Kamis, 21 September 2017

Berputar


http://weheartit.com

Adit

Gue nggak tahu kenapa semesta lagi berbaik hati banget sama gue hari ini, setelah gue merasa menjadi orang paling sial karena nguber-nguber dosen pembimbing skripsi gue nggak ketemu, tapi sekalinya ketemu malah banyak banget yang direvisi bahkan kalau bisa judulnya diganti. Setres nggak lo kalo jadi gue?
Tapi hari ini, detik ini, kayak anak kecil ketiban sekarung permen dan dikasih satu truk gulali, gue seneng banget, man! Di belakang gue sekarang ini, ada perempuan yang cantik banget kayak bidadari  mau bonceng vespa butut gue ini. Saat saat kayak gini nih udah gue nanti sejak dua tahun yang lalu. Mana bisa gue boncengin dia malem-malem begini dulu, soalnya dia udah punya anjing (re : pacar). Dan kali ini dia baru aja putus sama pacarnya. Tiba-tiba ngontak gue karena mobilnya mogok setelah dia pulang magang. 

Gue nggak bisa ngalihin pandangan ke spion. Sesekali mencuri pandang, melirik dia, berharap bidadari gue ini baik-baik aja diboncengin vespa tua gue ini. 

"Ra, lo nggak apa-apa?"

Sedari tadi dia diem mulu, berasa ngebonceng patung. 

Dia nggak menjawab. Pandangan matanya kosong, dan gue nggak tahu harus gimana selain nyetirin dia. Eh, tapi ini gue harus ke mana? Gue asal tancap gas aja waktu dia telfon gue satu jam yang lalu.

"Ra, ini kita mau ke mana?" 

Gue bisa liat dia kaget setelah gue pegang tangannya.

"Makan dulu aja kaliya gue laper, Dit."

"Mau makan apa? sate padang?" 

"Boleh," 

Man, gue tahu banget makanan kesukaannya, buku favorit, film action yang bikin dia jadi freak, sampai lagu-lagu yang sering banget dia nyanyiin. Ehem, gini-gini gue penyanyi favoritnya dia kalau suruh ngover lagu yang dia request

Gue udah cinta banget sama ini bidadari sejak dulu kami satu kelas waktu SMP. Gila nggak lo, menganggumi orang bertahun-tahun dan menahan-nahan nggak menyatakan cinta karena terlalu pengecut. Karena, apalah gue dibanding Aura yang terkenal seantero sekolah dulu dan gue yakin dia masih jadi bidadari idaman di kampusnya dia. 

Dan lo semua harus tahu, yang bikin gue jatuh cinta sama ini cewek adalah dia tuh nggak bitchy sok manja sama cowok-cowok lain walaupun banyak tuh lusinan cowok yang mau sama dia. Dia itu pemilih banget. Lo tau? cewek yang punya mata cokelat dan bibir tipis ini cuma punya dua mantan, jadi tiga sama yang baru dia bangga-banggain ke gue dua tahun belakangan. 

"Dit, gue nggak laper. Kita ke tempat nongkrong biasa aja ya di atas," pintanya sambil megang pundak gue. 

"Hah? Serius lo Ra? ini udah hampir jam 10 malem," 

Ini Aura kenapa sih tiba-tiba jadi aneh begini. Masa gara-gara naik vespa gue bisa jadi kenyang.
Pada akhirnya gue puter balik. Untung bidadari gue yang minta, kalau orang lain udah gue turunin paksa di tengah jalan. Dipikir nggak jauh apa puter balik dari ujung kota ke ujung kota. 

Tempat yang dimaskud adalah tempat wajib nongkrong kami dulu kalau gue atau dia lagi penat. Di situ tuh cuma ada warung kecil semacam angkringan dan beberapa meja kursi, tapi man, pemandangannya bagus banget. Sejauh mata lo memandang, cuma lampu-lampu kota yang sekejap bisa menghipnotis lo untuk nggak mikirin hidup yang emang makin ke sini jadi makin susah. 

"Sampai, tuan puteri," 

Dia tersenyum kecil, lalu turun dari boncengan vespa gue. Tapi dia nggak melepas helm. Dia cuma berdiri mematung ngeliat lampu-lampu kota. Ini bidadari kesayangan gue kesambet apa ya?

"Ra, dicopot dulu ya helmnya," gue membantu dia melepas helmnya. Dengan jarak sedekat ini, gue bisa menelusuri mata cokelatnya yang teduh, kedua alisnya yang panjang natural nggak perlu dikasih pensil alis, hidungnya yang mancung kayak prosotan di Mcd, dan bibir tipisnya yang merah muda tanpa perlu polesan lipstik. Ra, sekusut ini aja, lo tetep masih sempurna buat gue. 

Dia cuma menurut dan bilang, "Makasih ya, Dit" sambil menatap gue. 
Jantung gue kayak mau loncat ditatap sedeket itu sama Aura. Gila, bahaya banget nih kalo nggak gue kontrol. 

Gue cuma mengikuti dia yang ambil duduk di bagian paling depan, paling deket liat pemandangan dan paling deket juga sama jurang. Gue nggak tahu, tumben sepi. Cuma ada sepasang kekasih, dan dua cowok yang lagi gitaran nggak jelas. 

"Lo kenapa sih Ra? Lo marah sama gue yang jemput lo pake vespa? Maaf ya, mobil gue dipake sepupu,"

"Gapapa, Dit. Gue juga kangen kok diboncengin vespa butut lo, jadi inget waktu SMP dulu. Lagian kenapa sih nggak dijual aja?"

"Udah terlanjur sayang Ra. Kalau udah sayang banget, mau jelek kayak apapun, lo bakal nggak bisa lepas,"

Tiba-tiba senyum bidadari gue itu hilang. Aura cuma diem di samping gue. Kepalanya tertunduk.
What happen here?

"Ra? Kenapa?" gue mendekat mengamatinya, dan gue melihat pipinya basah.

Shit. Lo kenapa Ra, apa yang salah di sini?

"Cerita Ra, lo kenapa?" gue mengulang pertanyaan gue. Sebagai laki-laki gue sebenernya nggak bisa diem gini aja, gue mau banget meluk bidadari gue satu ini. Tapi, ya kali gue peluk.

Dan entah ini hari keberuntungan atau apa, baru kali ini gue sedeket ini sama dia, dia tiba-tiba membenamkan kepalanya di dada gue. Gue ulang ya, di dada gue. Nggak sia-sia gue ngegym tiap hari kalau dada gue ini dipake bidadari. Man, ini kalo dia bisa denger suara jantung gue yang lagi deg-deg an nggak karuan dia ketawa nggak ya. 

Gue bisa mencium bau parfum vanilanya dengan jarak sedeket ini. Terima kasih Tuhan, sekarang gue punya alasan buat membelai rambut perempuan yang bikin gue jatuh cinta bertahun-tahun ini. Tapi siapa yang berani menyakiti Aura sampai bidadari gue ini nangis malem-malem begini?


***

 Aura

Because every single people has one person in mind. 

Sudah sebulan aku dan dia mengakhiri hubungan yang telah mati-matian aku pertahankan. Sudah ku terima dia apa adanya dengan seluruh hati. Tapi, aku masih bukan menjadi hal terpenting di dalam hidupnya. 

Di kepala ini masih kamu satu-satunya yang menjadi penghuni tetap meski sudah ku usir berkali-kali dengan kesibukan kantor, tapi kamu tetap menjelma menjadi kenangan super lekat yang tak bisa ku musnahkan. Aku relakan kamu pergi, aku relakan kamu membenahi hidupmu yang berantakan dengan kedua tanganmu sendiri. Aku pikir kamu akan membangun masa depan denganku, tapi nyatanya aku seperti debu-debu di ruang kamar yang ingin cepat-cepat kau singkirkan. 

Kini ku jelajahi duniamu dengan sosial media, lalu ku temukan kamu mengenggam tangan lain di sebuah foto instagram yang baru kamu unggah setengah jam yang lalu.

Mataku memanas. Tanganku bergetar masih memegang handpohoneku. Kamu menggenggam tangan lain dan berani-beraninya kamu masih melekatkan jam tangan pemberianku waktu ulang tahunmu terakhir yang tidak sempat kita rayakan karena kita sedang bertengkar hebat waktu itu.

Kamu tidak pernah bertanya kenapa aku beri kamu jam tangan, bukan sepatu seperti yang kau butuhkan. Jam tangan yang melekat di pergelangan tanganmu, yang kini kau gunakan untuk menggandeng perempuan lain adalah sebagai pengingat, Wir. Bahwa pernah ada kita dalam setiap putaran detik, pernah ada kita yang pernah mengacaukan detak, pernah ada kita yang berani berharap bahwa waktu tidak cukup mampu mengubah kita. 

Brengsek. Siapa dia,Wir?

Berani beraninya kamu Wira Herawan.  Entah berapa kebohongan yang kamu ciptakan sebelum kamu  melepaskan aku. Aku seperti onggokan sampah di sudut kota. Sebodoh itu aku, mau dipermainkan laki-laki yang dua tahun sudah aku bangga-banggakan di hadapan siapapun?

Dan aku kini lebih bodoh, menangis malam-malam di pelukan Adit, sahabat sejak SMP ku dulu.

"Maaf, Dit," Ku angkat kepalaku, dan ku lihat kaos polo putihnya basah.

Dia menatapku nanar, 

"Dit, kenapa gue nggak berharga di mata orang yang gue cintai sepenuh hati?"


***
Adit 

Ini seperti kisah tanpa ujung yang jelas, siapa mencintai siapa, dan siapa berharap kepada siapa. Sampai kapan kayak gini?  Berputar di situ-situ aja, dan kampretnya lagi bertahun-tahun.

Gue selalu dibutuhkan ketika bidadari cantik gue ini patah hati. Selalu ada mata gue yang menatap dia lekat saat menangis, selalu ada dua telinga gue yang denger cerita sedihnya dia, selalu ada waktu gue yang gue sempet-sempetin sesibuk apapun gue. Seperti sekarang, gue membatalkan acara penting ketemu sama temen gue buat ngebahas bisnis. Dan selalu ada mulut gue yang bilang di akhir pertemuan, 

"Tenang Ra, semua bakal baik-baik aja. Kalau ada apa-apa langsung hubungin gue aja. Gue kan sahabat elo,"

Monyet nggak? Gue cuma bisa sanggup bilang bahwa gue ini sahabatnya dia ketimbang sebagai laki-laki yang akan mencintai dia sampai kapan pun.

Gue nggak bisa ngejawab pertanyaan terakhir yang keluar dari bibir Aura setelah dia melepaskan pelukannya. Karena gue juga nggak bisa tahu kenapa lo, nggak bisa ngeliat gue sebagai laki-laki yang selalu ada karena mencintai elo. 
***







Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML