Jumat, 30 Juni 2017

Jahat



Berganti tahun. Perasaan ini masih tetap seperti dua tahun yang lalu.

Ndra, kamu jahat.

Kamu hilang tanpa kabar. Tanpa kepastian.

Aku lelah menerka maksut kedatanganmu Desember lalu.

Enyah saja, kamu membuat harapan ini seperti api disiram bensin.

Begitu besar.

Dan menghabisi aku.

Melalap aku hidup-hidup.

Aku tahu di seberang sana banyak yang kamu pikirkan tentang kita.

Lalu kenapa kita tidak bertemu saja?


Kenapa semuanya kamu buat semakin rumit, Ndra?

Kau tak pernah menjanjikan pulang

Tapi sapamu bulan lalu begitu melekat di ruang ingatan

Mengapa kau tak membuat ini semua menjadi sederhana?

Indra, aku rindu.



Aku,

Perempuan yang pernah kau sebut rumah




Read More




Bukan Curhat

Liburan panjang, membawa saya menulusuri folder-folder di laptop saya. Foto-foto hingga tulisan-tulisan saya. Saya temukan cerita-cerita fiksi yang masih separuh. Mungkin jika tokoh-tokoh ciptaan saya bisa bersuara, mereka akan memaki  habis-habisan karena menggantungkan cerita mereka.

Lalu sajak-sajak sedih.
Doa.
Harapan.
Semuanya ada di dalam tulisan saya.

Lalu mulai sekarang,
saya akan memindahkan tulisan-tulisan itu di sini.
Agar bisa kalian baca.
Pastinya dengan segala perubahan.

Tapi,
percayalah
bahwa tulisan-tulisan saya setelah ini bukan curhat
Sungguh.

Selamat menikmati.
Read More




Rabu, 28 Juni 2017

Pertanyakan Kembali




Pertanyakan lagi kepada dirimu sendiri, dia hadir dan kau pilih untuk apa jika lebih banyak melahirkan luka?


Aku melihat Bima sedari tadi mondar-mandir sambil menggenggam ponselnya. Raut wajahnya begitu kesal sekaligus cemas, ia tak mendapatkan kabar satupun dari kekasihnya.

“Ck, tenang aja sih Bim, Nova nggak akan kenapa-kenapa kok.”, Lontarku kesal melihatnya yang selalu mengkhawatirkan sahabatku satu itu.

“Masalahnya ini hujan deras Je. Dan dia lagi sakit.”

“Nova udah gede, semuanya bakal baik-baik aja. Dia bisa jaga diri daripada aku. Percaya deh, dia ini mungkin lagi kejebak hujan di kantor.”

“Tapi…”

“Apa?" 

“Seenggaknya dia ngehubungin aku.”

Aku terdiam, lalu memilih larut dalam pekerjaanku di layar laptop, membiarkan Bima ditelan kekhawatirannya yang terlalu berlebihan. Aku bisa menjawab pertanyaannya seandainya aku tega. Aku bisa saja menasehatinya sampai mulutku berbusa, tapi kalau orang sedang jatuh cinta, orang-orang sekitarnya bisa apa?

Aku tahu, bagaimana perjuangan Bima mendapatkan sahabatku satu itu. Bagaimana ia memperlakukan Nova seperti tuan puteri yang selalu diantar jemput pulang pergi, bagaimana ia mengistimewakan perempuan satu itu, bagaimana ia selalu mengalah untuk mendapati lengkung lebar dibibir Nova.

Budak cinta.

Bima begitu mencintai Nova, dan Nova yang mencintai Bima apa adanya, tanpa perlu usaha apa-apa. Bagaimana bisa?

Jawabannya satu.

Nova tidak begitu menginginkan Bima sebenarnya. Ia menerima cinta Bima karena ingin menghargai seluruh usaha laki-laki berambut gondrong itu. Meskipun, aku tak setuju keputusannya, karena sejak keputusannya, sahabatku itu malah melahirkan banyak luka, meski kadang mereka terlihat seperti pasangan yang paling bahagia.

Mungkin aku cemburu pada Nova yang bisa mendapatkan Bima. Aku selalu memberitahunya, betapa diberkatinya ia oleh Tuhan dihadirkan laki-laki sebaik Bima. Sedangkan aku?

Aku yang tak pernah mencicipi perlakuan istimewa dari kekasihku dulu. Ia tak menghubungiku ketika aku tak menghubunginya terlebih dahulu, ia tak menawarkan menemaniku ke manapun, padahal aku tak suka kemana-mana sendirian. Apa-apa yang aku inginkan, aku selalu memohon terlebih dahulu. Sedangkan aku,

Aku rela basah oleh hujan hanya untuk mengantarkannya makanan tanpa ia bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak, aku rela menghabiskan hampir seluruh tabunganku untuk memberi kejutan ulang tahun namun aku  tak mendapati binar bahagia dalam matanya, aku yang rela pulang larut malam menemaninya ketika bersedih tanpa ia mengkhawatirkan keadaanku bagaimana. Aku yang harus mengerti dia sedang kecewa atau marah, sedangkan ia tak mau tahu, betapa kecewanya aku. 

Aku yang meleburkan duniaku untuknya, dan dia tetap memiliki dunianya beserta seluruh egonya. 

Dan kini tak lagi. 

Ketika orang yang kau sayangi tak bisa memperlakukan dan menghargaimu dengan benar, bagaimana kelak ia menjadi pasanganmu yang bisa menjaga dan menyayangimu dengan sabar?

“Bim…” Aku memanggil Bima dengan lirih. Sementara ia sedang memejamkan matanya, sambil menyandarkan tubuhnya di atas sofa.

“Cinta banget sama sahabatku satu itu?”

“Bangetlah. Kamu tau sendiri aku gimana kan sama Nova.”

“Terus, Nova sendiri gimana?” Aku balik bertanya.

Bima terdiam. Aku mengemasi barangku sambil menunggu jawabannya.

“Dia…" Jawabannya terhenti. Mungkin sedang mengingat-ingat.

"Dia sayang kok sama aku,” Jawabnya lirih. Lebih tepatnya ia sedang meyakinkan dirinya sendiri.

“Semoga seperti itu.” Aku hanya tersenyum lalu bersiap pergi dari kafe yang sudah kami singgahi sejak  tiga jam yang lalu sambil menunggu hujan reda.

Aku ingin memberinya waktu untuk berpikir. Karena kadang, orang jatuh cinta mengutamakan apa yang ia rasa dibanding logika. Ia tak peka oleh kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan pasangannya, percaya dan mengatasnamakan apa yang dilakukan itu adalah cinta, padahal itu tipuan belaka. Lalu, lahirlah para manusia-manusia yang diperbudak oleh cinta.

Kaum-kaum yang terpenjara, memandang sempit perasaan bahagia, berpatokan pada satu orang yang diyakini ia adalah cinta padahal sebenarnya ia hanya mirip dengan cinta padahal bukan. 

Dan aku, belajar, kita boleh berkorban, tapi kita tak perlu sampai jungkir balik memutar isi kepala hingga mengabaikan hati sendiri yang berkali-kali luka dan kecewa untuk mempertahankan seseorang yang menjanjikan bahagia. Cinta yang benar, tahu bagaimana cara mengitari kita dengan bahagia tanpa perlu memohon. Ia akan memberi tanpa kita minta berkali-kali.

Sebelum aku menghilang dari balik pintu, aku berpesan pada Bima,

"Bim, makasih ya udah ada yang jagain Nova sebaik kamu. Tapi, jangan sampai, apa yang kamu miliki, malah menyakiti dirimu sendiri."

"Je, aku bakal buat dia sayang sama aku sama seperti aku sayang sama dia."

"Oke, tapi kamu tau konsekuensi kamu apa. Jangan ngeluh ya."

Bima terdiam lagi.

Sementara aku  langsung meninggalkan Bima sendiri.
Melihat Bima seperti melihat diriku sendiri satu tahun yang lalu. Antara ingin pergi, atau percaya akan ada keajaiban mengubah kekasih yang aku banggakan menjadi manusia yang bisa mencintaiku dengan baik.

Tapi, pertanyaan yang selalu menghujani kepala adalah satu pertanyaan yang sama,

Sampai kapan begini dan rela dijatuhkan berkali-kali?



Read More




Kamis, 22 Juni 2017

Pecinta Kafe

Tiba-tiba saya tergelitik untuk menuliskan ini entah kenapa. Baru saja, saya melihat feed instagram saya yang sudah tidak teratur lagi. Foto-foto yang terpampang lebih banyak pantai, kafe, dan kopi. Sepertinya hidup saya dalam lingkaran itu-itu saja. Dan saya tersadar, kecintaan saya pada kafe ataupun kedai kopi sempat membawa saya ke kehidupan mereka. 

Mereka yang sibuk dibalik bar meracik kopi, para waiters yang ramah, ataupun sang pemilik yang berupaya menjadikan kafenya senyaman mungkin untuk pengunjung. Sebelum saya berkutat pada ranah ini, saya ingin mundur pada tiga tahun ke belakang.

Saya adalah manusia yang terobsesi pada kafe. Dulu sempat, saya membuat daftar, kafe mana yang harus saya singgahi di kota ini dengan teman-teman saya. Kafe baru mana yang harus dicoba, dan bahkan ketika ke luar kota pun, saya tidak absen untuk mengunjungi kafe paling di kenal di kota itu hanya untuk menikmati suasananya, mengabadikan momen, dan mencari ruang untuk mengobrol dengan orang-orang yang saya sayang. 

Oh, satu lagi. Kebanyakan cerita fiksi yang saya buat pun tak jauh juga dari yang namanya kafe. Seringkali saya juga curi-curi pandang ke arah barista di balik bar yang dengan tekun menyeduh kopi orderan saya. Hehehe.

Sebegitunya saya dengan kafe. Kadang, bila ada kafe yang bangunannya terbuat dari kaca-kaca besar, yang membuat saya bisa melihat aktivitas mereka dari luar, saya senang mengamati mereka meski hanya sebentar. Ini kebiasaan apa ya namanya? Entah, ada suatu kekaguman yang saya lekatkan pada kafe dan segala isinya.

Lalu Tuhan sangat berbaik hati memberi kesempatan untuk mengenalkan saya ke dalam kehidupan mereka. Saya dekat, saya hidup di dalamnya. Dengan segala kekaguman dan kenyamanan kafe yang kita singgahi, ternyata saya baru tahu ada kerumitan dan perjuangan orang-orang di balik layar untuk mempertahankan kafenya. 

Bagi saya kafe adalah tempat setiap manusia membagi cerita. Coba tebak, ada berapa cerita di setiap kepala-kepala yang sedang duduk di sofa kafe? Terkadang, saya senang mengamati ekspresi mereka yang betah berlama-lama di sebuah kafe. Entah hanya diam memandangi laptop dengan satu cangkir kopi, atau berisik mengobrol seru dengan teman-temannya.

Saya adalah manusia yang senang singgah di kafe, oh satu lagi, musiknya. Kafe nyaman, musik syahdu, latte art yang cantik, dan barista tampan, akan selalu saya gantungkan di ingatan saya. 



Read More




Jumat, 16 Juni 2017

Karena dia istimewa

Di sebelahku Niko sibuk menekan nekan tombol tape radio meski matanya tetap fokus pada jalanan lengang sore ini. Sedangkan aku, semenjak duduk di mobil memilih diam, menahan kantuk karena sudah tidak tidur hampir dua hari karena dikejar deadline dari client. Kalau aku tega dengan laki-laki satu ini yang sedang berusaha menculik aku ke Jogja, aku akan memejamkan mataku sekarang juga.

Ia tahu, aku sedikit sebal karena dipaksa ikut ditengah kesibukanku yang luar biasa kurang ajar.Tapi ia selalu tahu, bagaimana menyenangkan sahabatnya satu ini.

"Tidur aja kalo ngantuk, kalo nggak gini, kita nggak punya waktu libur Ta," Niko melirikku, aku tahu senekat apapun dia sekarang, dia juga merasa bersalah. Membawa perempuan kabur ke Jogja, dari padat dan sibuknya Jakarta.

Terakhir kali kami berlibur adalah liburan dua tahun yang lalu. Setelah kelulusan, kami merayakannya dengan long trip Bali-Lombok selama dua minggu. Liburan paling menyenangkan selama aku hidup 25 tahun sebelum tersekap dalam rumitnya menjadi orang dewasa yang diburu waktu, dituntut ini-itu.

"Gue nggak tega kali ninggal lo tidur,"

"Yaudah, cerita-cerita aja, gosipin apa gitu kek. Temen kuliah kita dulu, atau bos lo, atau client lo yang menyebalkan, atau apa ajalah nerocos aja pokoknya lo, gue dengerin,"

Aku nyengir melihat kelakuan Niko yang super pengertian ini. Empat tahun berteman membuat kami saling tahu seluk beluk hidup, dan kesukaan masing-masing.

"Hahaha apaan sih lo, gosip banget,"

"Ooh...atau..."

"Atau apa?"

"Ben. Mantan lo. Lo nggak pernah cerita apa-apa ke gue. Tiba-tiba putus. Padahal gue inget banget lo mau nikah sama dia."

Ah, dia lagi. Aku hanya tertawa hambar menanggapi pertanyaan Niko. Lalu memandangi jalanan Jakarta dan kendaraan lalu lalang di depanku.

"Kenapa sih? Cerita dong. Udah lama kan? Jadi nggak apa-apa dong lo cerita sama sahabat lo ini?"

Aku hanya mengedikkan bahuku. Aku sudah enggan bercerita mengenai laki-laki yang sempat aku bangga-banggakan di depan siapapun. Cerita lama yang sudah terlalu entah dan berusaha tak ku pedulikan lagi. Meski sejujurnya, cerita tentang aku dan Ben masih banyak menggantung di ingatan memori.

"Karena...karena dia terlalu istimewa buat gue."

Niko mengerinyitkan dahi sambil membenarkan letak kacamatanya, lalu mengamatiku sebentar.

"Maksudnya, Ta? istimewa gimana? terlalu ganteng gitu? terlalu pintar dan berprestasi? Terlalu multitalenta?"

Aku hanya tertawa lagi. Berharap aku tak perlu menceritakan detil pertengkaran aku dan Ben yang sudah terlalu lampau. Aku ingin berdamai dengan masa itu.

"Nita Larasati tolong jawab pertanyaan gue, jangan ketawa mulu lo kayak orang gila," Niko mulai sebal.

"Karena, dia itu terlalu istimewa Nik, dan gue, nggak bisa memahami keistimewaannya dia."

Aku tidak pernah siap untuk menceritakan yang sebenarnya kepada siapa saja. Dengan orang tuaku sekalipun. Biar aku saja yang tahu tentang keistimewaan Ben. Cukup aku yang tahu dengan ketidakmengertianku tentang segala ketakutan, kecemasan, dan segala keresahan Ben. Cukup aku yang tidak mengerti, pada perkara-perkara kecil yang selalu berputar di otak Ben hingga menimbulkan amarah tak terduga ditengah-tengah kami yang sedang asyik bercengkrama.
Keistimewaan Ben, yang seringkali membuatnya menjadi dua manusia berbeda dalam sekejap mata.
Aku dulu sering memeluknya, ketika ia sedih di pojok kamar memeluk kedua lututnya.
Sering menenangkan dia, ditengah kepanikannya mengenai apa saja yang...ah entahlah, aku bilang aku tidak mengerti.

"Tapi lo baik-baik aja kan sekarang?" Niko memastikan pertanyaannya tadi tidak membuat sahabat kesayangannya ini sedih.

"Tenang aja Nik, gue jauh lebih baik sekarang."

Kalau teman-temanku bertanya, kenapa aku bisa mencintai Ben dulu, dengan segala kebencian yang tersisa kini, aku juga tidak mengerti. Entah, sepertinya aku harus menanyakan kembali pada diriku sendiri, aku mencintai sisi diri Ben yang mana. 

Biar semua kepala dipenuhi tanda tanya tentang hubungan aku dan Ben yang hampir berujung pada pernikahan ini. Toh aku tidak bisa mencintai Ben sepenuhnya, mencintai dua manusia yang berbeda. Mungkin, Ben adalah pembelajaran hidup yang paling berharga yang aku punya. Bahwa, kita tak perlu berharap apa-apa pada manusia yang banyak menciptakan wacana ditengah Tuhan yang sudah menyiapkan rencana. Kita adalah manusia-manusia keras kepala, yang kadang kalau urusan cinta, membuat kita lupa padahal Tuhan sudah mengirimkan banyak tanda.

"Jadi lo sama Dira gimana Nik?" aku balik bertanya tentang hubungan Niko dengan kekasihnya.

"Kandas Ta."

"Hah? demi apa lo? Serius?"

"Kenapa?"

"Karena dia terlalu istimewa buat gue. Hahahaha"

"Ah sialan lo! Yang bener Nik?" Aku memukul lengan Niko. Kali ini benar-benar sebal.

"Iya Nita. Gue lagi patah hati. Makanya gue pengen lari ke Jogja!"

"Jadi ceritanya ada dua orang patah hati di satu mobil nih? Yang satu udah sadar yang satu baru lari dari kenyataan," aku terbahak.

Ya, namanya juga hidup. Yang kita genggam sekarang, belum tentu jadi jodoh kita di masa depan. Mobil kami melesat cepat, sementara aku membiarkan Niko menyanyikan lagu All  I want milik Kodaline meski suaranya cempreng.


But if you loved me
Why'd you leave me?
Take my body
Take my body



Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML