***
Hai devy..
Layaknya sebuah
surat, kau pasti mengharapkan sebuah balasan. Aku tak pandai merangkai kata
yang indah untuk membalas suratmu yang berharga itu. Surat yang kau kirimkan
melalui seorang tukang pos online. Terima kasih kuucapkan, terima kasih kau
menyempatkan untuk menulis surat yang indah itu. Akupun rindu, rindu dengan
semua rutinitas kita.
Sudah hampir
tiga minggu lamanya kita tidak berjumpa. Tidak bertatap muka. Rindu rasanya
setiap hari menghabiskan waktu bersama. Mulai dari pagi hingga petang bahkan
malam. Mulai dari candaan hingga tangisan. Mulai dari bahagia hingga keluhan.
Selalu, selalu ada kau terselip diantaranya.
Devy, aku sadar
kamarku tak seluas kamar temanmu yang lain. Tapi kamarku sempat menjadi saksi
bisu perjuangan kita. Perjuangan disaat kita mendapatkan sebuah pemberitahuan
“si blabla menyukai foto anda”. Perjuangan disaat kita menerima chat “oke
semangat ya dev/wid”. Perjuangan dimana kita mulai mengagumi mereka.
Devy, aku sadar
seringkali merepotkanmu. Mengganggu waktu luangmu hanya untuk mengajakku
berkeliling daerah kampus dengan harapan dapat bertemu dengannya. Menghabiskan
tenagamu hanya untuk menjemputku ke kampus. Bahkan tak jarang uang tabunganmu
habis hanya karena aku ajak berbelanja.
Devy, kau tau?
Aku tak pernah menyangka kita dapat bersatu. Dengan latar belakang yang
berbeda. Dengan selera pakaian yang hampir tak sama. Dengan kriteria lelaki
yang berbeda. Dengan kisah cinta yang nyaris sama, hingga tanggal lahir kita
yang persis sama. Iya 11 September 1996.
Devy, mungkin
mereka terlahir begitu sempurna bagi kita. Sehingga nyaris tak pernah berhenti
kita mengagumi mereka. Tak pernah berhenti bibir ini berdecak kagum melihat
mereka. Tapi, apalah daya tangan tak sampai.
Berjam-jam kita
habiskan untuk melihat akun sosial media mereka. Berhari-hari kita bermimpi
agar dapat dilirik oleh mereka. Bahkan berminggu-minggu kita habiskan untuk
menunggu sebuah sapaan atau sebuah pertemuan. Tapi, nyaris tak ada satupun
hasil yang terlihat.
Kadang,
seringkali kita saling menasehati satu sama lain. Menyuruh berhenti mengagumi
dan berharap. Meninggalkan dan mulai membuka untuk yang lain. Tapi, itulah
cinta. Logika dan amarah tak pernah mengalahkannya.
Devy, aku tau.
Tak mudah bagi kita untuk melupakan, meninggalkan, melepaskan dan membiasakan
diri seperti sedia kala. Tapi, tak ada salahnya jikalau kita mencoba. Mencoba
untuk pergi sejauh mungkin dari mereka.
Dalam surat ini,
aku hanya ingin mengatakan. Dev, terkadang cinta tak pernah salah namun logika
lebih benar darinya meskipun pada akhirnya cinta yang menguasai semuanya.
Terima kasih
Devy, terima kasih. Maaf surat ini tak seindah suratmu. Percayalah keindahan
tak selamanya dilihat dari fisiknya namun isi berhak berada dalam keindahan.
Wida.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar