Selasa, 03 Februari 2015

Tuan yang Membenci Hujan.

Sore ini langit tak secerah kemarin. Mendung datang lagi. Jika seperti ini, aku hanya dapat berharap gelap tak menaungi isi kepalamu. Lebih baik kamu menarik selimutmu lagi, daripada merutuki hujan tiada henti sejak awal Januari.

"Aku benci hujan." Itu katamu dua bulan yang lalu. Katamu hujan membuatmu tak bisa mendaki dan pernah membuatmu terpeleset berkali-kali. Ketika kamu bilang begitu, aku hanya bisa tertawa dalam hati. Karena bagaimana bisa aku mencintai hal-hal yang kamu benci.

Ah, memang  harusnya hujan tidak terus menerus mengguyur bumi hampir setiap hari. Kamu jadi membatalkan semua rencana-rencanamu mengelilingi semesta libur panjang ini. Rumah pun sepertinya tak menjadi nyaman untukmu karena jiwamu ingin terus lepas untuk mendaki. Jadi, di mana kamu sekarang? Masih menyekap diri dalam rumah kontrakan? Kamu tahu? Tepat di tempatku saat menulis surat ini pikiranku semakin menjadi-jadi.

Tuan pembenci hujan, tak rindukah kamu pada kampung halaman? Tanah kelahiran. Di sini apa yang kamu harapkan? Bulan ini sudah dipenuhi mantra-mantra basah hujan. Sebaiknya kamu pulang lalu mencari hangat yang melesak dalam cangkir-cangkir cengkrama mesra keluarga daripada menghitung hari menunggu matahari menjadi raja lagi bagi langit-langit para pendaki. 

Pulanglah. Ada rindu yang bertumpah ruah di dada seorang perempuan yang menanti di rumah. Carilah kehangatan, tuan. Karena sebentar lagi hari akan hujan.


Dari aku,

yang bukan siapa-siapamu.




Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML