Dan akhirnya aku memilih terdiam, meski tubuhku bergetar.

“Keyla, sungguh aku meminta maaf. Iya, memang aku terlalu pengecut menjadi laki-laki yang harusnya menjagamu. Berbicaralah Keyla, keluarkan apapun yang ingin kau katakan. Jangan terdiam seperti ini.” Kau merangkum kedua pipiku dengan kesepuluh jemarimu. Jantungku mulai tak berfungsi, kinerja otakku terhenti. Aku kalah.

Pandangan mataku mulai memburam dan setengah detik kemudian satu per satu bulir-bulir mataku jatuh seperti daun musim gugur kala itu. Aku memelukmu. Lebih erat dari sebelumnya. Terbenam dalam rengkuhanmu, menangis terisak.

“Aku…rindu… kamu, Ken.” Kalimatku terbata, entah kamu dapat mendengarnya atau tidak, kamu mengangguk di balik punggungku.
Kali itu, kamu melepaskan aku dalam pelukmu, lalu kau terlihat tergesa setelah menilik jam tanganmu.

“Maaf, harusnya aku mengatakan ini jauh sebelum ini.”

“Apa maksudmu Ken?”

“Aku harus pergi…”

“Ke…mana?” Ada rasa yang menyelinap pada dadaku saat itu. Lebih dari resah, entah apa namanya.

“Canillo, kota kecil barat daya Eropa. Ayah dan ibuku cerai. Dan ayahku memaksaku untuk tinggal bersamanya di ujung benua ini. Aku harap kau….”

Aku menamparnya lagi sebelum Ia melanjutkan kata-katanya. Baru saja ia datang dan pergi lagi? Oke, mungkin akupun sahabat yang buruk untuknya, aku tak tahu jika kedua orang tuanya cerai. Tapi aku belum bisa menerimanya.

“Keenan ! Aku pikir setalah ini kau akan berbuat manis padaku setelah kajadian tiga bulan lalu, aku pikir kau akan menuruti semua permintaanku, aku pikir kau akan menjagaku seperti janjimu dulu, tapi apa?! Kau pergi setelah ini? Di kota yang tak pernah sekalipun aku dengar namanya?!”

“Ini bukan kemauanku, Keyla!”

“Apa kau akan berjanji akan kembali ke kota ini dan menemuiku?!” Nadaku meninggi, mataku mencari pembenaran di kedua mata elangmu, namun kau memancarkan keraguan di dalamnya. Dan jawaban di matamu, membunuhku detik itu juga.

Ada yang mendorongku kuat untuk meninggalkanmu, bahkan sebelum kau mengatakan selamat tinggal padaku. Aku melangkah lebar, hampir berlari, membawa segala kecewa yang telah kau buat. Kau berteriak, namun tak kunjung mengejarku. Aku berharap, tak ada kita yang ditakdirkan sebagai hanya sepasang sahabat.

Keenan, ini sudah dua puluh tahun lamanya kau tak berkunjung di kota ini. Jembatan yang kita pijak dulu sudah terlalu tua untuk menunggu kehadiranmu di sini. Tak ada yang tahu selain aku tentang kepindahanmu ke negeri antah berantah itu. Dan aku dulu yang tak peduli mengenai tempat tinggalmu di sana membuatku tak dapat mengirimimu surat. Setidaknya, aku memelukmu lebih lama waktu itu, agar aroma tubuhmu selalu lekat dalam indra penciumanku, agar aku dapat mengingat ingat bagaimana irama detak jantungmu, atau napasmu yang hangat melewati pipiku. Tak ada tempat mengenang yang lebih menyakitkan seumur hidupku selain jembatan ini. Tak selamanya jembatan mendekatkan jarak. Nyatanya jembatan ini membantu kita untuk saling menjauh.

Keenan, harusnya aku lebih berani mengungkapkan perasaanku padamu. Mungkin, itu dapat menahanmu untuk berada lebih lama di sisiku. Mungkin jika aku melakukannya, bahagiaku setara dengan bahagiaku mendapatkan surga.
Keenan, jika kehidupan tak memberikan kita kesempatan untuk bersama. Aku berharap kematian yang melakukannya. 
***
Langit musim gugur kelabu, daun daun maple luruh berguguran di terpa angin. Burung-burung merpati membisu, hinggap ke sana ke mari mencari biji yang biasanya berterbaran di antara dedaunan yang telah gugur. Jembatan tua kehilangan tuannya, sang nona telah pergi menemui laki-laki impiannya.
Teriakan ibu-ibu setengah baya memecahkan  keheningan di kota kecil itu. Matanya terbelalak melihat mayat perempuan di sungai Arno,  “Ya Tuhan, tolong ! Ada perempuan mengapung di sungai itu!”
Keenan, jika kehidupan tak memberikan kita kesempatan untuk bersama. Aku berharap kematian yang melakukannya. 

Read More




Minggu, 20 April 2014

Je'adore




http://weheartit.com/ArishaJazzy



Di penghujung Desember, selalu menjadi bulan yang berteman dengan hujan. Mereka turun seenaknya, seakan-akan semesta ini adalah rumah abadinya. Meski bagi pemuja hujan selalu merindukan rintiknya, mengamati dibalik jendela sambil bersembunyi dibalik kehangatan, entah pakaian atau selimutnya. Bagiku, mereka lucu. Bagaimana bisa mereka mengaku menyukai hujan, bila mereka selalu berteduh dan enggan menikmati dinginnya hujan ketika satu per satu rintiknya turun menghujam tanah melalui mata mereka. Untungnya, aku bukan salah satu dari para pemuja hujan. Buktinya kini aku sedang duduk manis, mencari kehangatan di dalam sebuah kafe.

Nama kafenya Je'adore. Aku selalu suka ke sini. Entah bersama teman ataupun sendirian. Sudah tiga bulan aku sering mampir di kafe ini. Terkadang menghabiskan waktu sendirian ataupun mengerjakan tugas kuliah yang selalu membuatku frustasi dengan deadlinenya.

Jika ada yang bertanya mengapa aku lebih memilih ke kafe ini daripada kafe yang lain, aku hanya tersenyum. Karena aku benar-benar tidak tahu jawabannya. Kafe ini tidak terlalu istimewa. Seperti kebanyakan lainnya, kafe ini mempunyai dekorasi unik sebagai ciri khasnya. Dinding-dindingnya penuh dengan foto poster penyanyi era 70an hingga 80an, seperti Elvis Presley, Jon Bon Jovi, John Lennon, The Beatles, dan sebagian besar lainnya aku tidak tahu.

Je'adore selalu mampu membuatku nyaman dengan suasananya. Lebih nyaman ketimbang kamarku sendiri. Walaupun banyak yang bilang, rumah selalu menjadi pilihan pertama untuk kenyamanannya. Bagiku, rumah tidak selalu tempat yang kini kau tinggali selama ini. Beberapa pujangga mengatakan rumah bisa saja bukan tempat, melainkan orang. Bukankah begitu? Seperti kafe ini, yang sudah aku anggap rumah kedua bagiku. 

Lantainya terbuat dari kayu, setiap aku melangkahkan kaki lantainya selalu berderak. Itu sama sekali tak mengganggu. Malah, menjadi salah satu alasan bagiku untuk merindukan kafe ini. Oh ya, satu lagi yang aku sukai , begitu kau masuk membuka pintunya, aroma tumbukan kopi asli menguar dari balik meja bar, dan alunan musik sekitar 80an akan segera memenuhi lorong-lorong telingamu. Terkadang aku merasa, aku mempunyai mesin waktu ketika berada di kafe ini. Sungguh. Sekali mengujunginya, kau pasti akan ketagihan.

Disadari ataupun tidak, setiap orang yang mengaku dirinya hidup di zaman modern yang penuh kompleksitas ini pasti tak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya, kerena hanya itu itu saja. Berkisar antara kemacetan, pekerjaan yang menumpuk, tuntutan dari berbagai pihak, dan sebagainya. Di kafe ini kau akan menemukan kedamaian sendiri. Bersembunyi sebentar dari hiruk pikuk kota, hanya untuk mengambil napas, atau bahkan hanya untuk merasakan jantungmu masih memompa aliran darahmu, dan kau masih mempunyai jiwa yang seharusnya kau bahagiakan.

Setiap sudut kafe ini pernah aku coba satu per satu. Dan semuanya selalu berhasil membuatku nyaman dan lupa waktu. Khususnya, meja tepat di sebrang meja bar. Aku bisa leluasa memesan satu dua minuman tambahan tanpa harus berdiri. Hanya melambaikan tangan, dan seorang barista akan melihatku, lalu tersenyum sambil meracikkan kopi pesananmu.

Sebenarnya yang aku sebut leluasa di sini adalah, aku bisa mencuri pandang ke arahnya semauku. Seorang barista berambut ikal yang mempunyai lesung pipi ketika melengkungkan bibirnya. Entah semuanya begitu sempurna di mataku. Setiap gerakannya mempunyai sihir tersendiri untukku. Yang membuatku selalu hilang kendali pada detik-detik pertama melihatnya.

Denting gelas ketika ia mulai meracik kopi pesanan menemani imajinasi liarku ketika memperhatikannya lamat-lamat. Setelah tiga bulan lamanya aku menjaga jarak untuk memperhatikannya, akhirnya kemarin malam aku memberanikan berkenalan dengannya.
Meski, yah hanya sekedar berbasa-basi dan mempertanyakan pertanyaan bodoh yang malah membuatku semakin aneh di matanya. Tapi setidaknya, namaku tercatat di memori otaknya. Salah satu hal sederhana ketika orang yang kau kagumi tahu kehadiranmu di sana.

Ting !
Aku mendongakkan kepalaku, ia baru saja menekan lonceng. Pesananku sudah jadi.Seharusnya hot latteku yang masih menguarkan uap yang aku pandangi. Namun, senyumnya masih menjadi objek pertama yang aku cari dan selalu aku dapati.

"Pulang kuliah?" tanyanya ramah.

Aku menggeleng, "Dari rumah."

Ia mengangkat salah satu alisnya, kemudian tertawa.

"Kenapa? Apa yang salah?"

Ia tertawa kecil sambil mengedikan bahunya. "Nggak apa-apa. Cuma heran, kamu terlalu sering ke sini." 

"Memang kenapa? Bukannya itu bagus? Kafe ini tidak akan sepi pengunjung walaupun hanya ada aku di dalamnya"

"Yah, kau tahu maksudku, Clara."

Oh God ! Dia memanggil namaku! Oh apa yang harus aku lakukan kini? Jantungku berdebar. Menunggu apa yang diucapkan selanjutnya.

" Lebih banyak, yang menjadikan kafe ini tempat singgah, bukan tujuan utama. Toh kalau menjadikan tujuan utama mereka tidak sendirian."

"Kau mengejekku? Harusnya kau senang, ada orang sepertiku menjadikan kafemu ini tujuan utama," Aku menggerling.

"Aku hanya heran."

"Tak perlu heran, ketika seseorang menemukan kenyamanannya, ia melakukan segalanya seperti bernapas, Jo."
Ia mengangguk tak acuh, lalu melanjutkan dengan kesibukannya. Sedangkan aku sendiri masih berdiri di depan meja bar, tak bergeser sedikitpun.

"Bagaimana denganmu, Jo?"

"Apa?" Ia menoleh sebentar.

"Apa kau tidak bosan berada di balik meja bar ini selama berjam-jam hanya untuk mengerjakan hal yang sama?"

Sambil meracik bubuk kopi, ia menjawab "Aku mencintai pekerjaan ini. Jika kau mencintai apa yang kau lakukan, semuanya terasa seperti bernapas. Dan itu menjadikan awal pagimu lebih baik, karena alam mimpimu tak seindah dunia nyata yang kau pijak. Seperti yang kau bilang tadi." 

Kami terkekeh. Saat-saat seperti ini selalu menyenangkan, membuatku berharap aku mempuyai tombol rewind untuk mengulanginya lagi dan lagi. Ia masih sibuk meracik kopi pesanan pengunjung lain yang sudah ramai berdatangan.Alih-alih kembali ke tempat dudukku, aku malah tetap berdiri di situ, tak bergeser sedikitpun

"Mau berapa lama kau ada di situ?"

"Entahlah, aku masih asik memeperhatikanmu meracik bubuk bubuk kopi itu. Tanganmu ajaib, Jo." Aku tertawa kecil, "Teruslah bekerja, Aku harap aku tidak menganggumu."

Ia menyunggingkan senyumnya, "apa kau tidak capek berdiri si situ?"

"Sama sekali tidak." Aku menyesap hot latteku yang mulai mendingin, lalu melanjutkan perkataanku, "Karena aku melakukannya seperti bernapas."

Aku tersenyum. Tangannya berhenti mengaduk kopi buatannya yang hampir selesai, ia mendongak ke arahku. Dan aku menangkap keterkejutannya pada tatapan matanya.
Jantungku berdebar kian cepat. Dan itu mengganguku, aku harap ucapanku tidak mengacaukan semuanya. Ya Tuhan...
Aku mengerutkan keningku, Jo malah mencopot celemek hitamnya, tanpa berkata sepatah katapun.

"Sudah selesai? Mau ke mana?" tanyaku gugup.

Ia tersenyum lama memandangiku, lalu akhirnya bersuara, "Aku hanya ingin membuatmu bernapas lebih lama. May I?"
***




Read More




Jumat, 28 Februari 2014

Ini Kamu, tapi Bukan Rindu

http://weheartit.com/Eqvilibrium

Kepada malam yang berarakan sunyi, dosakah saya mengingat kamu?

Ini sudah hampir larut malam. Dan saya yakin kamu masih terjaga di sebrang sana. Entah menghabiskan waktu di sebuah kedai kopi dengan teman-teman kamu, merokok di beranda rumah hanya untuk melepas penat, atau mungkin kamu sedang sibuk mengurusi distro yang baru kamu dirikan beberapa bulan, atau malah mungkin kamu sedang berada di balik kemudi menuju luar kota, Bandung misalnya? Benarkah dugaan saya? Maaf jika saya menjelma menjadi nona sok tahu yang menyebalkan, saya hanya menduga lewat kebiasaanmu, dulu.

Ah, ini sudah hampir lewat setahun ya? dulu, pada tengah malam begini kita tengah asik terjaga bukan? membicarakan mengenai apa saja, berdua tentunya. Meskipun bukan sepenuhnya tentang saya. Karena selalu ada dia, perempuan yang kamu sayangi yang selalu kamu selipkan di antara perbincangan kita. Dan saya, sama sekali tidak merasa keberatan. Karena saya sudah berjanji pada diri saya, untuk menerima cerita apapun, asalkan itu dari kamu.

Saya ingat betul malam itu, kamu memetik gitarmu dari sebrang, lalu saya menantangmu untuk menyanyikan yellow-coldplay dan pada detik itu juga kamu menganggupinya sementara saya masih asik menertawakan kamu. Dan dengan bodohnya, kamu menghabiskan pulsamu sendiri karena kamu tak menyadari sudah menyanyikan 8 lagu untuk saya. Saya berbalik menelpon kamu, sembari menertawakan suaramu. Walaupun sampai sekarang kamu tidak tahu dan tidak akan pernah tahu, kamu telah mengacaukan sistem pernapasan saya waktu itu. 

Kamu bukan laki-laki yang ingin saya temui, bukan laki-laki yang pernah saya impikan. Kamu bukan laki-laki yang mempunyai alis tebal, mata teduh, senyum serta deretan gigi rapi yang memesona, tapi lewat kesederhanaan, kejujuran, dan ke-apa-adanya kamu yang seringkali membuat saya tersenyum, kamu telah berhasil membuat saya menganggumi sosok kamu. 

Kamu ingat? kita adalah potongan yang hilang karena ditinggalkan masa lalu yang sebelumnya pernah kita genggam erat. Dan kita dibiarkan tersesat olehnya. Hinga pada akhirnya pada sebuah persimpangan kita tak sengaja bertemu. Mungkin kepulanganmu dari Bandung adalah bagian dari rencana-Nya. Apakah pernah terlintas di pikiranmu tentang hal itu? Jika tidak, tak apa. Saya mengerti. Lagipula, jalan di persimpangan yang kita pilih terlalu dekat untuk menuju persimpangan selanjutnya, yang mengembalikan kamu pada kebahagiaanmu, dan saya pada kebahagiaan saya. Meskipun umur kebahagiaan saya tak sepanjang milikmu. Saya memilih berbalik arah, menuju pada persimpangan sebelumnya, berharap kamu masih di sana, namun kenyataannya tidak. Kamu masih terus berjalan dengan dirinya. Tak ada yang perlu disesalkan, tak ada yang perlu dimaafkan. Saya merasa lebih baik pada keputusan saya waktu itu.

Saya berterimakasih untuk semua yang telah kamu beri. Meski saya yakin, kamu tidak pernah merasa memberi apapun terhadap saya, karena kamu berpikir, saya yang selalu meluangkan waktu untuk kamu. Tapi, pada kenyataannya tidak seperti itu, saya berterimakasih kepada Tuhan dan semesta yang mengizinkan saya untuk mengenal laki-laki seperti kamu.Sebegitu sederhana kebahagiaan saya ketika mengenal kamu. Laki-laki sederahana yang berjiwa begitu besar.

Tidak, jangan khwatir. Kali ini saya menuliskan semuanya tanpa menyelipkan rindu di dalamnya. Ini kabar baiknya, saya tidak merindukan kamu lagi seperti yang sudah-sudah. Waktu melepaskan semuanya perlahan.Mengikisnya hingga hilang, walaupun tidak pada cerita-cerita dan ucapan sederhanamu yang masih saya simpan. Tapi percayalah, saya berani bersumpah, hati saya tidak lagi berisikan kamu sepenuhnya, seutuhnya. Kita adalah cerita pada potongan kenangan yang terpenggal waktu, dan ketika saya mengingatnya, saya hanya bisa menahan senyum teringat kebodohan apa saja yang telah kita buat dulu.

Bagi saya masa lalu itu bagian dari hidup yang seharusnya disimpan, meski tak perlu seutuhnya. Karena, jika tidak ada masa lalu, kemanakah kita akan mengenang? Bukankah begitu? bagaimana dengan kamu?

Oiya, bagaimana dengan perempuanmu yang begitu kamu cintai itu? Masihkah kamu bersabar untuk mengahadapi dirinya ketika sedang pms? hahaha. Masihkah kamu memberinya kejutan kecil meski dirinya tak pernah menganggap kamu sebagai laki-laki yang romantis? Sampai kini pun saya masih tertawa membayangkan ceritamu dulu. Saya harap rasa cintamu masih sebesar dulu, ya. 
Jika suatu saat nanti, kalian akan memutuskan untuk menikah, saya akan mendoakan kalian dari sini. Sungguh. Saya ikut bahagia, jika kamu bahagia. Kamu tidak perlu meragukan itu.Virgo selalu mempunyai caranya sendiri untuk berbahagia meskipun kedengarannya itu menyakitkan.

Yasudah, saya tidur dulu. Dan sebelumnya, terimakasih untuk semua tawa dan cerita yang pernah kamu berikan mengisi hari saya. Dan maafkan saya, jika waktu itu saya menolak untuk menemui kamu pada tempat yang sudah kamu bilang. Maafkan saya, ketika saya memilih pergi dan menghindar. Mungkin suatu saat nanti, pada waktu dan tempat yang tepat kita berdua bisa berbincang lagi. Mengenai hal yang baru, atau yang telah lalu. Menikmati kopi pada cangkir kita masing-masing sembari menertawakan kebodohan kita bersama. Mungkin.

Untuk kamu, a man who I never met. 

Semarang, 28 Februari 2014

Read More




Selasa, 25 Februari 2014

Teruntuk Kamu

http://weheartit.com/natalie_1973?page=2

Teruntuk kamu yang sedang memenuhi semesta mimpiku,

Entah kamu akan membaca ini atau tidak, aku hanya ingin menggoreskan semuanya yang sedang berlimpah ruah di benakku. 

Suatu saat aku harap waktu mempertemukan kita
Memotong jarak terbentang berpuluh-puluh kilometer 
Memperpanjang setiap detiknya ketika jarakmu hanya sehastaku
Mungkin Tuhan sedang mempersiapkan tempat yang tepat
Menuliskan sekenario pertemuan kita dalam kesempurnaan-Nya
Entah nantinya akan terencana atau tiba-tiba
Asalkan denganmu aku akan menerima
Kita akan bercerita tentang apa saja. Berdua
Akan aku simpan lengkung senyum dan suara tawamu banyak-banyak
Juga setiap kata sederhana yang kau ucap
Mendengarkan kamu yang seringkali bersenandung pelan
Atau hanya menikmati sosokmu dalam keheningan
Maka, doakan aku disetiap pejaman dan kepalan tanganmu
Dan aku doakan kamu disetiap batas sujudku 
Biar akhir paragraf yang tersisa benar-benar berujung pada pertemuan
Meski para malaikat menertawakan kita, aku harap diam-diam mereka mengamini semuanya

Dari aku,
yang teramat sangat merindukanmu.




Read More




Sabtu, 15 Februari 2014

Come Back To You

http://weheartit.com/Whatlove?page=5

Langkahku menapaki lantai kayu dengan  mantap. Heels 5cm  membuat bunyi ketukan-ketukan seirama sesuai jejak derapku, walaupun tak kentara karena riuhnya dalam resto saat makan siang.  Sementara mataku sendiri sejak tadi sibuk menyapu seluruh isi resto yang aku jadikan sebagai tempat bertemu antara aku  dengan laki-laki yang aku cari selama ini. Bayu.
         
Ku sipitkan pandangan mataku, sembari membetulkan letak kacamataku. Tak ingin melewatkan sosok yang selama ini begitu ingin aku temui. Walaupun, aku sendiri masih mengingatnya. Semuanya, seutuhnya. Namun apakah waktu 5 tahun membuat semuanya nampak sama? Bukankah, waktu selalu mengerjakan tugasnya dengan sempurna. Mengubah apapun yang berjalan di dunia ini. Tanpa terkecuali. Entah lebih baik atau lebih buruk. 

Tanpa membuang waktuku, entah mengapa aku berjalan mendekati pada seorang laki-laki berkemeja cokelat garis yang duduk memunggungi diriku. Aku berdehem sejenak, mengatur suaraku.
           
 “Maaf, permisi.”
            
Tak perlu menghitung mundur 10 detik menunggu laki-laki itu memalingkan wajahnya ke arahku. Tanganku dingin oleh gugup, ketika melihat dirinya lagi. Bayu Hernawan.
          
 Ia berdiri, tersenyum padaku walaupun terlihat sedikit canggung, begitupun juga aku.
             
“Riyani?” Tanyanya mantap.
          
  Aku mengangguk. Lalu aku dipersilakannya duduk.
           
Oh Tuhan ! Akhirnya aku menemukannya lagi. Setelah kejadian 5 tahun silam, lewat sahabat lamaku. Entah apa yang ada dalam rongga dadaku kini, yang jelas, aku begitu bahagia melihat dirinya baik-baik saja di depan mataku. Tak ada yang berubah. Kulit cokelatnya, rambut hitamnya, matanya, senyumnya. Hanya saja, terlihat lebih rapi daripada dulu.
           
Kau tahu rasanya? Berada di hadapan orang yang dulu pernah kau sia-siakan dan keputusan tololmu membuatnya benar-benar pergi dan menghilang pada peredaran matamu? Dan sialnya, kau terjebak pada pilihanmu sendiri. Kepergiannya meninggalkan setumpuk penyesalan dan menjadikanmu seseorang yang paling jahat dari seorang pembunuh sekalipun?
            
Kau tahu rasanya? Ketika kau berharap waktu hanya bercanda, berharap dia hanya bersembunyi, lalu datang padamu lagi meminta kesempatan, namun pada kenyataannya pada batas lelahmu, hari yang kau harapkan tak pernah datang? Hingga akhirnya, kau hanya bisa berdoa pada sisa-sisa harapanmu.
            
Aku tahu rasanya. Dan saat aku hampir menyerah kalah. Pada sesal yang semakin berlimpah ruah, hari itu datang. Dia kembali. Aku menemukannya. Di sini.
             
Kami sama-sama canggung. Memulai obrolan seperti dua orang asing yang belum mengenal satu sama lain. Seperti memulai dari awal, seolah tak ada apapun yang terjadi di antara kami. Seperti yang aku bilang, waktu menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi setidaknya, dia bisa menerimaku lagi. Itu sudah cukup.
          
“Maaf Bay.” Akhirnya aku mengatakannya.
             
Keningnya berkerut. Tak mengerti. Tapi aku yakin, waktu 5 tahun tak akan membuatnya lupa. Karena pada luka, tak ada kata lupa. Setiap goresnya adalah bukti, semua yang pernah dialami itu nyata.
            
 “Untuk apa?” Ia bertanya, seolah masih tak mengerti.
            
Dia melupakannya? Benarkah? Bahkan aku masih bisa mengecap rasanya sampai saat ini.
          
“Maaf, untuk yang telah lalu. Waktu itu aku benar-benar  nggak bermaksud untuk menyakiti kamu, atau siapapun.” Aku mendesah. Gelisah. Takut mengacaukan pertemuan kali ini. Memperburuk dengan pernyataan. Tapi ini tujuanku mencari dirinya. Untuk meminta maaf.
             
Diluar dugaanku, ia malah terkekeh. Singkat.
           
“Aku sudah memaafkanmu sejak dulu Riyani. Tak usah dipikirkan lagi. Aku juga meminta maaf karena mengusikmu dengan surat-suratku. Mengusikmu dengan kehadiranku yang tiba-tiba. “
             
Aku menatapnya nanar. Apa rasa sakit itu masih ada? Surat-suratnya yang selalu membanjiriku, yang selalu aku baca namun tak pernah aku balas. Surat-surat yang pada akhirnya menumpuk di pojokkan jendela kamar. Aku biarkan. Tak aku acuhkan.
           
Hingga suatu saat, tak ada lagi kiriman surat darinya. Hanya ada surat-surat dari laki-laki lain seperti sebelumnya. Ada yang menyelinap, mengacaukan pikiranku. Meski seringkali aku menyangkal, aku menyadari, aku menunggu surat-surat darinya. Merindukan sapaan dan cerita dari barisan paragrafnya.
           
“Kamu nggak perlu minta maaf, Bay. Karena aku sadar, aku yang salah. Dan terimakasih kamu sudah memaafkan aku.” Aku tersenyum simpul menatap kedua bola matanya.
           
“Sudahlah, itu kan sudah lalu. Jangan kamu ungkit-ungkit lagi.” Ia mengibaskan tangannya. “ Ohya, maafkan aku karena aku tak menemuimu ketika perpisahan sekolah. Aku harus pulang ke Surabaya, ada acara mendadak. Maafkan aku tidak memberimu kabar.”
            
Aku tersentak mendengarnya. Aku menelan ludah. Benarkah apa yang dikatakannya? Tidak, dia berbohong mengenai itu. Aku melihatnya dulu. Aku sempat melihatnya dengan kamera baru ditangannya. Kamera yang katanya ia beli dari hasil tabungannya sendiri.
           
Sehari sebelumnya, ia mengirimiku sebuah surat lagi setelah berbulan-bulan ia tak mengirimiku surat. Isinya tidak seperti biasanya. Tidak terlalu panjang.
            
 “Aku baru saja membeli sebuah kamera baru. Sama sekali belum aku pakai. Bila boleh, izinkan aku menjadikanmu objek pertama yang aku potret, lalu mengabadikannya sebelum kita tidak saling bertemu lagi. Sampai bertemu di perpisahan besok.”
            
 Ya seperti itu isinya, aku masih mengingatnya dengan jelas. Aku melihatnya terakhir kali, meninggalkan aula sekolah lalu pergi dengan vespa putihnya. Dan aku menyadari, aku telah membuat kesalahan, karena pada saat yang sama, Dimas, kakak kelasku, menggenggam erat tanganku menyatakan cintanya.
            
Tebak apa yang aku perbuat saat itu. Aku hanya berdiri, terpaku dan terdiam. Tak melakukan apapun. Setelah itu aku kehilangan kabarnya, ia tak meninggalkan jejak sama sekali. Ia menjauh, hilang. Dan aku memilih pergi, dengan sejuta rasa bersalah di sudut hati.
           
Aku hanya mengangguk. Seolah aku mempercayai apa yang dikatakannya. Biarlah, aku tak ingin menguak luka.
            
“Jadi? How’s life? Siapa yang menjadi pendampingmu saat ini?” Dia tersenyum tenang, sembari menyeruput kopi luwaknya.
          
Aku tertawa, sungguh. Aku tertawa. Lalu menggeleng.
           
Bayu memandangiku dengan tatapan tak percaya, “Kamu bohong kan?”
           
“Bener. Aku lagi serius dan fokus sama kerjaanku sekarang.” Kali ini aku tidak mengada-ada. Lagipula buat apa terburu-buru jika memang belum ada yang tepat.
           
“Seorang Riyani Anjadewi, belum menemukan seorang pendamping? Kamu bercanda kan? Cewek bintang sekolah yang setiap hari menjadi perbincangan hangat seantero sekolah belum menemukan cintanya?”
             
Aku terkekeh. Walaupun kalimatnya barusan menusukku. Menamparku, bahwa betapa aku terlalu angkuh dihadapannya dulu.
            
“Memangnya dari sekian banyak laki-laki nggak ada yang nyangkut apa?” Ia melanjutkan pertanyaannya.
             
“Nyangkutnya di kamu mungkin.” Aku tertawa lagi. Namun Bayu terdiam, membuatku mengehentikan tawaku.
           
Apa yang salah? Batinku. Beberapa detik kami saling terdiam. Lalu aku kembali lagi memberanikan diri untuk bersuara.
           
“Apa kamu sudah punya pendamping? Pasti cantik, baik. Oh ya, dan pastinya pandai memasak. Benar kan tebakanku?”
             
Dia menyeruput kembali kopinya, sebelum menjawab.
           
“Yah, sama seperti kamu. Belum ada perempuan yang tepat. Apalagi seperti yang kamu bicarakan. Sejauh ini aku sedang sibuk dengan proyekku.”
            
Oh? Begitukah? Aku harap dia tidak berbohong kali ini. Ya, dari dulu dia bermimpi menjadi arsitektur. Dan kini ia mendapatkannya.
           
Kami hanyut pada obrolan. Tentang apa saja. Seperti dia dengan segala sesuatu mengenai arsitektur dan aku sebagai designer. Walaupun kami terkadang tidak saling mengerti, setidaknya kami menjadi lebih banyak mendengarkan. Sangat menyenangkan rasanya.
           
“Udah sore ternyata, nggak terasa ya.” Ia melirik jam tangannya. Senyumnya bias. “Ya, mungkin hari ini cukup buat obrolannya. Aku seneng bisa ketemu kamu lagi.”
          
 Aku hanya tersenyum simpul, mengagguk. Walaupun pada detik yang sama aku berharap waktu dapat berputar kembali. Kembali pada dua jam sebelumnya, mengulang cerita, menatap matanya, memperhatikan senyumnya, menikmati suara tawanya, merekam semuanya lewat inderaku. Oh tidak, apa yang aku pikirkan tadi? Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Lalu cepat-cepat beranjak dari tempat dudukku. Menutup semuanya. Bukankah berarti urusanku sudah selesai? Datang, temui, dan meminta maaf. Itu saja. Lalu apa yang aku harapkan?
            
 “Riyani..” Bayu memanggilku, sebelum aku masuk dalam mobil.
          
  Aku berbalik, mengahadapnya yang berjarak sekitar 2 meter dari tempatku.
           
 “Ya..?”
           
 “Aku berharap, ucapan kamu benar adanya.”
           
 “Hah?” Aku melongo, tidak mengerti. Ucapan yang mana? Yang bagian mana?
            
 “Ah sudah, lupakan saja.”
           
 Aku masih terdiam, memberinya kesempatan mengatakan sekali lagi.
             
“Gimana kalau besok aku jemput kamu di butikmu waktu jam makan siang?”
           
Aku terdiam, seolah berpikir. Dan dirinya terlihat ragu jika aku menolaknya. Lalu akhirnya aku mengangguk, “Sampai jumpa besok.”
           
 Aku melihat matanya berbinar.Ia berusaha menyembunyikan senyumnya. Walaupun gagal. Aku melihatnya jelas.

                                                                                 ***
“Sampai jumpa besok.” Aku mengulangi kalimatku lagi, lirih. Besok, besok dan besoknya lagi hingga seterusnya. Semoga.
           
 Aku tidak percaya pada teori cinta pada pandangan pertama. Karena, yang ada adalah rasa nyaman setelah kau mengobrol dua jam tentang apa saja, berdua. Dan tiba-tiba kau akan merindukan obrolan panjang lebih dari dua jam. Seperti obat, selama kau meminumnya berulang, dengan sendirinya, kau harus menambahkan setiap takaran dosisnya untuk menyembuhkan sakitmu. Begitupun rindu, kau harus menambahkan waktu bersama untuk mengobati rindumu.
            
 Aku pikir kami hanyalah menjadi sebuah cerita. Cerita pahit pada bibir kami masing-masing. Namun kenyataannya, cinta dan takdir bergabung menjadi konstelasi sempurna. Mereka tak pernah gagal mempertemukan dua orang yang terpisah jarak yang memang ditakdirkan untuk bersama. Ya, bersama, semoga.
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML