Cerita sebelumnya>> Selamat Tinggal (!)
Hampir pagi. Dan aku masih terjaga di pojokkan kamar. Masih
terdiam seperti berjam-jam yang lalu. Ditemani bercangkir-cangkir kopi dan
puntung-puntung rokok yang aku geletakkan di tepi jendela kamarku. Tak peduli
sudah berapa cangkir kopi yang aku minum malam ini, dan sudah berapa batang
rokok yang aku hisap untuk menghabiskan sisa malamku, walaupun aku tak berniat
untuk membunuh waktu sendirian.
Mataku
menatap kosong layar laptop yang menyala di hadapanku sedari tadi. Sesekali
melirik ponsel yang berada di samping kakiku. Menghisap panjang batang rokokku
yang tinggal setengah lalu mengehembuskannya pelan. Tak ada satupun pesan masuk
di sana. Hanya terpampang fotoku dan Rania sebagai wallpaper handphone. Aku
merindukannya, sungguh. Bahkan kepulan-kepulan asap rokok ini menjadi aroma
parfum yang sering ia pakai di hidungku. Pengecut ! bahkan aku tidak bisa
mendefinisikan rasa yang menyeruak dan mendesak rongga dadaku. Aku ingin Rania
berada di sini. Memeluknya, menjaganya dalam dekapanku, lalu mengecupnya pelan-pelan.
Tembok pertahananku perlahan retak, runtuh. Aku tak bisa mengelak, jika aku
benar-benar mencintainya.
Aku
tersenyum kecut menatap layar ponselku. Mana mungkin Rania mau menghubungiku
hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun untukku? Mungkin ia sudah lupa,
atau bahkan ia tak pernah menganggapku lahir di dunia ini. Terlebih setelah
pertemuan tak terduga dengannya dua bulan yang lalu di Malioboro. Aku masih
mengingatnya dengan jelas. Wajah cantiknya yang terkena pendar cahaya lampu
kota. Ia tersenyum hangat menjabat tanganku walaupun terlihat sedikit canggung.
Senyum yang selalu ia tujukan padaku, dulu. Senyum yang teramat sangat aku
rindukan detik ini. Namun senyumnya lenyap dalam sekejap waktu itu, lalu ia
melepaskan jabatan tangannya. Aku dapat merasakan matanya memanas saat itu.
Matanya terpaku pada gelang bodoh yang baru aku pakai. Ah, tentang gelang itu.
Gelang pemberian Kelline sebelum ia kembali lagi ke negara asalnya sebagai
kenangan dan ucapan terimakasih untukku. Tak lebih. Entah apa yang ada di otak
Rania saat itu hingga mulutnya terkunci rapat dan berpamit meninggalkan aku.
Jam
digital di laptopku telah menunjukkan pukul 03.00 tepat. Dan aku tak mendapati
satu pesan pun di ponselku. Mau gila
rasanya jika berada di posisi seperti ini. Seakan-akan puntung-puntung rokok
itu menertawakanku. Ah, ternyata aku telah menghabiskan mereka tanpa sisa. Tak
ada cadangan sekotak rokok pun di sini. Sial !
Aku
terkejut, ketika ponselku bergetar. Aku meliriknya dengan tatapan ragu.
Berharap aku tak lagi berhalusinasi, mana bisa kandungan nikotin sekotak rokok
dapat membuatku berhalusinasi? Yang benar saja! Degup jantungku semakin cepat ketika
jariku menekan layar handphoneku untuk membuka pesan. Mungkinkah Rania?
Nomor tak dikenal? Siapa? Apakah Rania telah mengganti nomor
teleponnya? Aku membukanya dengan tergesa.
Blackberry
murah. Diskon 50% Gemini, Dakota. Dapatkan segera di toko kami. Cek website...
Sialan!! Aargh ! toko sialan !
percuma saja jantungku berdegup sangat cepat demi sms sampah seperti itu ! Aku
melemparkan handphone-ku di atas
kasur. Bisa-bisanya aku menjadi sebodoh ini.
Aku menatap layar laptopku lagi,
melihat foto profil facebook Rania yang sedang tersenyum dengan seorang
laki-laki yang merangkulnya. Aku tutup layar laptopku. Menutup semua rasa dalam
segala kenang yang tersisa. Menutup mata terhadap pintu masa lalu yang selalu
terbuka lebar untuk menyeret aku dalam pusarannya yang semu. Berusaha melepas semuanya, tanpa sisa.
Ini aku. Ini hidupku. Dan kamu dengan hidupmu.Mungkin
Tuhan tidak menciptakan kita dengan jiwa yang sama. Ini keputusan kita walau
bukan kamu yang mau. Jadi, aku mau pergi dari ruang yang selalu membuatku
terlalu hina jika lebih lama tinggal di sini. Maaf jika aku terkadang munafik dan terlalu naif. Jika Tuhan menginginkan kita lagi untuk di letakkan
di garis yang sama, semuanya akan kembali seperti semula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar