Jumat, 16 Juni 2017

Karena dia istimewa

Di sebelahku Niko sibuk menekan nekan tombol tape radio meski matanya tetap fokus pada jalanan lengang sore ini. Sedangkan aku, semenjak duduk di mobil memilih diam, menahan kantuk karena sudah tidak tidur hampir dua hari karena dikejar deadline dari client. Kalau aku tega dengan laki-laki satu ini yang sedang berusaha menculik aku ke Jogja, aku akan memejamkan mataku sekarang juga.

Ia tahu, aku sedikit sebal karena dipaksa ikut ditengah kesibukanku yang luar biasa kurang ajar.Tapi ia selalu tahu, bagaimana menyenangkan sahabatnya satu ini.

"Tidur aja kalo ngantuk, kalo nggak gini, kita nggak punya waktu libur Ta," Niko melirikku, aku tahu senekat apapun dia sekarang, dia juga merasa bersalah. Membawa perempuan kabur ke Jogja, dari padat dan sibuknya Jakarta.

Terakhir kali kami berlibur adalah liburan dua tahun yang lalu. Setelah kelulusan, kami merayakannya dengan long trip Bali-Lombok selama dua minggu. Liburan paling menyenangkan selama aku hidup 25 tahun sebelum tersekap dalam rumitnya menjadi orang dewasa yang diburu waktu, dituntut ini-itu.

"Gue nggak tega kali ninggal lo tidur,"

"Yaudah, cerita-cerita aja, gosipin apa gitu kek. Temen kuliah kita dulu, atau bos lo, atau client lo yang menyebalkan, atau apa ajalah nerocos aja pokoknya lo, gue dengerin,"

Aku nyengir melihat kelakuan Niko yang super pengertian ini. Empat tahun berteman membuat kami saling tahu seluk beluk hidup, dan kesukaan masing-masing.

"Hahaha apaan sih lo, gosip banget,"

"Ooh...atau..."

"Atau apa?"

"Ben. Mantan lo. Lo nggak pernah cerita apa-apa ke gue. Tiba-tiba putus. Padahal gue inget banget lo mau nikah sama dia."

Ah, dia lagi. Aku hanya tertawa hambar menanggapi pertanyaan Niko. Lalu memandangi jalanan Jakarta dan kendaraan lalu lalang di depanku.

"Kenapa sih? Cerita dong. Udah lama kan? Jadi nggak apa-apa dong lo cerita sama sahabat lo ini?"

Aku hanya mengedikkan bahuku. Aku sudah enggan bercerita mengenai laki-laki yang sempat aku bangga-banggakan di depan siapapun. Cerita lama yang sudah terlalu entah dan berusaha tak ku pedulikan lagi. Meski sejujurnya, cerita tentang aku dan Ben masih banyak menggantung di ingatan memori.

"Karena...karena dia terlalu istimewa buat gue."

Niko mengerinyitkan dahi sambil membenarkan letak kacamatanya, lalu mengamatiku sebentar.

"Maksudnya, Ta? istimewa gimana? terlalu ganteng gitu? terlalu pintar dan berprestasi? Terlalu multitalenta?"

Aku hanya tertawa lagi. Berharap aku tak perlu menceritakan detil pertengkaran aku dan Ben yang sudah terlalu lampau. Aku ingin berdamai dengan masa itu.

"Nita Larasati tolong jawab pertanyaan gue, jangan ketawa mulu lo kayak orang gila," Niko mulai sebal.

"Karena, dia itu terlalu istimewa Nik, dan gue, nggak bisa memahami keistimewaannya dia."

Aku tidak pernah siap untuk menceritakan yang sebenarnya kepada siapa saja. Dengan orang tuaku sekalipun. Biar aku saja yang tahu tentang keistimewaan Ben. Cukup aku yang tahu dengan ketidakmengertianku tentang segala ketakutan, kecemasan, dan segala keresahan Ben. Cukup aku yang tidak mengerti, pada perkara-perkara kecil yang selalu berputar di otak Ben hingga menimbulkan amarah tak terduga ditengah-tengah kami yang sedang asyik bercengkrama.
Keistimewaan Ben, yang seringkali membuatnya menjadi dua manusia berbeda dalam sekejap mata.
Aku dulu sering memeluknya, ketika ia sedih di pojok kamar memeluk kedua lututnya.
Sering menenangkan dia, ditengah kepanikannya mengenai apa saja yang...ah entahlah, aku bilang aku tidak mengerti.

"Tapi lo baik-baik aja kan sekarang?" Niko memastikan pertanyaannya tadi tidak membuat sahabat kesayangannya ini sedih.

"Tenang aja Nik, gue jauh lebih baik sekarang."

Kalau teman-temanku bertanya, kenapa aku bisa mencintai Ben dulu, dengan segala kebencian yang tersisa kini, aku juga tidak mengerti. Entah, sepertinya aku harus menanyakan kembali pada diriku sendiri, aku mencintai sisi diri Ben yang mana. 

Biar semua kepala dipenuhi tanda tanya tentang hubungan aku dan Ben yang hampir berujung pada pernikahan ini. Toh aku tidak bisa mencintai Ben sepenuhnya, mencintai dua manusia yang berbeda. Mungkin, Ben adalah pembelajaran hidup yang paling berharga yang aku punya. Bahwa, kita tak perlu berharap apa-apa pada manusia yang banyak menciptakan wacana ditengah Tuhan yang sudah menyiapkan rencana. Kita adalah manusia-manusia keras kepala, yang kadang kalau urusan cinta, membuat kita lupa padahal Tuhan sudah mengirimkan banyak tanda.

"Jadi lo sama Dira gimana Nik?" aku balik bertanya tentang hubungan Niko dengan kekasihnya.

"Kandas Ta."

"Hah? demi apa lo? Serius?"

"Kenapa?"

"Karena dia terlalu istimewa buat gue. Hahahaha"

"Ah sialan lo! Yang bener Nik?" Aku memukul lengan Niko. Kali ini benar-benar sebal.

"Iya Nita. Gue lagi patah hati. Makanya gue pengen lari ke Jogja!"

"Jadi ceritanya ada dua orang patah hati di satu mobil nih? Yang satu udah sadar yang satu baru lari dari kenyataan," aku terbahak.

Ya, namanya juga hidup. Yang kita genggam sekarang, belum tentu jadi jodoh kita di masa depan. Mobil kami melesat cepat, sementara aku membiarkan Niko menyanyikan lagu All  I want milik Kodaline meski suaranya cempreng.


But if you loved me
Why'd you leave me?
Take my body
Take my body






Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML