15 Januari 2014 : 22.22 WIB
Ini sudah tiga bulan setelah
kepergianmu. Kau tahu? Aku merindukanmu. Sangat. Rumah ini begitu sepi tanpa
kehadiranmu. Rumah ini terlalu luas tanpa kamu di dalamnya. Tanpa ocehanmu yang
seringkali membuatku naik darah, tanpa kamu yang seringkali menonton TV hingga
larut malam, tanpa kamu yang keras kepala, susah diatur, dan terkadang
seenaknya sendiri. Dan kini, aku merindukan semua itu.
Tak
ada baju-bajumu di ranjang cucian, tak ada peralatan besi yang sering kamu
taruh sembarangan, tak ada suara TV yang menyala tengah malam, tak ada aroma obat dari kamar yang sering kamu
minum, tak ada makanan yang harus aku masakkan untukmu sekarang, tak ada
dengkuran yang membuatku terganggu setiap malam. Mengapa harus kehilangan untuk
merindukan kamu?
Air
mataku sudah mengering, hampir setiap malam aku mengingat dirimu. Mataku tak
pernah mau terpejam walau kantuk menyerangku. Sayang, rindu ini benar-benar mengacaukan
aku. Memporak-porandakan pikiranku. Bagaimana bisa, aku tertidur tanpa kamu di
sampingku? Bagaimana aku bisa tidur jika biasanya aku selalu menatap punggungmu
sebelumnya?
Aku
tidak tahu, apakah kamu mendengarku sekarang. Aku tidak tahu, apakah kamu
melihatku sekarang. Aku bermimipi, kamu memelukku erat. Tak mengatakan sepatah
katapun. Dan aku membenamkan kepalaku di dadamu. Kamu tampan, sangat tampan. Seperti
seorang pemuda yang membuatku jatuh cinta 40 tahun yang lalu. Lalu kamu menarik
pelukanmu lalu tersenyum. Senyum yang membuat air mataku mengalir tanpa muara,
kamu lenyap seketika. Dan aku tersentak, terbangun dari tidurku dan mendapati
kamu tidak ada lagi di sampingku.
2 November 2013: 19.30 WIB
Aku
tak tahu aku harus berbuat apa waktu itu. Kamu mengerang kesakitan. Wajahmu
pucat. Tak biasanya kamu seperti itu. Aku tahu, sudah saatnya penyakit tua itu datang.
Dan kamu memperparah dengan obat-obatan yang kamu beli sendiri. Aku sudah
berulang kali melarangmu, namun kamu tidak mempedulikan aku. Ginjalmu tak bisa
bekerja secara normal akibat obat-obat generic yang sering kamu minum.
Seandainya, kamu tidak keras kepala, mungkin aku masih memiliki waktu bersamamu
lebih beberapa hari.
6 November 2013: 16.00 WIB
Kondisimu
sudah membaik setelah kamu dirawat di rumah sakit. Aku bisa bernapas lega. Kamu
meminta untuk pulang, untuk rawat jalan. Meskipun dokter melarangmu karena
kondisimu belum stabil. Tapi, kamu benar-benar bersikeras untuk tetap pada
pendirianmu. Seandainya kamu menurut apa kata dokter, mungkin aku bisa memiliki
waktu bersamamu hingga kini.
7 November 2013 : 19.00WIB
Sampai
rumah, kamu mau tidur sendirian tanpa aku. Kamu ingin aku tidak terganggu dengan
batukmu yang kian parah. Walaupun aku tak mau, kamu tetap memaksaku untuk
menuruti keinginanmu. Seringkali tanpa kamu ketahui, aku selalu bangun setiap
malam, memastikan kamu baik-baik saja. Dan saat itu aku menyadari, kita semakin
menua oleh usia. Dan entah bagaimana, aku tak ingin kehilanganmu. Sangat. Aku
menyadari, kita tak lagi mempunyai banyak waktu untuk menikmati yang tersisa.
9 November 2013: 21.00 WIB
Hari
itu, kamu terbaring lemah seperti biasanya. Kakimu semakin kurus. Aku
mendekatimu, menanyakan bagaimana keadaanmu. Namun kamu diam saja, lalu kamu
memegang erat tanganku. Memintaku untuk menemanimu di sampingmu. Aku masih
mengingatnya kini. Sangat jelas. Bahkan aroma tubuhmu, hangatnya badanmu masih
melekat pekat diingatanku. Aku memelukmu dari belakang, dan kamu memegang
tanganku yang melingkar di perutmu.
13 November 2013: 23.00WIB
Beberapa
hari kemudian, rasa sakit itu menyerangmu kembali. Hidungmu berdarah, kamu
mengeluarkan semua isi makanan yang baru saja masuk perutmu. Kamu menggigil
kedinginan. Entah apa yang mengakibatkan kamu begitu. Dan aku hanya bisa
menangis ketika ambulans membawamu ke rumah sakit.
15 November 2013: 00.00 WIB
Dan
inilah yang membuatku selalu menyesal. Maafkan aku, ketika pada waktu yang
tersisa tidak ada aku di samping kamu. Maafkan aku, ketika kamu tak dapat melihatku
berdiri di sampingmu pada akhir pejamanmu. Maafkan aku karena tak ada erat
tanganku yang menggenggammu pada hela
napas terakhirmu. Anak-anak kita yang
melarangku untuk mengunjungimu. Kata mereka, aku butuh istirahat di rumah. Ya,
aku sangat lelah. Karena aku seringkali terjaga untuk menjagamu setiap malam.
Aku
melihatmu waktu itu, kamu masih di dalam ambulans yang sama. Namun tidak ada
kamu lagi di dalamnya. Aku harap, mereka keliru. Kamu belum pergi. Aku harap
kamu masih melihatku seperti pertama kali kamu memasuki ambulans. Namun, aku
yang keliru. Nyatanya, aku sudah kehilanganmu.
Hanya
jasadmu yang terbaring kaku di sana, di ranjang kayu . Matamu terpejam, dan
bibirmu masih melengkung sempurna. Aku berusaha tidak menangis di hadapanmu.
Aku berusaha membalas senyumanmu. Namun, aku tak kuasa. Aku bersimpuh
dihadapanmu. Menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa kamu pergi? Padahal
beberapa hari sebelumnya kamu memintaku untuk memelukmu?
Mengapa
kamu yang pergi terlebih dahulu? Ingatkah janji kita dulu? Di antara remang lampu
dan jeda kecupmu di puncak keningku, bahwa kamu akan merenta dan menua
bersamaku. Melawan kejam dan sadisnya dunia, melawan waktu untuk tetap menjadi sandaranku. Tapi, aku
memang tak pernah mendengarmu berjanji kepadaku untuk melawan waktu menerjang
detik yang berdetak untuk menghentikan takdir yang terlukis. Nyatanya,
bahagiaku bukan pada umur panjangku melainkan pada umur panjang milikmu.
Nyatanya, cinta hanya mengekalkan rasaku padamu, bukan ragamu padaku. Lalu? Kepada
cinta aku bisa apa selain berharap kembali. Berharap ada ruang yang cukup luas dalam dimensi yang
berbeda untuk kita, hidup selamanya di dalamnya.
Lihat aku sekarang. Setiap malam,
aku duduk di kursi kayu yang kamu buat sendiri dulu. Duduk di teras rumah,
memandangi langit. Menikmati angin, menikmati dingin, menghabiskan waktu dengan
kenangan yang menyisa, tanpa kamu. Hanya dapat merapal doa dalam barisan
sujudku setiap malam hanya untuk memeluk kamu di surga. Berusaha
menghangatkanmu dalam rengkuhan doa yang menumpuk. Semoga Tuhan menyampaikan
semuanya padamu. Esok, jika detikku telah habis menjejak di bumi, semoga waktu memperkenankan kita untuk bertemu. Mengulang semua yang telah terjadi dalam hukum yang tak pernah aku tahu. Keabadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar