Rabu, 28 Juni 2017

Pertanyakan Kembali




Pertanyakan lagi kepada dirimu sendiri, dia hadir dan kau pilih untuk apa jika lebih banyak melahirkan luka?


Aku melihat Bima sedari tadi mondar-mandir sambil menggenggam ponselnya. Raut wajahnya begitu kesal sekaligus cemas, ia tak mendapatkan kabar satupun dari kekasihnya.

“Ck, tenang aja sih Bim, Nova nggak akan kenapa-kenapa kok.”, Lontarku kesal melihatnya yang selalu mengkhawatirkan sahabatku satu itu.

“Masalahnya ini hujan deras Je. Dan dia lagi sakit.”

“Nova udah gede, semuanya bakal baik-baik aja. Dia bisa jaga diri daripada aku. Percaya deh, dia ini mungkin lagi kejebak hujan di kantor.”

“Tapi…”

“Apa?" 

“Seenggaknya dia ngehubungin aku.”

Aku terdiam, lalu memilih larut dalam pekerjaanku di layar laptop, membiarkan Bima ditelan kekhawatirannya yang terlalu berlebihan. Aku bisa menjawab pertanyaannya seandainya aku tega. Aku bisa saja menasehatinya sampai mulutku berbusa, tapi kalau orang sedang jatuh cinta, orang-orang sekitarnya bisa apa?

Aku tahu, bagaimana perjuangan Bima mendapatkan sahabatku satu itu. Bagaimana ia memperlakukan Nova seperti tuan puteri yang selalu diantar jemput pulang pergi, bagaimana ia mengistimewakan perempuan satu itu, bagaimana ia selalu mengalah untuk mendapati lengkung lebar dibibir Nova.

Budak cinta.

Bima begitu mencintai Nova, dan Nova yang mencintai Bima apa adanya, tanpa perlu usaha apa-apa. Bagaimana bisa?

Jawabannya satu.

Nova tidak begitu menginginkan Bima sebenarnya. Ia menerima cinta Bima karena ingin menghargai seluruh usaha laki-laki berambut gondrong itu. Meskipun, aku tak setuju keputusannya, karena sejak keputusannya, sahabatku itu malah melahirkan banyak luka, meski kadang mereka terlihat seperti pasangan yang paling bahagia.

Mungkin aku cemburu pada Nova yang bisa mendapatkan Bima. Aku selalu memberitahunya, betapa diberkatinya ia oleh Tuhan dihadirkan laki-laki sebaik Bima. Sedangkan aku?

Aku yang tak pernah mencicipi perlakuan istimewa dari kekasihku dulu. Ia tak menghubungiku ketika aku tak menghubunginya terlebih dahulu, ia tak menawarkan menemaniku ke manapun, padahal aku tak suka kemana-mana sendirian. Apa-apa yang aku inginkan, aku selalu memohon terlebih dahulu. Sedangkan aku,

Aku rela basah oleh hujan hanya untuk mengantarkannya makanan tanpa ia bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak, aku rela menghabiskan hampir seluruh tabunganku untuk memberi kejutan ulang tahun namun aku  tak mendapati binar bahagia dalam matanya, aku yang rela pulang larut malam menemaninya ketika bersedih tanpa ia mengkhawatirkan keadaanku bagaimana. Aku yang harus mengerti dia sedang kecewa atau marah, sedangkan ia tak mau tahu, betapa kecewanya aku. 

Aku yang meleburkan duniaku untuknya, dan dia tetap memiliki dunianya beserta seluruh egonya. 

Dan kini tak lagi. 

Ketika orang yang kau sayangi tak bisa memperlakukan dan menghargaimu dengan benar, bagaimana kelak ia menjadi pasanganmu yang bisa menjaga dan menyayangimu dengan sabar?

“Bim…” Aku memanggil Bima dengan lirih. Sementara ia sedang memejamkan matanya, sambil menyandarkan tubuhnya di atas sofa.

“Cinta banget sama sahabatku satu itu?”

“Bangetlah. Kamu tau sendiri aku gimana kan sama Nova.”

“Terus, Nova sendiri gimana?” Aku balik bertanya.

Bima terdiam. Aku mengemasi barangku sambil menunggu jawabannya.

“Dia…" Jawabannya terhenti. Mungkin sedang mengingat-ingat.

"Dia sayang kok sama aku,” Jawabnya lirih. Lebih tepatnya ia sedang meyakinkan dirinya sendiri.

“Semoga seperti itu.” Aku hanya tersenyum lalu bersiap pergi dari kafe yang sudah kami singgahi sejak  tiga jam yang lalu sambil menunggu hujan reda.

Aku ingin memberinya waktu untuk berpikir. Karena kadang, orang jatuh cinta mengutamakan apa yang ia rasa dibanding logika. Ia tak peka oleh kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan pasangannya, percaya dan mengatasnamakan apa yang dilakukan itu adalah cinta, padahal itu tipuan belaka. Lalu, lahirlah para manusia-manusia yang diperbudak oleh cinta.

Kaum-kaum yang terpenjara, memandang sempit perasaan bahagia, berpatokan pada satu orang yang diyakini ia adalah cinta padahal sebenarnya ia hanya mirip dengan cinta padahal bukan. 

Dan aku, belajar, kita boleh berkorban, tapi kita tak perlu sampai jungkir balik memutar isi kepala hingga mengabaikan hati sendiri yang berkali-kali luka dan kecewa untuk mempertahankan seseorang yang menjanjikan bahagia. Cinta yang benar, tahu bagaimana cara mengitari kita dengan bahagia tanpa perlu memohon. Ia akan memberi tanpa kita minta berkali-kali.

Sebelum aku menghilang dari balik pintu, aku berpesan pada Bima,

"Bim, makasih ya udah ada yang jagain Nova sebaik kamu. Tapi, jangan sampai, apa yang kamu miliki, malah menyakiti dirimu sendiri."

"Je, aku bakal buat dia sayang sama aku sama seperti aku sayang sama dia."

"Oke, tapi kamu tau konsekuensi kamu apa. Jangan ngeluh ya."

Bima terdiam lagi.

Sementara aku  langsung meninggalkan Bima sendiri.
Melihat Bima seperti melihat diriku sendiri satu tahun yang lalu. Antara ingin pergi, atau percaya akan ada keajaiban mengubah kekasih yang aku banggakan menjadi manusia yang bisa mencintaiku dengan baik.

Tapi, pertanyaan yang selalu menghujani kepala adalah satu pertanyaan yang sama,

Sampai kapan begini dan rela dijatuhkan berkali-kali?






Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML