Kau
tak pernah bisa memaksa seseorang untuk berhenti membencimu, sebaik apapun
sikapmu. Ia akan tetap benci. Begitupula dengan yang namanya cinta. Kau tak
bisa memaksa seseorang untuk berhenti mencintaimu, semenyebalkan apapun
sikapmu, ia akan tetap cinta.'
Selamat
ulang tahun, Ren.
Reno
mengerutkan dahi ketika membaca surat di atas box ukuran 30x20 cm di depan
pintu rumahnya. Seketika sekelebat bayangan mendarat dipikirannya,
menebak-nebak siapa yang mengirim hadiah misterius tepat di hari ulang tahunnya
yang ke 24 tahun.
Sambil
membuka bungkusan itu, ia berharap bahwa bukan perempuan itu lagi. Tangannya
mendadak dingin, jantungnya berdebar.
Ada
satu buah buku berwarna putih, seperti novel tipis yang kurang lebih tak sampai
100 halaman. Satunya lagi adalah lukisan wajahnya di sebuah lingkaran kayu yang
cukup tebal, dan sebuah sweater berwarna abu-abu.
Ia
tak menemukan tanda-tanda sang pengirim. Lalu dengan hati-hati ia ambil sebuah
novel yang sangat asing baginya. Cover halaman novel putih, dengan tulisan
hitam minimalis berjudul 'Sebuah Perjalanan
Di
awal halaman tertera tulisan,
'Teruntuk,
Reno Herangga Putra'
Jantungnya
seperti berhenti, ia menahan napas ketika membaca halaman berikutnya
Terimakasih
telah menyempatkan waktu untuk membaca paragraf ini. Aku berharap kamu
berkenan untuk membaca paragraf berikutnya, hingga ke lembar selanjutnya sampai
ke halaman terakhir. Aku tak tahu, kamu menyukainya atau tidak.
Tapi
sungguh, ketika buku ini sampai di tanganmu, aku tak meminta apa-apa. Aku tak
berusaha merebut duniamu kembali, aku tak berusaha mencari perhatianmu lagi.
Buku ini aku tulis atas kecintaanku pada menulis. Dan aku merasa hidup ketika
menuliskan sesuatu yang aku sukai, meski kadang melukai.
Kamu
pernah dengar sederet kalimat ini?
‘ketika
kau dicintai oleh seorang penulis, kau akan abadi di setiap paragraf
tulisannya.”
Aku
ingin mengabadikan kamu di sini, karena waktu akan berhenti, dan memori akan
tergerus hari. Sebelum semuanya terjadi, izinkan aku melukiskan semua cerita
yang sempat kita lalui. Mungkin, bila aku tak lagi bisa kau temukan, buku ini
bisa menjadi bukti bahwa ada seseorang yang begitu mencintai, tapi tidak tahu
bagaimana harus mempertahankan.
Kamu
tidak perlu mengucapkan terimakasih, atau bertanya-tanya atas apa yang telah
aku lakukan. Kita tak lagi bersapa, tapi lewat buku ini aku ingin bersuara.
Aku
tak perlu tahu atas perasaanmu kepadaku, karena persoalan aku masih mencintaimu
adalah urusanku. Masalah kamu mencintaiku atau tidak, aku tidak terlalu lagi
peduli. Hal terpenting adalah mengetahui kamu bahagia dan tetap baik-baik saja.
Maaf
jika ada kisah yang terlewat, hanya sepenggal, atau terlupakan. Harusnya
kertas-kertas yang pernah memenuhi dinding kamarku tak ku berikan padamu, yang
entah mungkin sekarang tersingkirkan atau sudah tak ada lagi karena kamu buang.
Tak apa, apa yang kamu lakukan adalah wajar.
Mungkin
aku yang sedang tak wajar.
Di
akhir paragraf ini, aku berharap aku akan menertawakan ketololanku saat ini
ketika telah bersama pasanganku kelak. Lebih baik seperti itu, daripada kita
menangisi kebodohan kita di masa depan atas keputusan yang kini kita jalani.
Ini
bukan mengulang masa lalu,
Aku
hanya ingin kamu abadi
Di
sini,
Selamat
membaca,
Dari
aku,
Perempuanmu
(dulu)
Reno
terpaku. Perempuan yang mati-matian ingin ia lupakan kembali lagi. Jika boleh
jujur, dirinya masih menyayangi Diva. Hampir dua tahun lebih ia tak pernah
menghubunginya, semua kontak, media sosial sudah tertutup untuk Diva, dan semua
usahanya sia-sia.
Beberapa
halaman telah Reno baca, dan kini ia duduk terdiam. Pikirannya berkecamuk,
antara seperti menemukan sesuatu yang hilang, dan terjerat dengan ketiadaan.
Dadanya sesak. Lalu ia memberanikan diri untuk menghubungi Diva kembali. Sudah saatnya ia memerdekakan rindu yang ia penjarakan selama ini. Untuk apa lama-lama bersembunyi? Padahal ia tahu, Diva adalah sebenar-benarnya tempat dia berpulang.
***
Handphone Diva bergetar di atas meja kerjanya. Satu panggilan masuk. Dadanya berdebar ketika mengeja nama yang tertera di layar ponselnya. Satu senyum lebar terlukis di bibirnya. Mungkin, sudah saatnya mereka berdua bersuara,
"Halo..."
***
In the fact I'm never worry to let you go, because I know that I will always have you back.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar