Aku tatap matanya, ia menunduk. Hanya
ada hening dan dingin. Hujan menjebak kami lebih lama, tetes bulirnya berjatuhan
menerpa kaca jendela kedai kopi di samping tempat aku dan dia duduk berhadapan.
Kali ini hanya ada suara musik mengalun juga teriakan-teriakan keras dalam
kepala.
Aku mengatupkan rapat mulutku, berusaha menahan segala luapan amarah
karena kebodohanku sendiri. Aku baru saja kehilangan perempuan yang teramat aku
sayangi.
“Seistimewa itu dia buat kamu?”
Aku kembali memecah hening, mengurai semua pertanyaan yang berputar di
kepalaku. Meski aku tak ingin ia menjawab. Aku belum siap.
Dia hanya menghela napas, lalu
perlahan menatapku. Mata itu, tak pernah ada untukku lagi. Aku ingin memeluknya
sekali lagi. Sekali lalu tak pernah aku lepas bila bisa. Agar tak ada yang
mampu memilikinya selain aku.
Rayna berdehem, “Udahlah, Jo.
Kamu nggak perlu tahu gimana posisi dia sekarang dalam hidup aku.”
Aku geram oleh jawabannya, dalam
hidupnya? Sudah terlalu dalamkah laki-laki pencuri itu masuk dalam dunia Rayna?
Atau aku yang terlalu bodoh menyia-nyiakan Rayna lalu tak sadar ada pencuri yang
siap menangkap Rayna ketika kami lengah?
“Aku berhak tau, Na.” aku
berusaha tenang. Menyembunyikan segala kekecewaanku.
“Cukup, Jo. Kita udah selesai.
Dan kamu nggak perlu tahu apa-apa tentang aku dan Gerry.”
Aku menggebrak meja, amarahku
tumpah. Kewarasanku terbakar cemburu. “Aku
perlu tahu di tangan siapa kamu sekarang ! apa keputusan kamu nggak mau balik
sama aku tepat atau malah salah ! Aku berhak tahu siapa laki-laki yang kamu
bilang buat kamu lebih bahagia, Na !”
Napasku naik-turun. Sekali lagi,
aku membodohkan diriku sendiri. Aku lepas kendali. Semua mata tertuju pada
kami.
“Asal kamu tahu Jo, Gerry nggak
pernah bentak aku di depan umum, dia menghargai aku dan waktuku, dia bisa
membimbing aku di saat aku nggak tahu harus ke mana. Dia lebih selalu ada buat
aku dibanding kamu yang anggep temen-temen kamu penting dari aku, dia lebih….”
“Cukup !” Telingaku panas mendengarnya,
aku tak sanggup lagi. Pantaskah aku memohon Rayna untuk kembali kepadaku dengan
janji-janji yang selalu aku ingkari?
Derasnya hujan menjadi
titik-titik kecil di luar sana, tapi petir menyambar-nyambar tepat di
jantungku.
“Kasih aku kesempatan sekali
lagi, Na…”
Rayna terdiam, ia sudah tak di
sana sejak pertama kali aku menyapanya dua jam yang lalu. Ia menggeleng, lalu
beranjak pergi, meninggalkanku.
Joshua, why are you so stupid?!
Aku tak menyangka, ku pikir
kembali di tempat ini akan menjadi tempat yang begitu hangat dan menyenangkan. Kedai
kopi yang pernah menjadi saksi, tempat aku dan dia jatuh cinta pertama kali dan
berbagi cangkir-cangkir tawa berkali-kali, malah menjadi tempat di mana aku
kehilangan dia dan melihatnya pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar