Kepada jarak yang berani melempar aku dan kamu hingga beda kota, akankah mereka
berbaik hati untuk tidak memutus kita?
Pertanyaan demi pertanyaan terus
mengusik, mereka bak supporter bola yang bersorai tanpa jeda. Seperti hujan
berderai jatuh di atap memekakan telinga. Terlalu rindu membuat semuanya serba
bias, dan janji-janji yang berusaha kau tepati nyatanya tak cukup untuk
membuatku percaya, bahwa semuanya akan baik-baik saja seperti perkataanmu stasiun
kereta.
Aku rindu pada bayang diriku pada
dua bola tatap matamu, rindu pada senyummu dan sederet gigi rapimu, lalu renyah
suara tawamu yang bisa ku dengar langsung dari udara masuk lorong-lorong
telinga. Bukan pada layar laptopku, yang terkadang tak menangkap sempurna garis
tegas wajahmu, atau suaramu yang terkadang hilang bersama sinyal. Waktu membuat
kita adalah dua manusia maya, tak nyata pada realita. Seolah aku hanya
berkomunikasi pada layar laptopku. Pada telepon genggamku, bukan kamu. Tanpa
itu semua, kita ini apa?
Aku ingat padamu yang ku genggam
di ruang tunggu stasiun, bersamaan dengan itu aku muak dengan tiket yang kau
pegang erat di tangan kirimu. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan
kesedihan, meski kau tetap menangkapnya. Kau melihatnya, dan kau melakukan hal
yang sebenarnya tak harus kau lakukan.
Kau mengecup keningku, lama.
Lama, dan waktu tetap bergulir, memburu. Seperti jeda yang dipaksakan karena
tergesa. Dan hal yang ku benci
sebenarnya adalah kau melihatku menangis. Aku menepis tanganmu yang berusaha mengusap
bulir air mataku, karena itu adalah salah satu hal yang membuatku semakin
rindu. Aku hanya ingin membiasakan diri, tanpa kamu.
“Aku bakal pulang.” kamu berkata
lirih di telingaku. Dan aku, aku hanya terdiam mengatur napasku.
Kamu terlalu cepat pergi, tujuh
hari dalam enam bulan jauhmu belum cukup untuk meruntuhkan semua rindu. Inikah
yang disebut batas tipis antara cinta dan perpisahan? Seberapa bisa dua orang
bertahan di antara jurang dan jembatan yang entah dapat mencelakakan atau
menyelamatkan.
Al, aku bersabar menungguimu, Aku
ingin peluk kau dengan sungguh, biar rindu tumpah dengan seluruh pada hujan
bulan Desember nanti.
Tapi, berjanjilah agar engkau selalu
menjadikan aku tempatmu berpulang. Bisakah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar