Ketika aku menuliskan paragraf ini, malam masih begitu larut, dan pagi masih
terlalu petang. Aku tak tahu mengapa sedini hari ini aku menuliskan sebuah surat
untukmu. Ini sudah pukul 00.40 dan aku adalah aku yang tetap sama. Perempuan
yang masih benar-benar terjaga di tengah malam. Andai ini adalah masa-masa itu,
sudah ku pastikan kita sedang berbincang, baradu argumen, kemudian terbahak
menyadari kebodohan masing-masing.
Ini sudah lewat tiga tahun sejak masing-masing dari kita
memutuskan untuk mengakhiri segalanya, walaupun tanpa disengaja. Dan aku,
sekarang terlalu canggung untuk menyapamu lagi lewat sepucuk surat ini. Baiklah,
mungkin seharusnya aku menanyakan kabar darimu terlebih dahulu. Atau mungkin tak perlu. Aku yakin kamu pasti baik-baik saja. Karena aku sudah meminta semesta
menjaga laki-laki sebaik kamu lewat doa-doaku dulu.
Sebentar, tunggu sebentar. Aku ingin memastikan kamu masih
mengingat aku. Aku adalah perempuan yang pernah kamu singgahi dunianya. Yang
pernah kamu bolak-balikan jam tidurnya hanya untuk mendengarkan ceritamu sampai
larut. Perempuan yang pernah menertawaimu saat kamu menyanyikan delapan lagu
dengan petikan gitarmu. Perempuan yang selalu kamu sapa lewat obrolan maya. Ya,
aku perempuan yang tak pernah kamu temui secara nyata. Perempuan yang sampai kini masih
hafal ucapan-ucapan sederhanamu.
Aku yakin, kamu masih mengingatku, meski tak terlalu lekat
seperti aku mengenangmu. Ehm, mungkin ini sudah terlambat, terlampau jauh jika
memutar masa-masa itu. Kali ini, aku tak ingin mengungkit apapun. Jangan
khawatir, tak ada rindu yang aku sisipkan di sini seperti yang sudah-sudah.
Kita telah memilih kebahagiaan yang
pernah kita genggam sebelumnya. Kamu dengan perempuanmu, dan aku dengan
laki-lakiku. Meski kini tak lagi. Sudah ku lapangkan dadaku untuk perempuan
yang telah memenangkan hatimu hingga detik ini.
Lewat surat ini aku ingin meminta maaf kepadamu, tentang
malam itu. Tentang ketidakhadiranku pada tempat yang kamu tawarkan untuk
bertemu. Aku meminta maaf kepadamu yang telah mengabaikan panggilan teleponmu
berkali-kali. Aku terlalu takut pada waktu itu. Karena, selain penakut aku
adalah perempuan yang terlalu pengecut.
Kamu tahu? Sepertinya Tuhan memang benar-benar tidak ingin
mempertemukan kita. Pernah dulu, aku menyalahkan jarak yang terbentang
sedemikian jauhnya, meski satu kota. Dan perlu kamu tahu, jarak kita kini hanya
terhalang sebuah parit kecil yang memisahkan antara fakultasku dan fakultasmu.
Aku pun tak menduga, keberadaan kita sekarang ternyata sedekat itu. Tapi
lucunya, sekalipun kita tak pernah bertemu.
Sebenarnya, aku pun bisa menemui di clothing store-mu yang
terletak di pinggir jalan raya tak jauh dari kampus. Sudah berkali-kali aku
melewatinya, hanya saja aku tak ingin. Entah, lebih baik seperti ini. Biar
waktu yang menemukan caranya sendiri untuk mendekatkan kita lagi sebagai dua
orang yang baru. Tak apa jika baiknya seperti itu.
Kali ini, ku cukupkan suratku kepadamu. Oh ya, sampaikan
salamku pada perempuan yang paling bisa membahagiakanmu. Itu jika kamu tak
keberatan. Dan aku harap cintamu kepadanya, masih sebesar dulu seperti yang
sering kamu ceritakan kepadaku. Sudah itu saja, aku tak ingin terlalu banyak
berpesan padamu karena kamu sudah tahu apa yang terbaik bagimu.
Dari aku,
Yang tidak lagi merindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar