Minggu, 20 April 2014

Je'adore




http://weheartit.com/ArishaJazzy



Di penghujung Desember, selalu menjadi bulan yang berteman dengan hujan. Mereka turun seenaknya, seakan-akan semesta ini adalah rumah abadinya. Meski bagi pemuja hujan selalu merindukan rintiknya, mengamati dibalik jendela sambil bersembunyi dibalik kehangatan, entah pakaian atau selimutnya. Bagiku, mereka lucu. Bagaimana bisa mereka mengaku menyukai hujan, bila mereka selalu berteduh dan enggan menikmati dinginnya hujan ketika satu per satu rintiknya turun menghujam tanah melalui mata mereka. Untungnya, aku bukan salah satu dari para pemuja hujan. Buktinya kini aku sedang duduk manis, mencari kehangatan di dalam sebuah kafe.

Nama kafenya Je'adore. Aku selalu suka ke sini. Entah bersama teman ataupun sendirian. Sudah tiga bulan aku sering mampir di kafe ini. Terkadang menghabiskan waktu sendirian ataupun mengerjakan tugas kuliah yang selalu membuatku frustasi dengan deadlinenya.

Jika ada yang bertanya mengapa aku lebih memilih ke kafe ini daripada kafe yang lain, aku hanya tersenyum. Karena aku benar-benar tidak tahu jawabannya. Kafe ini tidak terlalu istimewa. Seperti kebanyakan lainnya, kafe ini mempunyai dekorasi unik sebagai ciri khasnya. Dinding-dindingnya penuh dengan foto poster penyanyi era 70an hingga 80an, seperti Elvis Presley, Jon Bon Jovi, John Lennon, The Beatles, dan sebagian besar lainnya aku tidak tahu.

Je'adore selalu mampu membuatku nyaman dengan suasananya. Lebih nyaman ketimbang kamarku sendiri. Walaupun banyak yang bilang, rumah selalu menjadi pilihan pertama untuk kenyamanannya. Bagiku, rumah tidak selalu tempat yang kini kau tinggali selama ini. Beberapa pujangga mengatakan rumah bisa saja bukan tempat, melainkan orang. Bukankah begitu? Seperti kafe ini, yang sudah aku anggap rumah kedua bagiku. 

Lantainya terbuat dari kayu, setiap aku melangkahkan kaki lantainya selalu berderak. Itu sama sekali tak mengganggu. Malah, menjadi salah satu alasan bagiku untuk merindukan kafe ini. Oh ya, satu lagi yang aku sukai , begitu kau masuk membuka pintunya, aroma tumbukan kopi asli menguar dari balik meja bar, dan alunan musik sekitar 80an akan segera memenuhi lorong-lorong telingamu. Terkadang aku merasa, aku mempunyai mesin waktu ketika berada di kafe ini. Sungguh. Sekali mengujunginya, kau pasti akan ketagihan.

Disadari ataupun tidak, setiap orang yang mengaku dirinya hidup di zaman modern yang penuh kompleksitas ini pasti tak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya, kerena hanya itu itu saja. Berkisar antara kemacetan, pekerjaan yang menumpuk, tuntutan dari berbagai pihak, dan sebagainya. Di kafe ini kau akan menemukan kedamaian sendiri. Bersembunyi sebentar dari hiruk pikuk kota, hanya untuk mengambil napas, atau bahkan hanya untuk merasakan jantungmu masih memompa aliran darahmu, dan kau masih mempunyai jiwa yang seharusnya kau bahagiakan.

Setiap sudut kafe ini pernah aku coba satu per satu. Dan semuanya selalu berhasil membuatku nyaman dan lupa waktu. Khususnya, meja tepat di sebrang meja bar. Aku bisa leluasa memesan satu dua minuman tambahan tanpa harus berdiri. Hanya melambaikan tangan, dan seorang barista akan melihatku, lalu tersenyum sambil meracikkan kopi pesananmu.

Sebenarnya yang aku sebut leluasa di sini adalah, aku bisa mencuri pandang ke arahnya semauku. Seorang barista berambut ikal yang mempunyai lesung pipi ketika melengkungkan bibirnya. Entah semuanya begitu sempurna di mataku. Setiap gerakannya mempunyai sihir tersendiri untukku. Yang membuatku selalu hilang kendali pada detik-detik pertama melihatnya.

Denting gelas ketika ia mulai meracik kopi pesanan menemani imajinasi liarku ketika memperhatikannya lamat-lamat. Setelah tiga bulan lamanya aku menjaga jarak untuk memperhatikannya, akhirnya kemarin malam aku memberanikan berkenalan dengannya.
Meski, yah hanya sekedar berbasa-basi dan mempertanyakan pertanyaan bodoh yang malah membuatku semakin aneh di matanya. Tapi setidaknya, namaku tercatat di memori otaknya. Salah satu hal sederhana ketika orang yang kau kagumi tahu kehadiranmu di sana.

Ting !
Aku mendongakkan kepalaku, ia baru saja menekan lonceng. Pesananku sudah jadi.Seharusnya hot latteku yang masih menguarkan uap yang aku pandangi. Namun, senyumnya masih menjadi objek pertama yang aku cari dan selalu aku dapati.

"Pulang kuliah?" tanyanya ramah.

Aku menggeleng, "Dari rumah."

Ia mengangkat salah satu alisnya, kemudian tertawa.

"Kenapa? Apa yang salah?"

Ia tertawa kecil sambil mengedikan bahunya. "Nggak apa-apa. Cuma heran, kamu terlalu sering ke sini." 

"Memang kenapa? Bukannya itu bagus? Kafe ini tidak akan sepi pengunjung walaupun hanya ada aku di dalamnya"

"Yah, kau tahu maksudku, Clara."

Oh God ! Dia memanggil namaku! Oh apa yang harus aku lakukan kini? Jantungku berdebar. Menunggu apa yang diucapkan selanjutnya.

" Lebih banyak, yang menjadikan kafe ini tempat singgah, bukan tujuan utama. Toh kalau menjadikan tujuan utama mereka tidak sendirian."

"Kau mengejekku? Harusnya kau senang, ada orang sepertiku menjadikan kafemu ini tujuan utama," Aku menggerling.

"Aku hanya heran."

"Tak perlu heran, ketika seseorang menemukan kenyamanannya, ia melakukan segalanya seperti bernapas, Jo."
Ia mengangguk tak acuh, lalu melanjutkan dengan kesibukannya. Sedangkan aku sendiri masih berdiri di depan meja bar, tak bergeser sedikitpun.

"Bagaimana denganmu, Jo?"

"Apa?" Ia menoleh sebentar.

"Apa kau tidak bosan berada di balik meja bar ini selama berjam-jam hanya untuk mengerjakan hal yang sama?"

Sambil meracik bubuk kopi, ia menjawab "Aku mencintai pekerjaan ini. Jika kau mencintai apa yang kau lakukan, semuanya terasa seperti bernapas. Dan itu menjadikan awal pagimu lebih baik, karena alam mimpimu tak seindah dunia nyata yang kau pijak. Seperti yang kau bilang tadi." 

Kami terkekeh. Saat-saat seperti ini selalu menyenangkan, membuatku berharap aku mempuyai tombol rewind untuk mengulanginya lagi dan lagi. Ia masih sibuk meracik kopi pesanan pengunjung lain yang sudah ramai berdatangan.Alih-alih kembali ke tempat dudukku, aku malah tetap berdiri di situ, tak bergeser sedikitpun

"Mau berapa lama kau ada di situ?"

"Entahlah, aku masih asik memeperhatikanmu meracik bubuk bubuk kopi itu. Tanganmu ajaib, Jo." Aku tertawa kecil, "Teruslah bekerja, Aku harap aku tidak menganggumu."

Ia menyunggingkan senyumnya, "apa kau tidak capek berdiri si situ?"

"Sama sekali tidak." Aku menyesap hot latteku yang mulai mendingin, lalu melanjutkan perkataanku, "Karena aku melakukannya seperti bernapas."

Aku tersenyum. Tangannya berhenti mengaduk kopi buatannya yang hampir selesai, ia mendongak ke arahku. Dan aku menangkap keterkejutannya pada tatapan matanya.
Jantungku berdebar kian cepat. Dan itu mengganguku, aku harap ucapanku tidak mengacaukan semuanya. Ya Tuhan...
Aku mengerutkan keningku, Jo malah mencopot celemek hitamnya, tanpa berkata sepatah katapun.

"Sudah selesai? Mau ke mana?" tanyaku gugup.

Ia tersenyum lama memandangiku, lalu akhirnya bersuara, "Aku hanya ingin membuatmu bernapas lebih lama. May I?"
***




Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML