|
http://weheartit.com/Whatlove?page=5 |
Langkahku
menapaki lantai kayu dengan mantap.
Heels 5cm membuat bunyi ketukan-ketukan
seirama sesuai jejak derapku, walaupun tak kentara karena riuhnya dalam resto
saat makan siang. Sementara mataku
sendiri sejak tadi sibuk menyapu seluruh isi resto yang aku jadikan sebagai
tempat bertemu antara aku dengan
laki-laki yang aku cari selama ini. Bayu.
Ku sipitkan pandangan mataku,
sembari membetulkan letak kacamataku. Tak ingin melewatkan sosok yang selama
ini begitu ingin aku temui. Walaupun, aku sendiri masih mengingatnya. Semuanya,
seutuhnya. Namun apakah waktu 5 tahun membuat semuanya nampak sama? Bukankah,
waktu selalu mengerjakan tugasnya dengan sempurna. Mengubah apapun yang
berjalan di dunia ini. Tanpa terkecuali. Entah lebih baik atau lebih buruk.
Tanpa membuang waktuku, entah
mengapa aku berjalan mendekati pada seorang laki-laki berkemeja cokelat garis
yang duduk memunggungi diriku. Aku berdehem sejenak, mengatur suaraku.
“Maaf, permisi.”
Tak perlu menghitung mundur 10 detik
menunggu laki-laki itu memalingkan wajahnya ke arahku. Tanganku dingin oleh
gugup, ketika melihat dirinya lagi. Bayu Hernawan.
Ia berdiri, tersenyum padaku
walaupun terlihat sedikit canggung, begitupun juga aku.
“Riyani?” Tanyanya mantap.
Aku mengangguk. Lalu aku
dipersilakannya duduk.
Oh
Tuhan ! Akhirnya aku menemukannya lagi. Setelah kejadian 5 tahun silam,
lewat sahabat lamaku. Entah apa yang ada dalam rongga dadaku kini, yang jelas,
aku begitu bahagia melihat dirinya baik-baik saja di depan mataku. Tak ada yang
berubah. Kulit cokelatnya, rambut hitamnya, matanya, senyumnya. Hanya saja, terlihat
lebih rapi daripada dulu.
Kau tahu rasanya? Berada di hadapan
orang yang dulu pernah kau sia-siakan dan keputusan tololmu membuatnya
benar-benar pergi dan menghilang pada peredaran matamu? Dan sialnya, kau
terjebak pada pilihanmu sendiri. Kepergiannya meninggalkan setumpuk penyesalan
dan menjadikanmu seseorang yang paling jahat dari seorang pembunuh sekalipun?
Kau tahu rasanya? Ketika kau
berharap waktu hanya bercanda, berharap dia hanya bersembunyi, lalu datang
padamu lagi meminta kesempatan, namun pada kenyataannya pada batas lelahmu,
hari yang kau harapkan tak pernah datang? Hingga akhirnya, kau hanya bisa
berdoa pada sisa-sisa harapanmu.
Aku tahu rasanya. Dan saat aku
hampir menyerah kalah. Pada sesal yang semakin berlimpah ruah, hari itu datang.
Dia kembali. Aku menemukannya. Di sini.
Kami sama-sama canggung. Memulai
obrolan seperti dua orang asing yang belum mengenal satu sama lain. Seperti
memulai dari awal, seolah tak ada apapun yang terjadi di antara kami. Seperti
yang aku bilang, waktu menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi setidaknya, dia
bisa menerimaku lagi. Itu sudah cukup.
“Maaf Bay.” Akhirnya aku
mengatakannya.
Keningnya berkerut. Tak mengerti.
Tapi aku yakin, waktu 5 tahun tak akan membuatnya lupa. Karena pada luka, tak
ada kata lupa. Setiap goresnya adalah bukti, semua yang pernah dialami itu
nyata.
“Untuk apa?” Ia bertanya, seolah
masih tak mengerti.
Dia melupakannya? Benarkah? Bahkan
aku masih bisa mengecap rasanya sampai saat ini.
“Maaf, untuk yang telah lalu. Waktu
itu aku benar-benar nggak bermaksud
untuk menyakiti kamu, atau siapapun.” Aku mendesah. Gelisah. Takut mengacaukan
pertemuan kali ini. Memperburuk dengan pernyataan. Tapi ini tujuanku mencari
dirinya. Untuk meminta maaf.
Diluar dugaanku, ia malah terkekeh. Singkat.
“Aku sudah memaafkanmu sejak dulu
Riyani. Tak usah dipikirkan lagi. Aku juga meminta maaf karena mengusikmu
dengan surat-suratku. Mengusikmu dengan kehadiranku yang tiba-tiba. “
Aku
menatapnya nanar. Apa rasa sakit itu masih ada? Surat-suratnya yang selalu
membanjiriku, yang selalu aku baca namun tak pernah aku balas. Surat-surat yang
pada akhirnya menumpuk di pojokkan jendela kamar. Aku biarkan. Tak aku acuhkan.
Hingga suatu saat, tak ada lagi
kiriman surat darinya. Hanya ada surat-surat dari laki-laki lain seperti
sebelumnya. Ada yang menyelinap, mengacaukan pikiranku. Meski seringkali aku
menyangkal, aku menyadari, aku menunggu surat-surat darinya. Merindukan sapaan
dan cerita dari barisan paragrafnya.
“Kamu nggak perlu minta maaf, Bay.
Karena aku sadar, aku yang salah. Dan terimakasih kamu sudah memaafkan aku.”
Aku tersenyum simpul menatap kedua bola matanya.
“Sudahlah, itu kan sudah lalu.
Jangan kamu ungkit-ungkit lagi.” Ia mengibaskan tangannya. “ Ohya, maafkan aku
karena aku tak menemuimu ketika perpisahan sekolah. Aku harus pulang ke
Surabaya, ada acara mendadak. Maafkan aku tidak memberimu kabar.”
Aku tersentak mendengarnya. Aku
menelan ludah. Benarkah apa yang dikatakannya? Tidak, dia berbohong mengenai
itu. Aku melihatnya dulu. Aku sempat melihatnya dengan kamera baru ditangannya.
Kamera yang katanya ia beli dari hasil tabungannya sendiri.
Sehari sebelumnya, ia mengirimiku
sebuah surat lagi setelah berbulan-bulan ia tak mengirimiku surat. Isinya tidak
seperti biasanya. Tidak terlalu panjang.
“Aku baru saja membeli sebuah kamera
baru. Sama sekali belum aku pakai. Bila boleh, izinkan aku menjadikanmu objek
pertama yang aku potret, lalu mengabadikannya sebelum kita tidak saling bertemu
lagi. Sampai bertemu di perpisahan besok.”
Ya seperti itu isinya, aku masih mengingatnya dengan
jelas. Aku melihatnya terakhir kali, meninggalkan aula sekolah lalu pergi
dengan vespa putihnya. Dan aku menyadari, aku telah membuat kesalahan, karena
pada saat yang sama, Dimas, kakak kelasku, menggenggam erat tanganku menyatakan
cintanya.
Tebak apa yang aku perbuat saat itu.
Aku hanya berdiri, terpaku dan terdiam. Tak melakukan apapun. Setelah itu aku
kehilangan kabarnya, ia tak meninggalkan jejak sama sekali. Ia menjauh, hilang.
Dan aku memilih pergi, dengan sejuta rasa bersalah di sudut hati.
Aku hanya mengangguk. Seolah aku
mempercayai apa yang dikatakannya. Biarlah, aku tak ingin menguak luka.
“Jadi? How’s life? Siapa yang
menjadi pendampingmu saat ini?” Dia tersenyum tenang, sembari menyeruput kopi
luwaknya.
Aku tertawa, sungguh. Aku tertawa.
Lalu menggeleng.
Bayu memandangiku dengan tatapan tak
percaya, “Kamu bohong kan?”
“Bener. Aku lagi serius dan fokus
sama kerjaanku sekarang.” Kali ini aku tidak mengada-ada. Lagipula buat apa
terburu-buru jika memang belum ada yang tepat.
“Seorang Riyani Anjadewi, belum
menemukan seorang pendamping? Kamu bercanda kan? Cewek bintang sekolah yang
setiap hari menjadi perbincangan hangat seantero sekolah belum menemukan
cintanya?”
Aku terkekeh. Walaupun kalimatnya
barusan menusukku. Menamparku, bahwa betapa aku terlalu angkuh dihadapannya
dulu.
“Memangnya dari sekian banyak
laki-laki nggak ada yang nyangkut apa?” Ia melanjutkan pertanyaannya.
“Nyangkutnya di kamu mungkin.” Aku
tertawa lagi. Namun Bayu terdiam, membuatku mengehentikan tawaku.
Apa
yang salah? Batinku. Beberapa detik kami saling terdiam. Lalu aku kembali
lagi memberanikan diri untuk bersuara.
“Apa kamu sudah punya pendamping?
Pasti cantik, baik. Oh ya, dan pastinya pandai memasak. Benar kan tebakanku?”
Dia menyeruput kembali kopinya,
sebelum menjawab.
“Yah, sama seperti kamu. Belum ada
perempuan yang tepat. Apalagi seperti yang kamu bicarakan. Sejauh ini aku
sedang sibuk dengan proyekku.”
Oh?
Begitukah? Aku harap dia tidak berbohong kali ini. Ya, dari dulu dia
bermimpi menjadi arsitektur. Dan kini ia mendapatkannya.
Kami hanyut pada obrolan. Tentang
apa saja. Seperti dia dengan segala sesuatu mengenai arsitektur dan aku sebagai
designer. Walaupun kami terkadang tidak saling mengerti, setidaknya kami
menjadi lebih banyak mendengarkan. Sangat menyenangkan rasanya.
“Udah sore ternyata, nggak terasa
ya.” Ia melirik jam tangannya. Senyumnya bias. “Ya, mungkin hari ini cukup buat
obrolannya. Aku seneng bisa ketemu kamu lagi.”
Aku hanya tersenyum simpul,
mengagguk. Walaupun pada detik yang sama aku berharap waktu dapat berputar
kembali. Kembali pada dua jam sebelumnya, mengulang cerita, menatap matanya,
memperhatikan senyumnya, menikmati suara tawanya, merekam semuanya lewat
inderaku. Oh tidak, apa yang aku pikirkan
tadi? Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Lalu cepat-cepat beranjak dari
tempat dudukku. Menutup semuanya. Bukankah berarti urusanku sudah selesai?
Datang, temui, dan meminta maaf. Itu saja. Lalu apa yang aku harapkan?
“Riyani..” Bayu memanggilku, sebelum
aku masuk dalam mobil.
Aku berbalik, mengahadapnya yang
berjarak sekitar 2 meter dari tempatku.
“Ya..?”
“Aku berharap, ucapan kamu benar
adanya.”
“Hah?” Aku melongo, tidak mengerti. Ucapan yang mana? Yang bagian mana?
“Ah sudah, lupakan saja.”
Aku masih terdiam, memberinya
kesempatan mengatakan sekali lagi.
“Gimana kalau besok aku jemput kamu
di butikmu waktu jam makan siang?”
Aku terdiam, seolah berpikir. Dan
dirinya terlihat ragu jika aku menolaknya. Lalu akhirnya aku mengangguk, “Sampai
jumpa besok.”
Aku melihat matanya berbinar.Ia
berusaha menyembunyikan senyumnya. Walaupun gagal. Aku melihatnya jelas.
***
“Sampai jumpa besok.” Aku mengulangi
kalimatku lagi, lirih. Besok, besok dan
besoknya lagi hingga seterusnya. Semoga.
Aku tidak percaya pada teori cinta
pada pandangan pertama. Karena, yang ada adalah rasa nyaman setelah kau
mengobrol dua jam tentang apa saja, berdua. Dan tiba-tiba kau akan merindukan
obrolan panjang lebih dari dua jam. Seperti obat, selama kau meminumnya
berulang, dengan sendirinya, kau harus menambahkan setiap takaran dosisnya
untuk menyembuhkan sakitmu. Begitupun rindu, kau harus menambahkan waktu
bersama untuk mengobati rindumu.
Aku pikir kami hanyalah menjadi sebuah cerita. Cerita
pahit pada bibir kami masing-masing. Namun kenyataannya, cinta dan takdir
bergabung menjadi konstelasi sempurna. Mereka tak pernah gagal mempertemukan
dua orang yang terpisah jarak yang memang ditakdirkan untuk bersama. Ya,
bersama, semoga.