Kamis, 06 Oktober 2016

Tercuri

Aku tatap matanya, ia menunduk. Hanya ada hening dan dingin. Hujan menjebak kami lebih lama, tetes bulirnya berjatuhan menerpa kaca jendela kedai kopi di samping tempat aku dan dia duduk berhadapan. Kali ini hanya ada suara musik mengalun juga teriakan-teriakan keras dalam kepala. 


Aku mengatupkan rapat mulutku, berusaha menahan segala luapan amarah karena kebodohanku sendiri. Aku baru saja kehilangan perempuan yang teramat aku sayangi.

“Seistimewa itu dia buat kamu?” Aku kembali memecah hening, mengurai semua pertanyaan yang berputar di kepalaku. Meski aku tak ingin ia menjawab. Aku belum siap.

Dia hanya menghela napas, lalu perlahan menatapku. Mata itu, tak pernah ada untukku lagi. Aku ingin memeluknya sekali lagi. Sekali lalu tak pernah aku lepas bila bisa. Agar tak ada yang mampu memilikinya selain aku.

Rayna berdehem, “Udahlah, Jo. Kamu nggak perlu tahu gimana posisi dia sekarang dalam hidup aku.”

Aku geram oleh jawabannya, dalam hidupnya? Sudah terlalu dalamkah laki-laki pencuri itu masuk dalam dunia Rayna? Atau aku yang terlalu bodoh menyia-nyiakan Rayna lalu tak sadar ada pencuri yang siap menangkap Rayna ketika kami lengah?

“Aku berhak tau, Na.” aku berusaha tenang. Menyembunyikan segala kekecewaanku.

“Cukup, Jo. Kita udah selesai. Dan kamu nggak perlu tahu apa-apa tentang aku dan Gerry.”

Aku menggebrak meja, amarahku tumpah. Kewarasanku terbakar cemburu.  “Aku perlu tahu di tangan siapa kamu sekarang ! apa keputusan kamu nggak mau balik sama aku tepat atau malah salah ! Aku berhak tahu siapa laki-laki yang kamu bilang buat kamu lebih bahagia, Na !”

Napasku naik-turun. Sekali lagi, aku membodohkan diriku sendiri. Aku lepas kendali. Semua mata tertuju pada kami.

“Asal kamu tahu Jo, Gerry nggak pernah bentak aku di depan umum, dia menghargai aku dan waktuku, dia bisa membimbing aku di saat aku nggak tahu harus ke mana. Dia lebih selalu ada buat aku dibanding kamu yang anggep temen-temen kamu penting dari aku, dia lebih….”

“Cukup !” Telingaku panas mendengarnya, aku tak sanggup lagi. Pantaskah aku memohon Rayna untuk kembali kepadaku dengan janji-janji yang selalu aku ingkari?
Derasnya hujan menjadi titik-titik kecil di luar sana, tapi petir menyambar-nyambar tepat di jantungku.

“Kasih aku kesempatan sekali lagi, Na…”

Rayna terdiam, ia sudah tak di sana sejak pertama kali aku menyapanya dua jam yang lalu. Ia menggeleng, lalu beranjak pergi, meninggalkanku.

Joshua, why are you so stupid?!

Aku tak menyangka, ku pikir kembali di tempat ini akan menjadi tempat yang begitu hangat dan menyenangkan. Kedai kopi yang pernah menjadi saksi, tempat aku dan dia jatuh cinta pertama kali dan berbagi cangkir-cangkir tawa berkali-kali, malah menjadi tempat di mana aku kehilangan dia dan melihatnya pergi.





Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML