Sabtu, 15 Februari 2014

Come Back To You

http://weheartit.com/Whatlove?page=5

Langkahku menapaki lantai kayu dengan  mantap. Heels 5cm  membuat bunyi ketukan-ketukan seirama sesuai jejak derapku, walaupun tak kentara karena riuhnya dalam resto saat makan siang.  Sementara mataku sendiri sejak tadi sibuk menyapu seluruh isi resto yang aku jadikan sebagai tempat bertemu antara aku  dengan laki-laki yang aku cari selama ini. Bayu.
         
Ku sipitkan pandangan mataku, sembari membetulkan letak kacamataku. Tak ingin melewatkan sosok yang selama ini begitu ingin aku temui. Walaupun, aku sendiri masih mengingatnya. Semuanya, seutuhnya. Namun apakah waktu 5 tahun membuat semuanya nampak sama? Bukankah, waktu selalu mengerjakan tugasnya dengan sempurna. Mengubah apapun yang berjalan di dunia ini. Tanpa terkecuali. Entah lebih baik atau lebih buruk. 

Tanpa membuang waktuku, entah mengapa aku berjalan mendekati pada seorang laki-laki berkemeja cokelat garis yang duduk memunggungi diriku. Aku berdehem sejenak, mengatur suaraku.
           
 “Maaf, permisi.”
            
Tak perlu menghitung mundur 10 detik menunggu laki-laki itu memalingkan wajahnya ke arahku. Tanganku dingin oleh gugup, ketika melihat dirinya lagi. Bayu Hernawan.
          
 Ia berdiri, tersenyum padaku walaupun terlihat sedikit canggung, begitupun juga aku.
             
“Riyani?” Tanyanya mantap.
          
  Aku mengangguk. Lalu aku dipersilakannya duduk.
           
Oh Tuhan ! Akhirnya aku menemukannya lagi. Setelah kejadian 5 tahun silam, lewat sahabat lamaku. Entah apa yang ada dalam rongga dadaku kini, yang jelas, aku begitu bahagia melihat dirinya baik-baik saja di depan mataku. Tak ada yang berubah. Kulit cokelatnya, rambut hitamnya, matanya, senyumnya. Hanya saja, terlihat lebih rapi daripada dulu.
           
Kau tahu rasanya? Berada di hadapan orang yang dulu pernah kau sia-siakan dan keputusan tololmu membuatnya benar-benar pergi dan menghilang pada peredaran matamu? Dan sialnya, kau terjebak pada pilihanmu sendiri. Kepergiannya meninggalkan setumpuk penyesalan dan menjadikanmu seseorang yang paling jahat dari seorang pembunuh sekalipun?
            
Kau tahu rasanya? Ketika kau berharap waktu hanya bercanda, berharap dia hanya bersembunyi, lalu datang padamu lagi meminta kesempatan, namun pada kenyataannya pada batas lelahmu, hari yang kau harapkan tak pernah datang? Hingga akhirnya, kau hanya bisa berdoa pada sisa-sisa harapanmu.
            
Aku tahu rasanya. Dan saat aku hampir menyerah kalah. Pada sesal yang semakin berlimpah ruah, hari itu datang. Dia kembali. Aku menemukannya. Di sini.
             
Kami sama-sama canggung. Memulai obrolan seperti dua orang asing yang belum mengenal satu sama lain. Seperti memulai dari awal, seolah tak ada apapun yang terjadi di antara kami. Seperti yang aku bilang, waktu menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi setidaknya, dia bisa menerimaku lagi. Itu sudah cukup.
          
“Maaf Bay.” Akhirnya aku mengatakannya.
             
Keningnya berkerut. Tak mengerti. Tapi aku yakin, waktu 5 tahun tak akan membuatnya lupa. Karena pada luka, tak ada kata lupa. Setiap goresnya adalah bukti, semua yang pernah dialami itu nyata.
            
 “Untuk apa?” Ia bertanya, seolah masih tak mengerti.
            
Dia melupakannya? Benarkah? Bahkan aku masih bisa mengecap rasanya sampai saat ini.
          
“Maaf, untuk yang telah lalu. Waktu itu aku benar-benar  nggak bermaksud untuk menyakiti kamu, atau siapapun.” Aku mendesah. Gelisah. Takut mengacaukan pertemuan kali ini. Memperburuk dengan pernyataan. Tapi ini tujuanku mencari dirinya. Untuk meminta maaf.
             
Diluar dugaanku, ia malah terkekeh. Singkat.
           
“Aku sudah memaafkanmu sejak dulu Riyani. Tak usah dipikirkan lagi. Aku juga meminta maaf karena mengusikmu dengan surat-suratku. Mengusikmu dengan kehadiranku yang tiba-tiba. “
             
Aku menatapnya nanar. Apa rasa sakit itu masih ada? Surat-suratnya yang selalu membanjiriku, yang selalu aku baca namun tak pernah aku balas. Surat-surat yang pada akhirnya menumpuk di pojokkan jendela kamar. Aku biarkan. Tak aku acuhkan.
           
Hingga suatu saat, tak ada lagi kiriman surat darinya. Hanya ada surat-surat dari laki-laki lain seperti sebelumnya. Ada yang menyelinap, mengacaukan pikiranku. Meski seringkali aku menyangkal, aku menyadari, aku menunggu surat-surat darinya. Merindukan sapaan dan cerita dari barisan paragrafnya.
           
“Kamu nggak perlu minta maaf, Bay. Karena aku sadar, aku yang salah. Dan terimakasih kamu sudah memaafkan aku.” Aku tersenyum simpul menatap kedua bola matanya.
           
“Sudahlah, itu kan sudah lalu. Jangan kamu ungkit-ungkit lagi.” Ia mengibaskan tangannya. “ Ohya, maafkan aku karena aku tak menemuimu ketika perpisahan sekolah. Aku harus pulang ke Surabaya, ada acara mendadak. Maafkan aku tidak memberimu kabar.”
            
Aku tersentak mendengarnya. Aku menelan ludah. Benarkah apa yang dikatakannya? Tidak, dia berbohong mengenai itu. Aku melihatnya dulu. Aku sempat melihatnya dengan kamera baru ditangannya. Kamera yang katanya ia beli dari hasil tabungannya sendiri.
           
Sehari sebelumnya, ia mengirimiku sebuah surat lagi setelah berbulan-bulan ia tak mengirimiku surat. Isinya tidak seperti biasanya. Tidak terlalu panjang.
            
 “Aku baru saja membeli sebuah kamera baru. Sama sekali belum aku pakai. Bila boleh, izinkan aku menjadikanmu objek pertama yang aku potret, lalu mengabadikannya sebelum kita tidak saling bertemu lagi. Sampai bertemu di perpisahan besok.”
            
 Ya seperti itu isinya, aku masih mengingatnya dengan jelas. Aku melihatnya terakhir kali, meninggalkan aula sekolah lalu pergi dengan vespa putihnya. Dan aku menyadari, aku telah membuat kesalahan, karena pada saat yang sama, Dimas, kakak kelasku, menggenggam erat tanganku menyatakan cintanya.
            
Tebak apa yang aku perbuat saat itu. Aku hanya berdiri, terpaku dan terdiam. Tak melakukan apapun. Setelah itu aku kehilangan kabarnya, ia tak meninggalkan jejak sama sekali. Ia menjauh, hilang. Dan aku memilih pergi, dengan sejuta rasa bersalah di sudut hati.
           
Aku hanya mengangguk. Seolah aku mempercayai apa yang dikatakannya. Biarlah, aku tak ingin menguak luka.
            
“Jadi? How’s life? Siapa yang menjadi pendampingmu saat ini?” Dia tersenyum tenang, sembari menyeruput kopi luwaknya.
          
Aku tertawa, sungguh. Aku tertawa. Lalu menggeleng.
           
Bayu memandangiku dengan tatapan tak percaya, “Kamu bohong kan?”
           
“Bener. Aku lagi serius dan fokus sama kerjaanku sekarang.” Kali ini aku tidak mengada-ada. Lagipula buat apa terburu-buru jika memang belum ada yang tepat.
           
“Seorang Riyani Anjadewi, belum menemukan seorang pendamping? Kamu bercanda kan? Cewek bintang sekolah yang setiap hari menjadi perbincangan hangat seantero sekolah belum menemukan cintanya?”
             
Aku terkekeh. Walaupun kalimatnya barusan menusukku. Menamparku, bahwa betapa aku terlalu angkuh dihadapannya dulu.
            
“Memangnya dari sekian banyak laki-laki nggak ada yang nyangkut apa?” Ia melanjutkan pertanyaannya.
             
“Nyangkutnya di kamu mungkin.” Aku tertawa lagi. Namun Bayu terdiam, membuatku mengehentikan tawaku.
           
Apa yang salah? Batinku. Beberapa detik kami saling terdiam. Lalu aku kembali lagi memberanikan diri untuk bersuara.
           
“Apa kamu sudah punya pendamping? Pasti cantik, baik. Oh ya, dan pastinya pandai memasak. Benar kan tebakanku?”
             
Dia menyeruput kembali kopinya, sebelum menjawab.
           
“Yah, sama seperti kamu. Belum ada perempuan yang tepat. Apalagi seperti yang kamu bicarakan. Sejauh ini aku sedang sibuk dengan proyekku.”
            
Oh? Begitukah? Aku harap dia tidak berbohong kali ini. Ya, dari dulu dia bermimpi menjadi arsitektur. Dan kini ia mendapatkannya.
           
Kami hanyut pada obrolan. Tentang apa saja. Seperti dia dengan segala sesuatu mengenai arsitektur dan aku sebagai designer. Walaupun kami terkadang tidak saling mengerti, setidaknya kami menjadi lebih banyak mendengarkan. Sangat menyenangkan rasanya.
           
“Udah sore ternyata, nggak terasa ya.” Ia melirik jam tangannya. Senyumnya bias. “Ya, mungkin hari ini cukup buat obrolannya. Aku seneng bisa ketemu kamu lagi.”
          
 Aku hanya tersenyum simpul, mengagguk. Walaupun pada detik yang sama aku berharap waktu dapat berputar kembali. Kembali pada dua jam sebelumnya, mengulang cerita, menatap matanya, memperhatikan senyumnya, menikmati suara tawanya, merekam semuanya lewat inderaku. Oh tidak, apa yang aku pikirkan tadi? Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Lalu cepat-cepat beranjak dari tempat dudukku. Menutup semuanya. Bukankah berarti urusanku sudah selesai? Datang, temui, dan meminta maaf. Itu saja. Lalu apa yang aku harapkan?
            
 “Riyani..” Bayu memanggilku, sebelum aku masuk dalam mobil.
          
  Aku berbalik, mengahadapnya yang berjarak sekitar 2 meter dari tempatku.
           
 “Ya..?”
           
 “Aku berharap, ucapan kamu benar adanya.”
           
 “Hah?” Aku melongo, tidak mengerti. Ucapan yang mana? Yang bagian mana?
            
 “Ah sudah, lupakan saja.”
           
 Aku masih terdiam, memberinya kesempatan mengatakan sekali lagi.
             
“Gimana kalau besok aku jemput kamu di butikmu waktu jam makan siang?”
           
Aku terdiam, seolah berpikir. Dan dirinya terlihat ragu jika aku menolaknya. Lalu akhirnya aku mengangguk, “Sampai jumpa besok.”
           
 Aku melihat matanya berbinar.Ia berusaha menyembunyikan senyumnya. Walaupun gagal. Aku melihatnya jelas.

                                                                                 ***
“Sampai jumpa besok.” Aku mengulangi kalimatku lagi, lirih. Besok, besok dan besoknya lagi hingga seterusnya. Semoga.
           
 Aku tidak percaya pada teori cinta pada pandangan pertama. Karena, yang ada adalah rasa nyaman setelah kau mengobrol dua jam tentang apa saja, berdua. Dan tiba-tiba kau akan merindukan obrolan panjang lebih dari dua jam. Seperti obat, selama kau meminumnya berulang, dengan sendirinya, kau harus menambahkan setiap takaran dosisnya untuk menyembuhkan sakitmu. Begitupun rindu, kau harus menambahkan waktu bersama untuk mengobati rindumu.
            
 Aku pikir kami hanyalah menjadi sebuah cerita. Cerita pahit pada bibir kami masing-masing. Namun kenyataannya, cinta dan takdir bergabung menjadi konstelasi sempurna. Mereka tak pernah gagal mempertemukan dua orang yang terpisah jarak yang memang ditakdirkan untuk bersama. Ya, bersama, semoga.



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML