Senin, 04 Januari 2021

Bianglala

Kau adalah bianglala,

permen gulali warna-warni,

   lagu pesta di lantai dansa,

tarian-tarian festival seni,

meriahnya letusan kembang api,

dan segala rupa kegembiaraan,

 yang tak pernah aku duga.


Ini tentang kamu, yang belakangan tiba-tiba jadi rajin membaca tulisan-tulisan di sini padahal sudah lama. Kepada laki-laki yang nggak mau buncit tapi melarang perempuannya untuk diet. Kepada laki-laki yang tiba-tiba suka memeluk dari segala arahngga peduli perempuannya sedang sibuk cuci piring atau bekerja. Kepada laki-laki yang rela menghentikan game favoritnya demi melihat wajah tiga dimensi perempuannya yang sedang mau dimanja. Kepada laki-laki yang nggak pernah marah atau ngomong dengan nada tinggi padahal pernah tersesat 25.5 kilometer jauhnya dari Jakarta karena harus nyasar ke Bekasi. Kepada laki-laki yang mengarungi kesabaran ketika perempuannya sedang pada mode komputer pentium lima. Kepada laki-laki yang rela menempuh perjalanan Jakarta-Tangerang pada dini hari karena hanya ingin menemui perempuannya. Kepada laki-laki yang selalu berupaya dan memberikan terbaik yang ia punya, aku berterima kasih.

Walaupun kamu terlambat hampir satu jam menjemput aku di bandara waktu itu, walaupun kamu menyatakan cinta pertama kali di ambang pintu kamar dengan mengikat tali sepatu, walaupun kadang kamu cemburunya minta ampun kalau aku dekat dengan teman pria, walaupun kadang bikin bingung soal makanan karena kamu nggak suka ikan dan kurang suka sayur, walaupun kamu suka kebanyakan minta maaf padahal sudah memberi lebih. 

Sayang, aku mau masukin kamu di blog ini sebagai tanda kalau kamu bagian dari hidup aku. Biar kalau blog ini ada yang iseng baca, mereka tau, penulis yang kebanyakan punya cerita-cerita menyedihkan di sini, sedang bahagia-bahagianya ngejalanin hubungan sama kamu. Perempuan yang pernah meyakini, kalau akan ada yang menghargai, mencintai, menjaga, dan memperlakukan aku dengan baik. Dan itu ternyata kamu. 

dan semoga terus kamu. 

Tuhan, boleh ya sama dia?

walaupun bakal diketawain sama Tuhan katanya nggak mau sama yang sekantor dan seumuran apalagi brondong.

hehe.

aminin nggak? 



Read More




Jumat, 09 Februari 2018

Entah ini apa

"Ada satu kotak dalam kepalaku, yang menyimpan lagu-lagu favoritmu. Juga, hal-hal yang kau sukai, dan segalanya tentang kamu. Aku tidak tahu, kenapa aku harus menyimpannya dalam kotak ingatan, mungkin karena kamu orangnya. Atau mungkin saja, kau sebaiknya ada di ingatan, bukan pada kenyataan."


Aku tahu ini berat, atau mungkin tidak akan berat jika aku tidak memikirkannya sejauh ini. Tidak akan berat, jika aku tidak mempedulikan perasaanmu bagaimana nanti. Tidak akan berat, jika aku pura-pura tidak tahu bagaimana kamu terhadap aku.

Aku tidak ingin membelenggumu dalam tawa dan perbincangan yang menyenangkan setiap hari. Aku tidak ingin kau mengikat sesuatu kepada hal yang tak ingin terikat. Aku tidak ingin mematahkan kamu ketika perasaan itu tumbuh semakin kuat setiap waktu yang kita lalui bersama.


Jika aku ingin memberi makan egoku, aku bisa memintamu untuk melakukan apapun yang aku mau. Jika aku memberi makan egoku, aku akan terus menghubungimu untuk mengisi waktu kosongku. Jika aku memberi makan egoku, aku akan membelenggumu untuk selalu ada untuk aku. Jika aku memberi makan egoku, aku tidak akan keberatan pada semua hal-hal mengejutkan yang kadang kau lakukan kepadaku. Tapi aku menyayangimu sebagai manusia yang punya hati dan perasaan. Aku menyanyangimu dan peduli, maka aku harus berhenti untuk tidak berada di dekatmu lagi. Karena ketika kau melakukan apa saja, hati aku belum siap menerima, dan aku tidak bisa menjanjikan apa-apa.  
Read More




Jumat, 24 November 2017

Ambisi


"Terlalu pengen, terlalu ambisi untuk mendapatkan sesuatu membuat kita lupa, sebenarnya manusia tugasnya cuma berusaha dan bertawakal. Tapi ketika kita tidak memiliki ambisi, kita tidak akan merasa kalah dan tertinggal daripada orang lain"

Baru aja saya nonton videonya Gita Savitri tentang opininya yang berjudul cita-cita. Lalu setelah menonton itu semua, saya tersenyum. Akhirnya, ada yang menyuarakan pendapat saya. Akhirnya saya menemukan orang yang sepemikiran sama dengan saya setelah saya merasa tersisih dari pendapat pendapat yang menyudutkan jawaban saya ketika ditanyai cita-cita.

Saya, tipikal orang yang tidak tahu saya mau jadi apa, besok harus kerja di mana atau semacamnya. Serius. Saya bukan orang yang visioner, yang penuh dengan ambisi dan berbagai planning untuk mewujudkan itu. Awalnya saya khawatir melihat beberapa teman, dan orang terdekat sudah merencanakan hidupnya. Yang tau sepuluh tahun lagi akan jadi apa. Yang telah menyiapkan planning A sampai Z.

Saya salut dengan orang-orang visioner yang berani dengan segala ambisinya, yang tahu mau dibawa ke mana arah hidupnya. Dibanding saya, yang hanya menjalani apa yang ada. Ada yang bilang,

"Hidup tuh jangan  mengalir kayak air, kamu nggak punya pegangan,"

"Cuma ikan mati aja yang berenang ikut arus,"

atau yang lebih parah lagi,

"Tai dong, mengalir di air."

Emang salah ya? kalau saya menjalani hidup saya dengan seperti itu? Sejauh saya tidak melenceng dari aturan, sejauh saya berikhtiar dan berusaha sebaik mungkin hari ini. Karena yang menjadi pegangan saya sampai detik ini adalah,

"Ketika kamu melakukan yang terbaik, Tuhan akan memberikan hal yang paling baik pula,"

Ketika saya selalu berusaha, bekerja keras meskipun saya nggak tahu di ujung perjalanan saya akan menjadi apa, saya percaya, Tuhan akan mengarahkan saya ke tempat yang benar, tempat yang layak atas segala usaha saya.

Ibarat air, saya akan diberi muara yang bersih. Bukan kubangan, atau sungai kotor.

Saya berada di titik ini, menjadi mahasiswa Komunkasi Undip sejujurnya bukan keinganan saya. Bukan cita-cita saya. Entah, jika menoleh ke belakang, catatan perjalanan saya itu tanpa saya rencanakan. Saya tidak berekspektasi akan masuk SMP favorit, saya tidak berekspektasi masuk SMA RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), dan saya tidak berkespektasi akan masuk Komunikasi Undip, dapat bersaing dengan puluhan ribu orang di luar sana, dan mendapatkan dengan jalur undangan.

Meskipun saya menjalani apa yang bukan rencana dan keinginan saya, saya merasa saya selalu berada di jalan yang tepat, karena saya bisa menikmatinya. Kini, saya sangat bersyukur dan dapat menikmati status saya sebagai mahasiswa Komunikasi.

Demi Allah, saya tidak pernah merencanakan setiap pencapaian-pencapaian saya. Seperti yang Gita bilang, ketika kita tidak memiliki ekspektasi dan ambisi, kita tidak akan merasa ketinggalan dengan orang lain. Kita tidak akan membanding-bandingkan dengan pencapaian orang lain dan kecewa karena sebelumnya kita tidak berkespektasi apa-apa. Yang ada, ketika kita berada di titik itu, hati kita akan dipenuhi rasa syukur teramat sangat.

Saya tahu, orang yang memiliki ambisi itu tidak buruk. Bagus karena mereka memiliki semangat dan motivasi yang tinggi. Tapi saya tahu betul, lelahnya menjadi orang yang memiliki ambisi tinggi ketika apa yang dicapai tidak sesuai ekspektasi.

Karena saya dekat dengan orang orang tesebut.

Saya ingat, ketika jawaban saya ditertawakan oleh orang yang pernah paling dekat dengan saya, dulu. Ketika ia menyalahkan prinsip saya. Ketika ia tidak membenarkan pilihan saya menjalani hidup. Ketika baginya, hidup itu harus terencana.

Dan saya masih ingat, saya melihat dia sangat terpukul sampai harus memeluknya, melihat ia menangis di depan saya, melihat segala keputusasaan dirinya, karena hasil yang ia terima tidak sesuai ekspektasi.

Ya, jadi begitulah. Tidak apa-apa sebenarnya, jika kamu tidak tahu mau jadi apa kelak. Tapi kamu sebenarnya harus tau, kamu dilahirkan di dunia ini untuk apa.
Karena setidak tahunya saya akan jadi apa kelak, saya punya keinginan untuk berbagi ilmu dengan anak-anak yang tidak seberuntung saya. Berbagi apa-apa yang saya punya, untuk memperbaiki kehidupan ini.

Memang, kata Gita, impian seperti itu terlalu abstrak, dan nggak realistis. Tapi, jangan lupa, Tuhan  Insha Allah akan selalu memberikan jalan, seabstrak apapun keinginan dan cita-cita kita, selama itu baik.

Jangan takut miskin atau kekurangan, karena kita punya Tuhan yang menjamin hidup kita. Balik lagi, ketika kita melakukan yang terbaik, Tuhan akan memberikan hal yang paling baik.
\
Read More




Rabu, 11 Oktober 2017

Terlambat

 Ada saatnya semesta menyadarkan kita, ia adil dalam memberikan luka.


"Keyla?"

Dia menoleh sambil membenarkan barang belanjaan yang memenuhi tangannya. Kedua matanya membesar, mungkin kaget melihat laki laki di hadapannya kini. 

Aku tersenyum, meski ia terlihat canggung. 

"Gerry? Sama siapa?"

Lalu kami menyusuri jalanan malioboro yang tak pernah sepi oleh pejalan kaki. Ia lebih banyak diam, dan aku dengan ketololanku masih bingung mencari obrolan cocok untuk mencairkan suasana, meski banyak tanda tanya yang menggantung di kepala. 

"Kerja di mana sekarang Key?"

"Di agency advertising Jakarta, kamu sendiri?"

"Coba tebak?"

"Apa? Kontraktor? Juragan minyak?" 

Aku tertawa. Dia tertawa. 

"Aku jadi wartawan foto sekarang" aku menunjukkan beberapa hasil fotoku lewat kamera dslr yang sedari tadi menggantung di leherku. Ia menggangguk, dan mengamati sebentar. 

Seperti langit dan bumi. Kami jauh berbeda. Aku yang suka berpetulang, dan dia bukan orang lapangan. 

"Jadi, kamu udah keliling Indonesia dong? Secara kamu kerja di media travelling?" 

Aku tersenyum, "yaa bisa dibilang begitu, tahun lalu aku sempat ke Belanda ada tawaran kerja di sana." 

Belanda. Tempat yang ia impikan dulu. Masa yang pernah ada dan masih ku ingat hingga kini. Aku tahu, ia sangat tertarik obrolan ini. Ia melongo, takjub melihatku.

"Wow, enak banget. Aku belum kesampaian ke sana. Asyik ya jadi kamu,"

Aku terdiam. Mencari cari apa asyiknya jadi aku. Berkelana, melihat dunia, tapi setelahnya, aku tak tahu harus pulang ke mana. 

"Hmm mama kamu gimana? Baik?" tanyanya lagi.

Aku hanya bisa menghela napas, "InshaAllah baik Key, dijaga Tuhan di surga"

Langkah Keyla terhenti. Lalu menghadap aku, matanya berkaca-kaca,

"Aku minta maaf Ger, aku gatau kabar itu. Turut berduka cita ya," Ia mengelus pundakku. 

Rasanya aku ingin luluh dalam rengkuhnya detik itu juga. Ingin kembali ke lima tahun yang lalu saat peluknya masih ada untukku. 

Seandainya bisa, aku ingin memperbaiki semuanya, aku adalah laki laki pengecut yang menorehkan luka pada Keyla. Aku yang meninggalkan dia, aku yang pergi tak ingin ditemui. 
Tapi setelah aku berhasil lepas kemudian mencari, tak kutemukan perempuan yang lebih baik lagi.  

Dan malam ini, sepertinya semesta sedang kompak berkolaborasi dengan hati. Setelah puluhan tempat aku singgahi, tapi di sini, aku menemukan dia lagi, di kota aku dan Keyla pertama kali dipertemukan. Tapi apakah semuanya bisa aku perbaiki?

"Hotel kamu masih jauh? Mau naik becak aja?" 

"Enggak usah, aku lebih suka jalan kaki," sahut Keyla di sampingku. 

Tubuhnya yang mungil, matanya yang besar, senyumnya yang lebar, ini adalah perempuan yang pernah mencintaiku begitu sabar dengan segala kekurangan yang aku miliki. Tapi, pantaskah aku meminta kembali? 

"Key?"

"Ya?" Ia mendongak melihatku

"Maafin aku yang dulu ya," suaraku lirih

"Udah, lupain aja, bukannya semuanya nggak bisa dipaksa?"

Aku tersenyum. 

"Aku jahat banget sama kamu dulu."

"Emang," dia tertawa

Aku semakin mati kutu. Ingin menampar diriku sendiri berkali kali detik ini.

"Key?"

Sebelum menjawab handphone Keyla bergetar, ia mengambil dua langkah di depanku, lalu bercakap terburu dengan orang diseberang telepon. Lalu Keyla menghampiriku setelah menyelesaikan obrolannya. 

"Yuk, hotelku di gang ini. Kamu mau ke mana?"

"Nganterin kamu dulu aja"

Aku lihat pipinya bersemu merah. Wajahnya yang salah tingkah selalu bisa ku tebak karena sedari dulu tak pernah berubah. 

"Key?"

"Ya?"

"Maafin aku ya?"

"Iya Ger, gimana sama perempuan itu dulu? Yang pernah menggantikan aku?" 

Aku terdiam. Menggeleng. Dasar laki laki brengsek. Dan sejujurnya, aku tidak pernah mencintai perempuan lain sebaik aku mencintai Keyla meski aku pernah mendua. 

Key, tidak ada yang pernah menggantikan kamu. Tidak ada yang pernah mencintaiku sebesar dan sesabar kamu.Tidak ada aku lagi yang mencintai perempuan lain, sebanyak aku mencintaimu, dulu. 

Aku larut dalam pikiranku sendiri, semuanya berkecamuk jadi satu. 

"Sampai Ger. Makasih ya udah mau nganterin." 

Ah cepat sekali, aku ingin jalanan malioboro lebih panjang 10 kali lipat daripada ini. Aku mengangguk. 

Kami sama sama canggung lagi dengan perpisahan kali ini. Terlalu banyak yang ingin ku katakan. 
Aku ingin kembali menebus kesalahanku. Aku ingin mengatakan aku menyayanginya.

"Hai" 

Aku tersentak. Tiba tiba ada laki laki datang menghampiri kami lalu merangkul Keyla. 

"Kenalin, ini temen aku, Gerry"
Aku menyambut uluran tangannya. Aku terkesiap.
"Ger, ini tunanganku."

Sekejap kebisingan malioboro hening seketika. Semuanya beku, aku mematung. Napasku seperti terhenti.

"Seminggu lagi kami menikah, kalau kamu bersedia, undangannya aku kirim ke rumah kamu," Keyla tersenyum. Senyumnya tak lagj manis.

Aku menelan ludah. Ku anggukan kepalaku dengan susah payah. Otakku seperti tak ingin bekerja. Semua berceceran karena baru saja meledak.

"Yaudah. Makasih Ger.aku ditunggu keluargaku di kamar."

Tunangannya tersenyum ke arahku.
Mereka berbalik badan masuk ke hotel tempat mereka menginap.
Dan kakiku
Terpaku.
Dunia menertawakanku.

Read More




Senin, 09 Oktober 2017

Selamat, tampan

Beraninya kamu,

Merindukan aku

Tapi

Bibirmu masih mengecup keningnya

Sepasang lenganmu

masih memeluknya

Beraninya kamu,

diam-diam memperhatikanku

di saat dia sedang gelisah menunggu kabarmu

Selamat tampan,

Kau sedang mencetak rekor terburukmu
Read More




Jumat, 22 September 2017

Sederhana?

"Nduk, jadilah pribadi yang sederhana,"

Mama selalu bilang seperti itu ketika saya terkadang menginginkan banyak hal yang harus dibeli. Apalagi jika saya mengenakan cat kuku, mama selalu berucap,

"Nduk, kamu nggak usah pake kayak gitu udah cantik."

"Tapi ma aku tuh lagi pengen aja..."

"Cowok nggak mau kalau kamu terlalu berlebihan."

Emang pake cat kuku berlebihan ya? Ah, saya sudah pernah menuruti kata mama waktu itu. Mungkin menantu idaman mama adalah seperti dia yang belum bisa saya taklukan hatinya, kesahajaannya, kesederhanannya yang bisa membuat semua perempuan kehilangan napas dalam satu kali tatap. Tapi dia di mana ya sekarang? Mungkin sudah ada perempuan yang kedewasaannya dan ketaatannya pada agama yang sudah dia mantapkan untuk dinikahi. Hahaha.

Saya pernah pada suatu ketika semester satu. Ketika masih gencar-gencarnya mau ngegebet senior, ketika ke kampus sering pakai kemeja dan naudzubillah rapi banget sebelum semester tua cuma pake sweater abu-abu yang udah belel.

Guys, saya ke kampus waktu itu selalu pakai maskara, dan eyeliner jadi cat eye dikit gitu kan. Pakai hand bag sebelum pake tas ransel kayak sekarang karena harus bawa laptop ke mana-mana.

Udah deh, waktu itu saya menjelma menjadi maba yang masih semangat-semangatnya kalau soal penampilan.

Dan jeng-jeng tiba tiba muncullah wejengan mama soal perempuan sederhana.
Ehem, waktu itu saya lagi naksir seseorang juga.
Mulailah saya ini mengubah penampilan.

Nggak pake maskara, nggak pake eyeliner, pake lipstik tipis banget.

Waktu masuk kelas, seorang temen saya yang kampret nyeletuk,

"Dev, belom mandi ya?"

Panik dong.
"Emang keliatan belum mandi ya?"

Ya begitulah, jadi diri sendiri aja. Sederhana atau nggaknya biar orang lain menentukan. Karena setiap orang punya standar masing-masing.
Saya cuma nggak mau aja dapet orang yang kalo saya pergi ngafe which is itu sebulan cuma sekali atau dua kali ngecap saya boros dan hedon.
Nggak mau dapet celetukan kalo cuma jalan jalan di mall nyari diskon dan mau beli barang yang dibutuhin dibilang boros.
Sana ke hutan aja deh dikit dikit dibilang hedon dibilang boros.
Hei dude, harus gimana sih biar dicap sederhana. Jadi saya begini aja, tergantung mereka.

Read More




Kamis, 21 September 2017

Berputar


http://weheartit.com

Adit

Gue nggak tahu kenapa semesta lagi berbaik hati banget sama gue hari ini, setelah gue merasa menjadi orang paling sial karena nguber-nguber dosen pembimbing skripsi gue nggak ketemu, tapi sekalinya ketemu malah banyak banget yang direvisi bahkan kalau bisa judulnya diganti. Setres nggak lo kalo jadi gue?
Tapi hari ini, detik ini, kayak anak kecil ketiban sekarung permen dan dikasih satu truk gulali, gue seneng banget, man! Di belakang gue sekarang ini, ada perempuan yang cantik banget kayak bidadari  mau bonceng vespa butut gue ini. Saat saat kayak gini nih udah gue nanti sejak dua tahun yang lalu. Mana bisa gue boncengin dia malem-malem begini dulu, soalnya dia udah punya anjing (re : pacar). Dan kali ini dia baru aja putus sama pacarnya. Tiba-tiba ngontak gue karena mobilnya mogok setelah dia pulang magang. 

Gue nggak bisa ngalihin pandangan ke spion. Sesekali mencuri pandang, melirik dia, berharap bidadari gue ini baik-baik aja diboncengin vespa tua gue ini. 

"Ra, lo nggak apa-apa?"

Sedari tadi dia diem mulu, berasa ngebonceng patung. 

Dia nggak menjawab. Pandangan matanya kosong, dan gue nggak tahu harus gimana selain nyetirin dia. Eh, tapi ini gue harus ke mana? Gue asal tancap gas aja waktu dia telfon gue satu jam yang lalu.

"Ra, ini kita mau ke mana?" 

Gue bisa liat dia kaget setelah gue pegang tangannya.

"Makan dulu aja kaliya gue laper, Dit."

"Mau makan apa? sate padang?" 

"Boleh," 

Man, gue tahu banget makanan kesukaannya, buku favorit, film action yang bikin dia jadi freak, sampai lagu-lagu yang sering banget dia nyanyiin. Ehem, gini-gini gue penyanyi favoritnya dia kalau suruh ngover lagu yang dia request

Gue udah cinta banget sama ini bidadari sejak dulu kami satu kelas waktu SMP. Gila nggak lo, menganggumi orang bertahun-tahun dan menahan-nahan nggak menyatakan cinta karena terlalu pengecut. Karena, apalah gue dibanding Aura yang terkenal seantero sekolah dulu dan gue yakin dia masih jadi bidadari idaman di kampusnya dia. 

Dan lo semua harus tahu, yang bikin gue jatuh cinta sama ini cewek adalah dia tuh nggak bitchy sok manja sama cowok-cowok lain walaupun banyak tuh lusinan cowok yang mau sama dia. Dia itu pemilih banget. Lo tau? cewek yang punya mata cokelat dan bibir tipis ini cuma punya dua mantan, jadi tiga sama yang baru dia bangga-banggain ke gue dua tahun belakangan. 

"Dit, gue nggak laper. Kita ke tempat nongkrong biasa aja ya di atas," pintanya sambil megang pundak gue. 

"Hah? Serius lo Ra? ini udah hampir jam 10 malem," 

Ini Aura kenapa sih tiba-tiba jadi aneh begini. Masa gara-gara naik vespa gue bisa jadi kenyang.
Pada akhirnya gue puter balik. Untung bidadari gue yang minta, kalau orang lain udah gue turunin paksa di tengah jalan. Dipikir nggak jauh apa puter balik dari ujung kota ke ujung kota. 

Tempat yang dimaskud adalah tempat wajib nongkrong kami dulu kalau gue atau dia lagi penat. Di situ tuh cuma ada warung kecil semacam angkringan dan beberapa meja kursi, tapi man, pemandangannya bagus banget. Sejauh mata lo memandang, cuma lampu-lampu kota yang sekejap bisa menghipnotis lo untuk nggak mikirin hidup yang emang makin ke sini jadi makin susah. 

"Sampai, tuan puteri," 

Dia tersenyum kecil, lalu turun dari boncengan vespa gue. Tapi dia nggak melepas helm. Dia cuma berdiri mematung ngeliat lampu-lampu kota. Ini bidadari kesayangan gue kesambet apa ya?

"Ra, dicopot dulu ya helmnya," gue membantu dia melepas helmnya. Dengan jarak sedekat ini, gue bisa menelusuri mata cokelatnya yang teduh, kedua alisnya yang panjang natural nggak perlu dikasih pensil alis, hidungnya yang mancung kayak prosotan di Mcd, dan bibir tipisnya yang merah muda tanpa perlu polesan lipstik. Ra, sekusut ini aja, lo tetep masih sempurna buat gue. 

Dia cuma menurut dan bilang, "Makasih ya, Dit" sambil menatap gue. 
Jantung gue kayak mau loncat ditatap sedeket itu sama Aura. Gila, bahaya banget nih kalo nggak gue kontrol. 

Gue cuma mengikuti dia yang ambil duduk di bagian paling depan, paling deket liat pemandangan dan paling deket juga sama jurang. Gue nggak tahu, tumben sepi. Cuma ada sepasang kekasih, dan dua cowok yang lagi gitaran nggak jelas. 

"Lo kenapa sih Ra? Lo marah sama gue yang jemput lo pake vespa? Maaf ya, mobil gue dipake sepupu,"

"Gapapa, Dit. Gue juga kangen kok diboncengin vespa butut lo, jadi inget waktu SMP dulu. Lagian kenapa sih nggak dijual aja?"

"Udah terlanjur sayang Ra. Kalau udah sayang banget, mau jelek kayak apapun, lo bakal nggak bisa lepas,"

Tiba-tiba senyum bidadari gue itu hilang. Aura cuma diem di samping gue. Kepalanya tertunduk.
What happen here?

"Ra? Kenapa?" gue mendekat mengamatinya, dan gue melihat pipinya basah.

Shit. Lo kenapa Ra, apa yang salah di sini?

"Cerita Ra, lo kenapa?" gue mengulang pertanyaan gue. Sebagai laki-laki gue sebenernya nggak bisa diem gini aja, gue mau banget meluk bidadari gue satu ini. Tapi, ya kali gue peluk.

Dan entah ini hari keberuntungan atau apa, baru kali ini gue sedeket ini sama dia, dia tiba-tiba membenamkan kepalanya di dada gue. Gue ulang ya, di dada gue. Nggak sia-sia gue ngegym tiap hari kalau dada gue ini dipake bidadari. Man, ini kalo dia bisa denger suara jantung gue yang lagi deg-deg an nggak karuan dia ketawa nggak ya. 

Gue bisa mencium bau parfum vanilanya dengan jarak sedeket ini. Terima kasih Tuhan, sekarang gue punya alasan buat membelai rambut perempuan yang bikin gue jatuh cinta bertahun-tahun ini. Tapi siapa yang berani menyakiti Aura sampai bidadari gue ini nangis malem-malem begini?


***

 Aura

Because every single people has one person in mind. 

Sudah sebulan aku dan dia mengakhiri hubungan yang telah mati-matian aku pertahankan. Sudah ku terima dia apa adanya dengan seluruh hati. Tapi, aku masih bukan menjadi hal terpenting di dalam hidupnya. 

Di kepala ini masih kamu satu-satunya yang menjadi penghuni tetap meski sudah ku usir berkali-kali dengan kesibukan kantor, tapi kamu tetap menjelma menjadi kenangan super lekat yang tak bisa ku musnahkan. Aku relakan kamu pergi, aku relakan kamu membenahi hidupmu yang berantakan dengan kedua tanganmu sendiri. Aku pikir kamu akan membangun masa depan denganku, tapi nyatanya aku seperti debu-debu di ruang kamar yang ingin cepat-cepat kau singkirkan. 

Kini ku jelajahi duniamu dengan sosial media, lalu ku temukan kamu mengenggam tangan lain di sebuah foto instagram yang baru kamu unggah setengah jam yang lalu.

Mataku memanas. Tanganku bergetar masih memegang handpohoneku. Kamu menggenggam tangan lain dan berani-beraninya kamu masih melekatkan jam tangan pemberianku waktu ulang tahunmu terakhir yang tidak sempat kita rayakan karena kita sedang bertengkar hebat waktu itu.

Kamu tidak pernah bertanya kenapa aku beri kamu jam tangan, bukan sepatu seperti yang kau butuhkan. Jam tangan yang melekat di pergelangan tanganmu, yang kini kau gunakan untuk menggandeng perempuan lain adalah sebagai pengingat, Wir. Bahwa pernah ada kita dalam setiap putaran detik, pernah ada kita yang pernah mengacaukan detak, pernah ada kita yang berani berharap bahwa waktu tidak cukup mampu mengubah kita. 

Brengsek. Siapa dia,Wir?

Berani beraninya kamu Wira Herawan.  Entah berapa kebohongan yang kamu ciptakan sebelum kamu  melepaskan aku. Aku seperti onggokan sampah di sudut kota. Sebodoh itu aku, mau dipermainkan laki-laki yang dua tahun sudah aku bangga-banggakan di hadapan siapapun?

Dan aku kini lebih bodoh, menangis malam-malam di pelukan Adit, sahabat sejak SMP ku dulu.

"Maaf, Dit," Ku angkat kepalaku, dan ku lihat kaos polo putihnya basah.

Dia menatapku nanar, 

"Dit, kenapa gue nggak berharga di mata orang yang gue cintai sepenuh hati?"


***
Adit 

Ini seperti kisah tanpa ujung yang jelas, siapa mencintai siapa, dan siapa berharap kepada siapa. Sampai kapan kayak gini?  Berputar di situ-situ aja, dan kampretnya lagi bertahun-tahun.

Gue selalu dibutuhkan ketika bidadari cantik gue ini patah hati. Selalu ada mata gue yang menatap dia lekat saat menangis, selalu ada dua telinga gue yang denger cerita sedihnya dia, selalu ada waktu gue yang gue sempet-sempetin sesibuk apapun gue. Seperti sekarang, gue membatalkan acara penting ketemu sama temen gue buat ngebahas bisnis. Dan selalu ada mulut gue yang bilang di akhir pertemuan, 

"Tenang Ra, semua bakal baik-baik aja. Kalau ada apa-apa langsung hubungin gue aja. Gue kan sahabat elo,"

Monyet nggak? Gue cuma bisa sanggup bilang bahwa gue ini sahabatnya dia ketimbang sebagai laki-laki yang akan mencintai dia sampai kapan pun.

Gue nggak bisa ngejawab pertanyaan terakhir yang keluar dari bibir Aura setelah dia melepaskan pelukannya. Karena gue juga nggak bisa tahu kenapa lo, nggak bisa ngeliat gue sebagai laki-laki yang selalu ada karena mencintai elo. 
***




Read More




Senin, 11 September 2017

Selamat Tambah Tua !

Duh...mulai darimana ya. Jadi grogi, takut dibilang sok romantis.
Oke.

Ini tulisan kedua yang aku tujukan ke kamu setelah sekian lama karena dunia aku yang makin sibuk, isinya udah nggak kamu melulu kayak dulu.
Rasanya, udah lama ya kita nggak cerita-cerita. Sejak kamu ada motor, kamu udah nggak pernah minta boncengin aku lagi. Sejak kita punya pacar, makin deh ada jarak. Kamu sama pacar kamu dulu dan aku sama pacar aku yang dulu. 

Terus...

Kamu putus, tapi udah nemu yang baru
Aku putus juga, tapi masih sendiri. HAHAHA 

Aku udah nggak sesering dulu main ke kosan kamu sampe tidur berdua di kasur yang sering bunyi "kretek-kretek" kalo kita gerak dikit aja. Aku udah nggak sesering dulu, tiba-tiba nyampe di depan pintu kosan kamu terus kadang nggak ngetok pintu, ngagetin kamu.

Aku nggak sesering dulu, boker di kosan kamu sampe kamu kadang ngomel-ngomel sama aku. 
Aku nggak sesering dulu ngeluh-ngeluh cerita ini-itu sama kamu.

Kita nggak sesering dulu pergi bareng, ngayal bareng, saling nasehatin, tapi ya aslinya sama-sama rapuh.

Sekarang, bahkan aku lupa kita terakhir ketemu kapan.

Kadang aku tuh kangen wid. Kangen kadang kamu nelfon curhat sambil nangis-nangis tapi bikin aku ngakak. 

Tapi ya makin dewasa aku ngerti, kita punya prioritas sendiri.
Aku inget kamu pernah ngomong 

"Dev gapapa dev ini kita naik motor, naik beat, besok kita udah bisa naik mobil. Fighting!"
Aku ketawa-ketawa aja wid di belakang kamu, kamu masih ngoceh sambil nyetir. Inget?

Terakhir kali aku ke kosanmu, kapan ya?
Pokoknya, aku udah liat sederet whist list kamu.
Gila ya, kamu makin dewasa aja. 

Aku udah nggak pernah liat kamu ngeluh masalah hidup.

Kamu udah nggak pernah insecure bilang "Dev, aku cantik nggak?"

Aku udah nggak pernah liat childishnya kamu di depan si abang. 

Entah kamu udah dewasa, atau kamu nyembunyiin semuanya, berusaha tegar.

Tapi inget Wid,
Aku tuh walaupun jarang ngehubungin kamu, aku selalu siap buat kamu ajak cerita.

Nggak apa-apa kalau kamu lebih nyaman sendiri, daripada aku malem-malem masih nongkrong di kedai sampe larut.

Wid, ini kenapa panjang banget ya.

Masih banyak yang mau aku tulis.

Kayak kenangan kita waktu maba. Entah kenapa masih melekaaat banget. Apalagi kalau dengerin lagu RAN - Dekat di Hati

Dan waktu kamu nangis di depan dosen dan anak kelas, gara gara TA in aku. Sumpah waktu itu you are my hero gila!
Kamu bilang kamu nggak di suruh. Kurang baik apa sih Wid kamu sama aku. 

Wid, aku baru sadar. Dan aku baru bersyukur sekarang
Kita selalu satu project bareng kalo tugas kuliah. Walaupun aku sering ngeluh-ngeluh kalo kamu malesnya minta ampun. Nggak deng, tapi kamu gercep.
Kalo nggak se-project, mungkin kita nggak punya waktu lagi Wid buat bareng.

Udah ya Wid,
Ini aku nulis waktu lagi magang di kantor
Selamat ulang tahun. Selamat tambah dewasa, kita. 
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML