Sabtu, 15 Oktober 2016

Jarak

Kepada jarak yang berani melempar aku dan kamu hingga beda kota, akankah mereka berbaik hati untuk tidak memutus kita?

Pertanyaan demi pertanyaan terus mengusik, mereka bak supporter bola yang bersorai tanpa jeda. Seperti hujan berderai jatuh di atap memekakan telinga. Terlalu rindu membuat semuanya serba bias, dan janji-janji yang berusaha kau tepati nyatanya tak cukup untuk membuatku percaya, bahwa semuanya akan baik-baik saja seperti perkataanmu stasiun kereta.



Aku rindu pada bayang diriku pada dua bola tatap matamu, rindu pada senyummu dan sederet gigi rapimu, lalu renyah suara tawamu yang bisa ku dengar langsung dari udara masuk lorong-lorong telinga. Bukan pada layar laptopku, yang terkadang tak menangkap sempurna garis tegas wajahmu, atau suaramu yang terkadang hilang bersama sinyal. Waktu membuat kita adalah dua manusia maya, tak nyata pada realita. Seolah aku hanya berkomunikasi pada layar laptopku. Pada telepon genggamku, bukan kamu. Tanpa itu semua, kita ini apa?


Aku ingat padamu yang ku genggam di ruang tunggu stasiun, bersamaan dengan itu aku muak dengan tiket yang kau pegang erat di tangan kirimu. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan kesedihan, meski kau tetap menangkapnya. Kau melihatnya, dan kau melakukan hal yang sebenarnya tak harus kau lakukan.


Kau mengecup keningku, lama. Lama, dan waktu tetap bergulir, memburu. Seperti jeda yang dipaksakan karena tergesa.  Dan hal yang ku benci sebenarnya adalah kau melihatku menangis. Aku menepis tanganmu yang berusaha mengusap bulir air mataku, karena itu adalah salah satu hal yang membuatku semakin rindu. Aku hanya ingin membiasakan diri, tanpa kamu.


“Aku bakal pulang.” kamu berkata lirih di telingaku. Dan aku, aku hanya terdiam mengatur napasku.


Kamu terlalu cepat pergi, tujuh hari dalam enam bulan jauhmu belum cukup untuk meruntuhkan semua rindu. Inikah yang disebut batas tipis antara cinta dan perpisahan? Seberapa bisa dua orang bertahan di antara jurang dan jembatan yang entah dapat mencelakakan atau menyelamatkan.


Al, aku bersabar menungguimu, Aku ingin peluk kau dengan sungguh, biar rindu tumpah dengan seluruh pada hujan bulan Desember nanti.



Tapi, berjanjilah agar engkau selalu menjadikan aku tempatmu berpulang. Bisakah?



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML